Kamis, 21 Maret 2013

Niat Baik Saja Tidaklah Cukup!


Mungkin donor berpikir, “Ini adalah perbuatan berjasa,” padahal hal itu adalah perbuatan tidak berjasa (merugikan).

Mungkin donor berpikir, “Ini adalah perbuatan baik,” padahal hal itu adalah perbuatan buruk.

Mungkin donor berpikir, “Ini adalah jalan ke alam bahagia,” padahal hal itu adalah jalan ke alam menderita, ke neraka.

Kalimat diatas adalah penggalan dari Dutiya Aggi Sutta.

Sutta ini memperlihatkan bahwa mempunyai Niat/tujuan baik saja tidaklah cukup.” Di dalam sutta ini dikisahkan seorang brahmana bernama Uggatasarīra yang ingin melakukan persembahan kurban guna mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Namun karena ketidaktahuannya, dia hampir saja membuat banyak sekali karma buruk.

Begitu juga fenomena berdana yang terjadi pada saat ini, banyak umat yang dikarenakan ketidaktahuaannya, berdana hal yang salah atau dengan cara yang salah; contohnya adalah berdana uang kepada seorang bhikkhu, sekelompok bhikkhu, ataupun Sangha.

Pada umumnya mereka berdana karena ingin menjadi orang kaya atau dewa di kehidupan mendatangnya, ini merupakan hal yang salah karena dilandasi oleh keserakahan (lobha).  Selain itu ada juga umat yang berdana hanya karena ikut-ikutan, misalnya takut dikatakan kikir bila tidak ikut berdana. Maka, dalam kasus tersebut, dia berdana karena dilandasi ketakutan (dosa). Walaupun seandainya dia terbebas dari dua hal tersebut, dia masih melakukan kesalahan karena dengan berdana uang dia menyebabkan seorang bhikkhu, sekelompok bhikkhu, ataupun Sangha melanggar silanya. Kesalahan dalam kasus ketiga ini, juga dua kasus sebelumnya, adalah bersumber dari kebodohan (moha).

Berdanalah hal yang diperbolehkan dan dengan cara yang benar.

Tujukanlah jasa kebajikan yang anda kumpulkan hanya untuk menjadi landasan yang kuat bagi tercapainya Nibbana, jangan yang lainnya.

BERHATI-HATILAH!

 

Untuk mengetahui lebih detail apa yang dikatakan Sang Buddha, silakan baca suttanya.

 

Salam dalam metta,

U Sikkhananda
Cetiya Dhamma Sikkha
Tangerang, 16 Maret, 2013

 

====================================

Dutiya Aggi Sutta - AN 7.47
(Tentang Api - II)

"Saat itu brahmana Uggatasarīra[1] telah menyiapkan upacara kurban yang megah/besar. Lima ratus lembu jantan (banteng) telah dibawa ke tempat upacara (pos) kurban untuk dikurbankan. Lima ratus ekor lembu jantan muda … Lima ratus lembu betina muda … Lima ratus kambing … Lima ratus domba telah dibawa ke tempat upacara (pos) kurban untuk dikurbankan.

Kemudian brahmana Uggatasarīra pergi mengunjungi Sang Bhagavā, setelah bertegur sapa dengan ramah dan duduk di satu sisi, dia berkata kepada Sang Bhagavā, “Tuan Gotama, saya mendengar bahwa menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban adalah hal yang mendatangkan banyak manfaat dan jasa yang berlimpah.”

“Saya juga, brahmana, telah mendengar hal itu, bahwa menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban adalah hal yang mendatangkan banyak manfaat dan jasa yang berlimpah.”

Untuk kedua kalinya … Untuk ketiga kalinya berkata kepada Sang Bhagavā, “Tuan Gotama, saya mendengar bahwa menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban adalah hal yang mendatangkan banyak manfaat dan jasa yang berlimpah.”

“Saya juga, brahmana, telah mendengar hal itu, bahwa menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban adalah hal yang mendatangkan banyak manfaat dan jasa yang berlimpah.”
“Bila demikian, Tuan Gotama dan saya mempunyai pendapat yang sama.”

