Minggu, 17 Februari 2013

Manfaatkan Waktu Semaksimal Mungkin
 
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.
           
Pernahkah anda merenungkan seberapa baik anda memanfaatkan waktu yang anda miliki?  Dapat dipastikan jawabannya adalah TIDAK. Sebagian besar manusia tidak pernah mempedulikan hal ini, dan mereka menganggap bahwa mereka telah menghabiskan waktunya dengan baik. Tetapi, bila jawaban anda YA, maka akan baik sekali bila anda melanjutkan membaca tulisan ini dan lihatlah apakah jawaban anda masih YA.
Setiap orang punya kegiatan masing-masing dan berusaha mengisi waktunya dengan sebaik mungkin. Tetapi jarang sekali yang benar-benar merenungkan seberapa baik mereka memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Mereka selalu mengatakan sibuk dan tak punya  waktu lagi, khususnya bila diajak melakukan hal yang baik. Namun demikian, bila mendapat ajakan untuk melakukan kegiatan yang disukainya, walaupun hal itu tidak banyak membawa manfaat atau bahkan tidak membawa manfaat sama sekali, maka dia akan mempunyai waktu untuk melakukannya.
Banyak para pelajar yang tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar, tetapi tetap mempunyai waktu untuk melakukan hal yang tidak perlu dilakukan oleh seorang pelajar. Contohnya,  mereka tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah), untuk belajar kelompok, dan kegiatan yang bermanfaat lainnya (seperti pergi kebaktian, belajar Dhamma, dll., apalagi untuk meditasi).  Namun demikian, bila diajak pergi nonton film, ke diskotik, makan ke restoran, main kartu, atau bahkan untuk kumpul bersama teman-teman sambil menghabiskan waktu sambil berbicara yang tak ada manfaatnya (hanya nongkrong-nongkrong, kadang sambil bolos sekolah)  hampir dapat dipastikan mereka masih mempunyai waktu untuk melakukannya.
Bukan hanya para pelajar yang terserang penyakit ini, tetapi juga orang dewasa seperti para pekerja, ibu rumah tangga, dan bahkan para kepala keluarga. Banyak para pekerja yang bingung harus mengerjakan apa di saat jam kerja, maka mereka hanya menghabiskan waktu untuk baca koran, majalah, main komputer (menjelajah internet, main permainan komputer, nonton film, dll), bahkan ada yang tidur siang.  Banyak dari mereka hanya bekerja bila ada tugas dari atasannya. Yang lebih menyeramkan lagi adalah, banyak yang tidak berada di tempat kerja saat jam kerja dan bahkan tidak masuk kerja (banyak terjadi di lingkungan pemerintah).  Para ibu rumah tangga banyak menghabiskan waktunya untuk nonton sinetron, tele-novela, arisan, pergi ke salon, dan juga tidur siang.
Bila anda merenungkan hal ini baik-baik, maka akan terlihat bahwa semua kegiatan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan betapa tebalnya faktor kebodohan mental (moha) dalam diri anda. Perlu anda semua ketahui, bila ada kebodohan, maka otomatis di sana juga biasanya ada keserakahan (lobha) dan kebencian/kemarahan/penolakan (dosa). Contoh: saat anda menonton sinetron, anda suka dengan jalan ceritanya atau pemeran sinetron tersebut, maka ada keinginan untuk melihatnya lagi, dan ini adalah manifestasi dari keserakahan (lobha). Sebaliknya, bila ada hal yang tidak anda sukai dalam sinetron tersebut, maka akan timbul kebencian/penolakan (dosa). Dengan demikian, anda hanya mengisi waktu anda untuk bermain dengan tiga akar kejahatan yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Mari tinjau kasus lain, yaitu kebiasaan tidur siang. Menurut dunia kedokteran, jumlah jam tidur yang baik adalah antara 7-8 jam per hari. Ini adalah waktu tidur malam hari, tetapi banyak juga yang menambahkannya selama 1-2 jam dengan melakukan tidur siang. Kalau boleh jujur, selama seseorang tidur, dia tidak melakukan hal yang bermanfaat apapun, karena baik jasmani maupun pikirannya tidak bekerja sama sekali (kecuali tidur untuk istirahat karena sakit). Dari sisi Dhamma, ini adalah manifestasi dari kemalasan (thina-middha) dan kebodohan (moha). 
 