Ketika hal ini dikatakan, bhante Ānanda berkata kepada brahmana Uggatasarīra, “Brahmana, para Tathāgata jangan ditanya dengan cara seperti ini, “Saya telah mendengar, Tuan Gotama, bahwa menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban adalah hal yang mendatangkan banyak manfaat dan jasa yang berlimpah.” Para Tathāgata seharusnya ditanya dengan cara seperti ini, “Bhante, saya ingin menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban. Tolong Sang Bhagavā nasihati saya sehingga hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi saya untuk jangka waktu yang lama.”

“Kemudian brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā, “Tuan Gotama, saya ingin menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban. Tolong Sang Bhagavā nasihati saya sehingga hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi saya untuk jangka waktu yang lama.”

“Brahmana, seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan upacara kurban, dia memunculkan tiga pisau yang merupakan hal buruk dan menyebabkan penderitaan sebagai akibatnya. Apa tiga pisau tersebut? Pisau jasmani, pisau ucapan, dan pisau pikiran.”

“Brahmana, seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan upacara kurban, dia memunculkan pikiran seperti ini, ‘Bunuh sejumlah lembu jantan (banteng) untuk kurban! Bunuh sejumlah lembu jantan muda untuk kurban! Bunuh sejumlah lembu betina muda untuk kurban! Bunuh sejumlah kambing untuk kurban! Bunuh sejumlah domba untuk kurban!’ Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan berjasa (puñña),’ padahal dia melakukan perbuatan tidak berjasa. Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan baik (kusala),’ padahal dia melakukan perbuatan buruk. Dia berpikir, ‘Saya berusaha untuk menempuh jalan ke alam bahagia,’ padahal dia berusaha menempuh jalan ke alam menderita. Seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan kurban, dia memunculkan pisau pertama ini, pisau pikiran, yang merupakan hal buruk dan menyebabkan penderitaan sebagai akibatnya.”

“Sekali lagi, Brahmana, seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan upacara kurban, dia mengucapkan kata-kata seperti ini, ‘Bunuh sejumlah lembu jantan (banteng) untuk kurban! Bunuh sejumlah lembu jantan muda untuk kurban! Bunuh sejumlah lembu betina muda untuk kurban! Bunuh sejumlah kambing untuk kurban! Bunuh sejumlah domba untuk kurban!’ Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan berjasa,’ padahal dia melakukan perbuatan tidak berjasa. Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan baik,’ padahal dia melakukan perbuatan buruk. Dia berpikir, ‘Saya berusaha untuk menempuh jalan ke alam bahagia,’ padahal dia berusaha menempuh jalan ke alam menderita. Seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan kurban, dia memunculkan pisau kedua ini, pisau ucapan, yang merupakan hal buruk dan menyebabkan penderitaan sebagai akibatnya.”

“Sekali lagi, Brahmana, seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan upacara kurban, dia melakukan persiapan untuk membunuh sejumlah lembu jantan (banteng) untuk kurban! ... sejumlah lembu jantan muda untuk kurban! ... sejumlah lembu betina muda untuk kurban! ... sejumlah kambing untuk kurban! ... sejumlah domba untuk kurban!’ Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan berjasa,’ padahal dia melakukan perbuatan tidak berjasa. Dia berpikir, ‘Saya melakukan perbuatan baik,’ padahal dia melakukan perbuatan buruk. Dia berpikir, ‘Saya berusaha untuk menempuh jalan ke alam bahagia,’ padahal dia berusaha menempuh jalan ke alam menderita. Seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan kurban, dia memunculkan pisau ketiga ini, pisau jasmani, yang merupakan hal buruk dan menyebabkan penderitaan sebagai akibatnya.”

 “Brahmana, seseorang yang menyalakan api kurban dan mendirikan tempat upacara kurban, bahkan sebelum dia melakukan upacara kurban, dia memunculkan tiga pisau ini yang merupakan hal buruk dan menyebabkan penderitaan sebagai akibatnya. Apa tiga pisau tersebut? Pisau jasmani, pisau ucapan, dan pisau pikiran.”

“Brahmana, tiga api ini harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan. Apa tiga api tersebut? Api nafsu, api kebencian, dan api kebodohan.”

“Dan kenapa, brahmana, api nafsu harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan? Seseorang yang ditaklukkan oleh nafsu, yang pikirannya dikuasai oleh nafsu, akan melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu, api nafsu ini harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan.”

“Dan kenapa, brahmana, api kebencian harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan? Seseorang yang ditaklukkan oleh nafsu, yang pikirannya dikuasai oleh nafsu, akan melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu, api kebencian ini harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan.”

“Dan kenapa, brahmana, api kebodohan harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan? Seseorang yang ditaklukkan oleh nafsu, yang pikirannya dikuasai oleh nafsu, akan melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, dia terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka. Oleh karena itu, api kebodohan ini harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan.”

“Brahmana, itulah tiga api yang harus ditinggalkan, dihindari, dan jangan di kembangkan.”

“Brahmana, tiga api ini harus dihormati, dipuja, dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Apa tiga api tersebut? Api yang layak dimuliakan, api perumah tangga, dan api yang layak menerima persembahan.”

“Dan apakah, brahmana, api yang layak dimuliakan? Dalam ajaran ini, brahmana, ibu dan ayah adalah api yang layak menerima pujaan. Apa alasannya? Karena dari merekalah seseorang berasal. Oleh karena itu, api yang layak dimuliakan ini harus dihormati, dipuja, dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita.”

  “Dan apakah, brahmana, [yang dimaksud dengan] api perumah tangga? Dalam ajaran ini, brahmana, anak, istri, budak, pelayan, dan para pekerja adalah api perumah tangga. Oleh karena itu, api perumah tangga ini harus dihormati, dipuja, dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita.”

“Dan apakah, brahmana, api yang layak menerima persembahan? Dalam ajaran ini, brahmana, para petapa dan brahmana yang menghindari zat-zat yang memabukkan dan kelengahan; yang mantap dalam kesabaran dan kelembutan; yang melatih, menaklukkan, dan menenangkan dirinya untuk pencapaian nibbāna adalah api yang layak menerima persembahan. Oleh karena itu, api yang layak menerima persembahan ini harus dihormati, dipuja, dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita.”

“Brahmana, itulah tiga api yang harus dihormati, dipuja, dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita.”

“Tetapi, brahmana, api dari kayu bakar, di saat tertentu harus dinyalakan, di saat tertentu harus dijaga dengan netral, di saat tertentu harus dipadamkan, dan di saat tertentu harus disingkirkan.”

Setelah hal ini dikatakan, Brahmana Uggatasarīra berkata kepada Sang Bhagavā, “Luar biasa, Tuan Gotama! Luar biasa, Tuan Gotama! Sudilah Tuan Gotama mengingat saya sebagai upāsaka yang mulai hari ini mengambil perlindungan untuk selamanya (seumur hidup). Tuan Gotama, saya [akan] bebaskan lima ratus ekor lembu jantan dan membiarkan mereka hidup. Saya [akan] bebaskan lima ratus ekor lembu jantan muda dan membiarkan mereka hidup. Saya [akan] bebaskan lima ratus ekor lembu betina muda dan membiarkan mereka hidup. Saya [akan] bebaskan lima ratus ekor kambing dan membiarkan mereka hidup. Saya [akan] bebaskan lima ratus ekor domba dan membiarkan mereka hidup. Biarkan mereka makan rumput hijau, minum air yang sejuk, dan menikmati udara yang sejuk.” 



[1] Seorang Brahmana dari Mahāsāla, dia dipanggil demikian karena tubuhnya tinggi besar dan mempunyai kekayaan yang berlimpah. Beliau mengunjungi Sang Buddha di Jetavana, Sāvatthi untuk berkonsultasi tentang manfaat dari melakukan upacara kurban (AA.ii.714).

Selasa, 05 Maret 2013


Aṅgulimāla, - seorang bandit, seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup, - bisa mencapainya (Nibbāna).   

Bagaimana dengan Anda?

Ayo, Berjuanglah! untuk merealisasi Dhamma Mulia di kehidupan ini juga dengan berlatih meditasi vipassanā sungguh-sungguh.

 

Salam Mettā untuk semua,

 

U Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, 03 Maret 2013

 
 

Aṅgulimāla Sutta - MN 86 (PTS M ii  97)
 
Demikianlah yang telah saya dengar. Di suatu saat Sang Bhagavā berdiam di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.

Saat itu ada seorang bandit di wilayah Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala bernama Aṅgulimāla. Dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. 