Mari renungkan apakah tidur selama 7-8 jam itu tidak berlebihan. Biar lebih memudahkan perhitungan, akan digunakan 8 jam tidur. Menurut ajaran agama Buddha, umur rata-rata manusia saat ini adalah 75 tahun (karena tiap seratus tahun setelah Sang Buddha wafat, umur manusia berkurang satu tahun). Tetapi kenyataannya adalah bahkan lebih singkat lagi, karena sekarang banyak yang berumur 60-an atau lebih muda telah meninggal dunia. Jadi, dalam perhitungan ini akan digunakan usia 60 tahun sebagai usia rata-rata. Delapan jam sama dengan satu-per-tiga dari 1 hari, mungkin hal ini tidaklah begitu terasa signifikan. Tetapi, bila dikalikan dengan usia rata-rata, maka anda akan mendapati bahwa 20 tahun hanya dihabiskan untuk tidur. Apakah 20 tahun waktu yang singkat? Apa sekarang anda masih berpikir bahwa anda telah menghabiskan waktu yang sangat berharga ini dengan baik? Apakah sekarang anda masih berpikir untuk mempunyai tidur siang? Rasanya tidak perlu penjelasan lebih jauh, anda sudah bisa menjawabnya.
 
Namun demikian, biar lebih berkesan, renungkanlah hal ini juga. Bila rata-rata manusia berusia 60 tahun dan 20 tahun dihabiskan untuk tidur, bagaimana dengan 40 tahun sisanya? Sebagai manusia, biasanya seseorang sangat bergantung pada orang tuanya hingga umur 20an, bahkan banyak yang lebih. Sejak dari usia balita sampai sekolah ke perguruan tinggi, seorang anak selalu menggantungkan hidupnya pada orang tua. Bila mau jujur, selama itu, lebih banyak menyusahkan orang tua daripada membantunya. Maka setidaknya selama 40 tahun anda mengisi waktu anda dengan sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat bagi diri anda maupun orang lain. Anda bisa renungkan 20 tahun sisanya? Apakah pantas bila anda gunakan sisa 20 tahun tersebut hanya untuk tidur siang, nonton sinetron, dan hal lain yang tidak banyak membawa manfaat? Jangan lupa bahwa saat orang menjadi tua, kondisinya akan semakin melemah baik jasmani maupun mental; dan banyak yang tidak bisa bekerja lagi, bahkan menjadi seperti anak kecil yang harus dirawat oleh orang lain.
 
Sehubungan dengan hal ini ada cerita menarik dalam Dhammapada, syair 48, (IV (4) The Story of Patipujika Kumari).
 