Kemudian Sang Bhagavā, di pagi hari, setelah mengenakan jubah dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk mengumpulkan dana makanan (piṇḍapāta). Ketika Beliau telah berkeliling untuk ber-piṇḍapāta di Sāvatthi dan telah kembali dari piṇḍapāta setelah menyelesaikan makanNya, Beliau merapikan tempat beristirahat/tidurNya. Dengan membawa jubah dan mangkukNya, Beliau pergi berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam. Para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam dan mereka berkata, “Jangan pergi ke jalan tersebut, petapa. Di jalan tersebut ada bandit bernama Aṅgulimāla, seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Orang-orang telah melalui jalan itu dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua jadi korban Aṅgulimāla.” Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.

Untuk kedua kalinya, ..... Untuk ketiga kalinya, para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam dan berkata, “Jangan ..... Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.

Aṅgulimāla, sang bandit, melihat Sang Bhagavā dari kejauhan sedang berjalan mendekat. Ketika dia melihatNya, dia berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Orang-orang telah melalui jalan ini dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua telah jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang, petapa ini datang sendiri, tanpa teman, seperti didorong oleh takdir. Mengapa aku tidak membunuhnya? Aṅgulimāla kemudian mengambil pedang dan perisainya, mengenakan busur dan tempat anak panahnya, dan mengikuti Sang Bhagavā dari belakang.”

Kemudian Sang Bhagavā mengeluarkan kesaktianNya sehingga Aṅgulimāla, sang bandit, walaupun telah berlari sekencang-kencangnya, tidak dapat mengejar Sang Bhagavā yang sedang berjalan dengan normal. Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Sebelumnya aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai gajah yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kuda yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kereta yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap seekor rusa yang cepat; tetapi sekarang, walaupun aku telah berlari sekencang-kencangnya, aku tidak dapat mengejar petapa ini yang berjalan dengan normal.” Dia berhenti dan kemudian berteriak kepada Sang Bhagavā, “Berhenti, petapa! Berhenti, petapa!”

“Saya telah berhenti, Aṅgulimāla, kamu juga berhenti.”

Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berpikir, “Para petapa ini, para putra suku Sakya adalah pembicara kebenaran, menekankan kebenaran; tetapi petapa ini, walaupun masih berjalan, dia berkata, ‘Saya telah berhenti, Aṅgulimāla, kamu juga berhenti.’ Mengapa aku tidak bertanya kepadanya?”

Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dengan sebuah syair:

“Ketika kau sedang berjalan, petapa, kau berkata, ‘Aku telah berhenti.’
Tetapi ketika saya telah berhenti, kau berkata, ‘Saya belum berhenti.’
Sekarang saya bertanya kepadamu, Oh petapa, apa maksudnya:
Kamu telah berhenti dan aku belum berhenti.”
 
“Aṅgulimāla, Saya telah berhenti untuk selama-lamanya,
Saya telah meninggalkan kekerasan kepada semua makhluk.
Tetapi, kamu tidak punya kendali kepada semua makhluk,
Itulah maksudnya, Aku telah berhenti dan kamu belum berhenti.”
 
“Oh, akhirnya seorang petapa, seorang bijaksana yang mulia,
Datang ke hutan ini demi aku.
Setelah mendengar syairMu yang mengajarkanku Dhamma
Saya akan meninggalkan kejahatan untuk selamanya.”
 
Setelah berkata demikian, sang bandit mengambil pedang dan senjatanya
Dan melemparkannya ke jurang.
Sang bandit bernamaskara di kaki Sang Bhagavā,
Dan di sana, saat itu juga, ia meminta untuk ditahbiskan.
 
Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasihan,
Guru dari dunia dan seluruh dewanya,
Berkata kepadanya, “Datanglah, bhikkhu.”
Dan demikianlah dia menjadi bhikkhu. 
 

Kemudian Sang Bhagavā pergi melanjutkan perjalanan menuju Sāvatthi bersama bhante Aṅgulimāla sebagai asistennya. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthi, dan di sana Beliau tinggal di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.

Saat itu ada banyak sekali orang yang berkumpul di pintu istana bagian dalam dari Raja Pasenadi. Sangat ribut dan berisik, mereka berteriak-teriak, “Tuan, sang bandit Aṅgulimāla berada di wilayah kekuasaanmu; dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Raja harus menaklukkannya!”

Kemudian di tengah hari, Raja Pasenadi dari Kosala dengan mengendarai kereta kuda pergi meninggalkan Sāvatthi bersama lima ratus pasukan berkuda menuju ke taman milik Anāthapiṇḍika.  Dia mengendarai kereta kudanya sampai sejauh jalan yang mungkin dilalui oleh kereta, kemudian dia turun dari keretanya dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki untuk bertemu Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Ada apa, Maha Raja? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya?”

“Bhante, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerang saya, begitu juga dengan para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya. Tetapi, ada seorang bandit di wilayah kekuasaanku bernama Aṅgulimāla, dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Saya tidak akan pernah bisa menaklukkannya, Bhante.”

“Maha Raja, seandainya kamu melihat Aṅgulimāla telah mencukur rambut dan bewoknya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu; dia menghindari pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, dan ucapan bohong; dia hanya makan satu kali, melaksanakan kehidupan suci, menjalankan sila, dan bertingkah laku baik; apa yang akan kau lakukan kepadanya?” “Bhante, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangun dari duduk untuknya, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan         untuk mengatasi sakit; atau memberikan perlindungan sesuai hukum kepadanya. Tetapi, Bhante, dia adalah orang yang tidak bermoral, seseorang yang sifatnya jahat, bagaimana dia bisa mempunyai pengendalian diri dan moralitas?”

Pada saat itu bhante Aṅgulimāla sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā, kemudian Sang Bhagavā menjulurkan tangan kananNya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala, “Maha Raja, ini dia Aṅgulimāla.” Raja Pasenadi langsung ketakutan, panik, dan merinding. Mengetahui hal tersebut, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Jangan takut, Maha Raja, jangan takut. Tidak ada yang perlu kau takuti darinya.” Maka, ketakutan, kepanikan, dan perasaan merinding sang Raja pun mereda. Dia kemudian mendatangi bhante Aṅgulimāla dan berkata, “Bhante, apakah Yang Mulia adalah Aṅgulimāla?”

“Benar, Maha Raja.”
“Bhante, apa marga ayah bhante? Apa marga ibu bhante?”

“Ayah saya marganya Gagga, Maha Raja; ibu saya marganya Mantāṇī.”
“Semoga bhante Gagga Mantāṇīputta bahagia. Saya akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk bhante.”

Saat itu bhante Aṅgulimāla adalah seorang bhikkhu yang tinggal di hutan, makan dari hasil piṇḍapāta, pemakai jubah dari kain buangan, dan hanya menggunakan tiga helai jubah (satu set). Dia menjawab, “Cukup, Maha Raja, tiga jubahku sudah lengkap.” Raja Pasenadi kemudian kembali kepada Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Luar biasa, Bhante, ini adalah hal yang luar biasa di mana Sang Bhagavā dapat menundukkan yang tidak bisa ditundukkan, menenangkan yang tidak tenang, dan menuntun ke Nibbāna mereka yang belum mencapai Nibbāna. Bhante, kami sendiri tidak dapat menaklukkannya dengan kekerasan dan senjata, tetapi Sang Bhagavā dapat menaklukkannya tanpa kekerasan dan senjata. Sekarang, Bhante, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.” “Sekarang adalah waktunya, Maha Raja, melakukan hal yang kau pikir tepat.” Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah melakukan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dengan memposisikan Sang Bhagavā selalu berada di sebelah kanannya, dia pergi.

Suatu ketika, di pagi hari, bhante Aṅgulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat beliau ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, dia melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya. Ketika beliau melihat hal ini, beliau berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!” Setelah beliau menyelesaikan piṇḍapāta-nya dan telah kembali ke vihara, setelah menyelesaikan makannya beliau pergi menemui Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadaNya, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Bhante, di pagi hari setelah saya mengenakan jubah, dengan membawa mangkuk dan jubah luar saya pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat saya ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, saya melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya. Ketika melihat hal tersebut, saya berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!”

“Bila demikian Aṅgulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan, saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!” Bhante, tidakkah saya melakukan kebohongan dengan disengaja, karena saya telah melakukan banyak pembunuhan dengan disengaja?”