Patipujika di kehidupan sebelumnya adalah seorang dewi, istri dari dewa Malabhari dari alam dewa tingkat ke-2 (Tāvatiṃsa). Suatu saat, beliau bersama 999 dewi lainnya pergi bersama dewa Malabhari ke taman bunga untuk bersenang-senang. Beliau bersama 499 dewi naik ke pohon bunga untuk memetik bunga dan 500 dewi lainnya berada di bawah pohon untuk mengumpulkan bunga dan memakaikannya kepada sang dewa. Saat beliau sedang memetik bunga, seketika itu juga beliau meninggal dan terlahir di sebuah keluarga di kota Sāvatthi di jaman Buddha Gotama.
Berkat kekuatan karma masa lampaunya, beliau mempunyai kekuatan untuk melihat kehidupan sebelumnya (jatissara). Berkat kekuatan inilah beliau dapat mengingat kehidupan sebelumnya sewaktu beliau menjadi salah satu istri dari dewa Malabhari, dan berharap untuk terlahir menjadi istri dewa tersebut kembali. Setelah beranjak dewasa, beliau menikah di usia 16 tahun dan dengan berjalannya waktu beliau mendapatkan 4 orang anak. Beliau menjadi umat yang rajin berdana, dan hampir setiap hari beliau berdana makanan ataupun berdana tenaga seperti membersihkan vihara, mengisi tempat-tempat air, menyiapkan/merapikan ruangan untuk para bhikkhu makan, dll. Selain itu beliau juga rajin mendengarkan Dhamma. Semua hal ini dilakukannya dengan tujuan agar beliau dapat terlahir kembali bersama dewa Malabhari. Karena beliau sangat memuja suaminya (dewa Malabhari) maka dia dikenal sebagai Patipujika (pati = suami).
Suatu hari beliau jatuh sakit dan meninggal pada hari yang sama. Berkat jasa kebajikannya, beliau terlahir kembali menjadi salah satu istri dari dewa Malabhari. Perlu diketahui, bahwa satu hari di alam dewa Tāvatimsa sama dengan 100 tahun di alam manusia. Oleh karena itu, sang dewa beserta istri yang lainnya saat Patipujika terlahir kembali di alam dewa tersebut masih berada di taman bunga. Karena untuk beberapa saat sang dewa tidak melihat Patipujika, maka beliau bertanya ke mana istrinya tersebut pergi. Sang dewi pun menceritakan kisahnya ketika beliau terlahir menjadi manusia.
Setelah sang dewa mendengar bahwa istrinya telah meninggal dan terlahir menjadi manusia, menikah di usia 16 tahun, dan mempunyai 4 orang anak, karena sakit beliau meninggal dan terlahir kembali menjadi istri sang dewa. Beliau terkejut karena hidup manusia begitu singkat (karena mereka masih bermain di taman bunga, belum ada 1 hari). Sang dewa pun bertanya lagi, “Bila manusia hidup begitu singkat, apakah mereka masih menghabiskan waktu untuk TIDUR dan TIDAK SUKA MENJAGA PERHATIANNYA? Apakah mereka suka berdana dan melakukan hal-hal yang mulia?”  Sang dewi pun menjawab, “Apa yang kau katakan suamiku? Bukan hanya suka tidur dan tidak pernah menjaga perhatiannya, tetapi mereka juga berpikir bagaikan umurnya tidak terbatas, bagaikan tidak ada yang terkena umur tua dan kematian.”  Sang dewa yang semakin terkejut mendengar jawaban dari istrinya, kemudian berkata “JIKA DEMIKIAN, KAPAN MEREKA AKAN TERBEBAS DARI PENDERITAAN?” Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa tidaklah pantas bagi kita sebagai manusia yang umurnya relatif sangat singkat untuk hidup bermalas-malasan.
Setelah membaca dan mengetahuinya, marilah gunakan waktu yang ada semaksimal mungkin. Seperti anda semua ketahui, bahwa sangatlah jarang kemunculan seorang Buddha di dunia, sangatlah sulit menjadi manusia, sangatlah sulit untuk dapat bertahan hidup, dan sangatlah sulit untuk bertemu ajaran Buddha. Saat ini anda semua memiliki keempat-empatnya. Marilah gunakan kesempatan yang luar biasa ini untuk berlatih Dhamma dengan sungguh-sungguh.
Semoga renungan ini dapat memicu semangat anda dalam berlatih Dhamma. Semoga dengan semangat yang tinggi, anda dapat berlatih Dhamma (khususnya meditasi vipassanā) dengan baik.  Semoga dengan latihan yang baik, anda dapat mengalami kemajuan pandangan terang dan secepatnya merealisasi Dhamma Mulia (Nibbāna) dalam kehidupan ini juga. Sadhu! Sadhu! Sadhu!  
 
Salam mettā untuk semua,
 
U Sikkhānanda
Pusat Meditasi
Satipaṭṭhāna Indonesia
Bacom, Indonesia
26 Mei 2011
 

Janganlah Menjadi Beban


Mengapa Berdana Uang
Kepada Bhikkkhu
Adalah Perbuatan Karma Buruk?



Pendahuluan

Artikel ini dibuat untuk menjawab dan menjelaskan para umat yang bertanya tentang alasan dari pernyataan bahwa berdana uang kepada bhikkhu atau Sangha adalah suatu perbuatan yang akan memberikan karma buruk. Penulis telah menjawab dan bahkan menjelaskan alasannya kepada sebagian umat yang bertanya dan juga memberikan referensi artikel dan Sutta-nya. Tetapi karena artikel dan Sutta tersebut masih dalam bahasa Inggris, sebagian penanya kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, agar penulis tidak perlu menjelaskannya berulang-ulang, maka penulis memutuskan untuk membuat penjelasannya dalam artikel ini.

Ada yang mengatakan bagaimana bisa mendapatkan karma buruk bila hal itu dilakukan dengan niat (cetanā) yang baik; karena berdasarkan Abhidhamma, cetanā-lah yang menentukan apakah karma yang kita perbuat itu baik atau buruk. Jadi bila niat berdananya baik, maka hal itu pasti mendatangkan karma baik. Selain itu, pemberian uang juga tidak melanggar lima sila dasar (pañcasīla) atau bahkan delapan sila (aṭṭhasīla). Penulis, di bagian pendahuluan artikel “Kehidupan Tanpa Uang”, telah menjelaskan bahwa niat baik saja tidaklah cukup dengan memberikan perumpamaan seseorang yang membantu temannya melakukan korupsi. Contoh lain adalah seorang ibu yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anaknya dengan berjualan racun. Tentu saja ibu tersebut mempunyai cetanā yang baik, tetapi karena dia mencari nafkah dengan cara penghidupan salah (walaupun menjual racun tidak termasuk dalam pelanggaran sila); maka dia akan mendapatkan karma buruk.

Penulis berharap agar umat mau belajar dengan lebih giat dan semangat lagi untuk meningkatkan pengetahuan Dhammanya, karena bila Dhamma dijalankan secara salah maka penderitaanlah hasilnya, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam syair Dhammapada 311, “Bagaikan rumput kusa, bila salah memegangnya akan melukai tangan; begitu juga kehidupan seorang bhikkhu, bila dijalankan secara salah akan menyeretnya ke neraka.” Maksud hati adalah berbuat baik dan mendapatkan pahala dengan berdana; tetapi karena kurangnya pengetahuan, dia melakukannya dengan cara yang salah. Maka, bukannya mendapatkan pahala, malah celaka yang didapatnya.

Hal yang perlu diingat baik-baik bila penyokong berdana uang kepada bhikkhu adalah:
1. Penyokong akan kehilangan uangnya.
2. Penyokong mengondisikan seorang bhikkhu atau bahkan Sangha melakukan pelanggaran
     Vinaya.
3. Uang tersebut, berdasarkan peraturan Vinaya yang berlaku, tidak dapat digunakan.
4. Penyokong akan mendapatkan banyak karma buruk.

Dalam hal ini penyokong bagaikan orang yang sangat malang karena bukan hanya kehilangan uangnya, tetapi juga mendapatkan banyak karma buruk. Hal ini sesuai dengan peribahasa yang berbunyi, “Sudah jatuh, tertimpa tangga.” 

Semoga setelah membaca penjelasan yang berada dalam artikel ini para penyokong dapat mempunyai pengertian yang benar bagaimana cara menyokong yang baik, sehingga  dengan pengetahuan ini, para umat bukan hanya dapat berdana dengan benar, tetapi juga dapat memberikan kondisi yang mendukung bagi para bhikkhu untuk menjalankan kehidupannya sesuai dengan Vinaya, khususnya bagi para bhikkhu baik yang berusaha untuk mempraktikkannya, sehingga dapat menghindari pelanggaran yang terjadi karena harus tinggal di tempat yang salah. 

 

Isi artikel:



3. Penjelasan.  

 

File elektronik dari artikel ini, artikel Kehidupan Tanpa Uang, dan artikel/buku yang lainnya dapat diunduh di:


 

 

 

Semoga artikel ini bermanfaat bagi para pencari Dhamma.

Semoga semua makhluk dapat berbagi dan menikmati sebesar jasa kebajikan

hasil dari penulisan Dhamma ini.

 

 

 

Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten
04 November, 2012

 

 

Artikel ini boleh dikutip, diubah formatnya, dan dicetak dalam media apapun

tanpa izin dari penulis demi menyebarluaskan dan melestarikan Buddha Dhamma.