“Bila demikian, Aṅgulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!””

“Baik, Bhante,” jawab bhante Aṅgulimāla. Setelah beliau pergi ke Sāvatthi, beliau berkata kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!”  Kemudian, wanita tersebut dan anaknya menjadi baik.

Bhante Aṅgulimāla lalu menarik diri dari keramaian, berdiam sendiri, rajin, penuh semangat dan tekad yang kuat. Dalam waktu singkat, bhante Aṅgulimāla di dalam kehidupan ini juga merealisasi langsung dengan pengetahuan supernormalnya, tujuan akhir dari kehidupan suci yang menjadi tujuan para perumah tangga yang meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu. Dia menyadari, “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani dengan sempurna, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjadian.” Dan bhante Aṅgulimāla menjadi salah satu di antara para Arahat.

Suatu ketika, di pagi hari, bhante Aṅgulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat itu seseorang melempar bongkahan tanah dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuh bhante Aṅgulimāla, orang lain lagi melempar ranting kayu/tongkat dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya, orang lain lagi melempar ranting batu dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya. Kemudian, bhante Aṅgulimāla dengan darah yang bercucuran dari kepalanya, mangkuknya yang pecah, dan jubah luarnya yang sobek, pergi menemui Sang Bhagavā. Sang Bhagavā yang melihatnya datang dari kejauhan berkata kepadanya, “Tahanlah, brahmana! Tahanlah, brahmana! Kau mengalami buah dari karma yang akan membuatmu tersiksa di neraka selama bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun.”

Kemudian, ketika bhante Aṅgulimāla pergi menyendiri untuk bermeditasi, dia mengalami kebahagiaan (kedamaian) dari pembebasan; dia mengekspresikannya dengan mengucapkan seruan dalam bentuk syair.

“Siapapun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Dia yang menebus perbuatan jahat yang dilakukannya
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang mengabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka menjalankan sungguh-sungguh  Ajaran Buddha
Semoga mereka berteman dengan orang-orang baik dan damai
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Dhamma di saat yang tepat
Dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang memuji kebaikan,
Dan semoga mereka hidup sesuai dengan Dhamma.

Karena pasti mereka tidak akan mencelakaiku,
ataupun orang lain,
Setelah mencapai kedamaian tertinggi
mereka akan melindungi yang lemah ataupun kuat.

Pembuat irigasi mengarahkan aliran air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu membentuk (memprofil) kayu,
Orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang dijinakkan dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi tanpa tongkat kayu atau senjata apapun,
Aku dijinakkan oleh Orang yang demikian.

“Pelaku tanpa kekerasan” adalah namaku,
Walaupun sebelumnya aku adalah pelaku kekerasan.
Sekarang aku sesuai dengan namaku,
Karena aku tidak menyakiti siapapun.

Seorang bandit aku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Aṅgulimāla (Kalung-jari).
Tersapu oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Berlumuran darah tanganku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Aṅgulimāla (Kalung-jari).
Melihat dan mengambil perlindungan padaNya
Pendambaan untuk menjadi dihancurkan.

Telah melakukan banyak perbuatan yang mengarah
Pada kelahiran kembali di alam menderita,
Sekarang, aku menerima akibatnya
Karenanya, bebas dari hutang aku memakan makananku.

Mereka yang dungu, bodoh
Terbelenggu oleh kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga semangat
Sebagai harta terbaik.

Jangan menyerah pada kelengahan
Begitu juga pada kesenangan dari objek indra,
Tetapi bermeditasilah dengan penuh semangat
Untuk mencapai kebahagiaan sempurna.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Dari semua Dhamma yang dikenal manusia
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Tiga pengetahuan telah kucapai
Dan instruksi Sang Buddha telah dilaksanakan.

 

Kelahiran makhluk di alam bahagia sangatlah sulit.

Kita sekarang telah terlahir di alam bahagia, sebagai manusia.
Gunakanlah kesempatan yang sangat sulit didapat ini untuk meraih pencerahan
(menembus Empat Kesunyataan Mulia) di kehidupan ini juga.

Pencerahan hanya bisa didapat melalui kebijaksanaan.
Kebijaksanaan terbaik hanya bisa
didapat dari bermeditasi dan
meditasi terbaik adalah meditasi vipassan
ā.

Maka, Ber-VIPASSAN
Ā-lah

 

Di bawah ini adalah sutta-sutta yang berisi wejangan Sang Buddha tentang sulitnya seorang makhluk terlahir di alam bahagia.

SN 5 - 12. saccasaṃyuttaṃ - 11. Pañcagatipeyyālavaggo - sutta 102-131

102.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

 

Sang Bhagavā manaruh sedikit debu di ujung kuku jari tangan-Nya dan berkata kepada para bhikkhu:

 

“Para bhikkhu, apa pendapat kalian, mana yang lebih banyak: sedikit debu yang Kutaruh di ujung kuku jari tangan-Ku ini atau bumi ini?”

 

“Bhante, bumi ini jauh lebih banyak. Sedikit debu yang Sang Bhagavā taruh di ujung kuku jari tangan hampir tidaklah berarti. Dibandingkan dengan bumi ini, debu yang sedikit tersebut bahkan tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat diperbandingkan, bahkan tidak sejumlah sebagian kecil pun.”

 

“Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di neraka. Apakah alasannya? Karena, para bhikkhu, mereka belum melihat Empat Kesunyataan Mulia. Apakah empat hal itu? Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang asal-mula penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan.”

 

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ ... ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

 

 

103.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam binatang. ... ”

104.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam hantu kelaparan. ... ”

105 – 107 Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

108 – 110 Devacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai deva)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva,[1] terlahir kembali di antara deva.[2] Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

111 – 113 Devacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai deva)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

114 – 116 Nirayacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam neraka)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

117 – 119 Nirayacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam neraka)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

120 – 122 Tiracchānacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam binatang)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

123 – 125 Tiracchānacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam biatang)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

126 – 128 Petticuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam hantu kelaparan)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

129 – 131 Petticuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari hantu kelaparan)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

 

Pernyataan yang sama dengan sutta-sutta di atas juga dapat di temui di

Aṅguttara Nikāya kelompok 1, bab 16 (ekadhammapāḷi), sub-bab 4 (catutthavaggo), sutta 336-365 (versi DPR & Chattha Sangayana Tipitaka 4.0 – VRI) , 348-377 (versi Bhikkhu Bodhi).

Perbedaan antara sutta-sutta di Saṃyutta Nikāya dan Aṅguttara Nikaya hanyalah bagian paragraf awal dan akhir.

336-338 “Bagaikan, para bhikkhu, hanya sedikit taman-taman, kebun-kebun, pemandangan-pemandangan, dan kolam-kolam lotus yang menyenangkan; jauh lebih banyak bukit-bukit dan tebing-tebing, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat yang dipenuhi dengan tuggul-tunggul kayu dan duri, dan gunung-gunung yang sulit dijelajahi, di Jambudīpa ini. Demikian juga, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam neraka, .... di alam binatang, ...  di alam hantu kelaparan.”

363-365 ... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan.

 

Untuk membayangkan betapa sulitnya untuk terlahir kembali di alam bahagia dari alam rendah (menderita) mungkin tidaklah terlalu sulit, karena bila kita terjatuh ke alam rendah, jangankan untuk mempraktikkan meditasi, melakukan dana dan melaksanakan sila pun hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, sangatlah sulit bagi makhluk penghuni alam rendah untuk terlahir kembali menjadi manusia atau dewa. Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu bahkan lebih sulit bila dibandingkan dengan kemungkinan seekor penyu buta yang muncul ke permukaan samudera setiap seratus tahun sekali untuk dapat muncul tepat di lubang sebuah pelampung kayu[3] yang terombang-ambing di tengah samudera (Chiggala Sutta, SN 56.47 atau Balapandita Sutta, MN 129).

Namun demikian, untuk membayangkan betapa sulitnya untuk terlahir di alam bahagia dari suatu alam bahagia lainnya (misalnya terlahir sebagai manusia setelah meninggal sebagai seorang manusia atau dewa), mungkin agak sedikit sulit dicerna. Sebagian dari pembaca mungkin berkata, “Kita kan sering berdana dan melakukan kebajikan lainnya! Apakah hal itu belum cukup untuk membuat kita terlahir kembali di alam bahagia?”

Untuk menjawab hal ini, cobalah renungkan keadaan pikiran anda mulai sejak bangun tidur sampai sesaat ketika akan kembali tidur. Mana yang lebih banyak, pikiran yang baik atau yang buruk?  Untuk memudahkannya, silakan baca contoh di bawah ini:

Ketika baru bangun, biasanya seseorang langsung mencari makanan atau minuman, ini adalah kesadaran yang bersekutu dengan keserakahan (lobha). Bila dia mencuci muka atau mandi terlebih dahulu, dapat dipastikan dia akan bercermin untuk memastikan penampilannya sempurna (ini = lobha), tetapi saat dia mendapatkan ada sesuatu yang kurang, rasa tidak suka muncul (ini = dosa). Bila hari libur, maka tidurnya diperpanjang dan bermalas-malasan di ranjang (= moha). Saat mendapatkan makanan atau minumannya tidak sesuai selera, muncul ketidakpuasan (kesal, kecewa, atau bahkan marah = dosa), tetapi bila sesuai dengan selera maka disantapnya dengan penuh nafsu (= lobha). Kemudian dia berpikir tentang kegiatan yang harus dilakukannya hari itu, bila sekiranya akan menyenangkan maka dia gembira (= lobha), bila sebaliknya maka dia kecewa (= dosa), bila biasa-biasa saja tetapi tetap harus melakukannya maka tidak ada semangat dan malas (= moha).  Tidak bisa dipungkiri, bahwa ada juga yang berpikir tentang dana, sila, dan meditasi; tetapi kalau mau jujur, sedikit sekali yang berpikir akan hal tersebut. Sebagian besar hanya berpikir bagaimana menjalankan hari-harinya dengan penuh kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan; yang ada di pikirannya hanyalah soal uang, makan, musik, film, jalan-jalan, dan berbelanja (= lobha).

Berdasarkan contoh dari kegiatan di atas, terlihat dengan jelas bahwa kesadaran yang tidak baik (akusala citta) sangat mendominasi pikiran seorang manusia. Oleh karena itu, Sang Buddha mengatakan bahwa sangatlah sulit untuk terlahir kembali menjadi manusia atau dewa sekalipun saat ini kita hidup sebagai manusia atau dewa. Bila seseorang tidak menyadari hal ini maka dia akan terus berputar-putar di lingkaran kelahiran dan kematian yang dipenuhi oleh penderitaan.

Saat ini kita semua terlahir sebagai manusia, hidup dengan baik dan layak, dapat mendengarkan Dhamma Mulia, dan bahkan sebagian dari kita dapat berkesempatan untuk mempraktikkannya. Janganlah sia-sia kan kesempatan yang sungguh sangat sulit dicapai ini. Berjuanglah dengan penuh semangat, capailah Damma Mulia (Magga, Phala, & Nibbāna) di kehidupan ini juga.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia, damai, dan bebas dari penderitaan. Semoga semua makhluk secepatnya mencapai Nibbāna. Sādhu! Sādhu! Sādhu!

 

Salam Metta untuk semua,

 

U Sikkhānanda

Cetiya Dhamma Sikkhā

Tangerang, Banten, Indonesia

21 Februari, 2013

 

P.S.

Untuk lebih memahami mengapa kita harus melakukan meditasi saat ini juga silakan baca:

1.      Artikel Pengembara yang Tersesat (dapat dibaca di catatan FB penulis).

2.      Artikel Tujuan Hidup Ini (dapat dibaca di catatan FB penulis).

3.      Buku Kehidupan Mulia Ini.

4.      Buku Dasar-Dasar Abhidhamma (untuk memahami lebih jauh tentang pikiran & prosesnya).

Semua artikel dan buku rujukan di atas dapat di unduh di:


 

 

 



[1] Deva di sini maksudnya hanyalah enam alam dewa yang masih berhubungan dengan objek indera, karena (deva) brahma tidak akan dapat langsung terlahir menjadi makluk alam rendah.
[2] Deva di sini maksudnya enam alam dewa dan dua puluh alam brahma.
[3] Ini sebenarnya bukan pelampung kayu, tetapi kuk, kayu lengkung yg dipasang di tengkuk kerbau (lembu) untuk menarik bajak (pedati dsb).