Dilarang keras untuk diperjualbelikan.
Sejarah singkat yang memicu munculnya
peraturan mengenai uang
Nissaggiya Pācittiya, No. 18.







Kisah ini terjadi di Rājagaha.

 
Waktu itu bhante Upananda, putra suku Sakya, adalah bhikkhu yang biasa menerima dana makan dari keluarga tertentu di Rājagaha. Suatu saat keluarga tersebut mendapatkan daging dan menyisihkannya sebagian untuk bhante Upananda. Tetapi, saat malam hari menjelang pagi, anak laki-laki dari keluarga tersebut bangun dan menangis, “Beri saya daging.” Maka, sang ayah meminta istrinya untuk memberikan daging yang disisihkan untuk bhante Upananda kepada anak tersebut. Nanti kita beli lagi untuk bhante Upananda.

Di pagi hari, setelah mengenakan jubah, bhante Upananda dengan membawa mangkuknya pergi mengunjungi keluarga tersebut. Sesampainya di sana ia masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, laki-laki tersebut mendatangi bhante Upananda, menyapanya, memberi hormat, dan duduk di satu sisi. Saat ia sedang duduk di sana, dia berkata pada bhante Upananda, “Kemarin sore, bhante, kami mendapatkan daging dan sebagian kami sisihkan untuk bhante. Anak laki-laki ini, bhante, bangun ketika hari menjelang pagi dan menangis, ‘Beri saya daging,’ maka porsi bagian bhante kami berikan padanya. Apa yang bhante bisa dapat dengan [uang] satu kahāpaṇa? Saya memberikan (penggunaan) satu kahāpaṇa, bhante.” ‘Satu kahāpaṇa diberikan kepada saya, tuan?’ Ya, bhante, saya berikan. ‘Bila demikian, berikan saja [uangnya sebesar] satu kahāpaṇa kepada saya, tuan.’
 
Kemudian, setelah laki-laki tersebut memberikan bhante Upananda satu kahāpaṇa, dia memandang rendah hal tersebut, mengkritiknya, dan menyebarkan hal itu dengan berkata, “Seperti kami yang menerima emas dan perak [uang], begitu juga para petapa ini, para putra suku Sakya, menerima emas dan perak.” Para bhikkhu mendengar hal tersebut dan menyebarkannya; begitu juga dengan para bhikkhu yang baik, mereka mendengarnya dan menyebarkannya dengan berkata, “Bagaimana bisa bhante Upananda menerima emas dan perak?” kemudian, para bhikkhu tersebut melaporkan hal itu kepada Sang Buddha.

Setelah mengetahui apa yang terjadi, Sang Buddha bertanya kepada bhante Upananda, “Apakah hal tersebut benar seperti yang dikatakan, bahwa kamu, Upananda, telah menerima emas dan perak?”

‘Hal itu benar, Guru.’

Kemudian, Yang Tercerahkan, Sang Buddha, menegurnya, berkata, “Bagaimana bisa, kamu, orang tak berguna, menerima emas dan perak? Hal itu, orang tak berguna, bukanlah untuk menyenangkan mereka yang belum senang.......dan dengan demikian, para bhikkhu, aturan disiplin ini harus ditetapkan:


Jika seorang bhikkhu menerima emas dan perak [uang] dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, dia telah melakukan pelanggaran Nissaggiya Pācittiya.

 
Semoga artikel tentang “Sejarah Konsili Sangha ke II” ini membawa manfaat bagi teman-teman se-Dhamma dan pembaca yang lainnya. Semoga dengan pengetahuan ini, teman-teman se-Dhamma dapat menghindari praktik-praktik yang salah dan dapat menyokong praktik-praktik yang sesuai dengan Dhamma dan Vinaya. Dengan demikian, walaupun saat ini kondisi Ajaran yang sungguh Mulia ini sudah sangat memprihatinkan, mereka yang berjuang sungguh-sungguh - dapat diharapkan - masih berkesempatan untuk mencicipi cita rasa Dhamma yang sesungguhnya, atau bahkan dapat mencapai tujuan utama dari perjuangannya dalam Dhamma, Nibbāna.

 
Semoga semua makhluk dapat berbagi dan menikmati jasa kebajikan sebesar jasa kebajikan yang diperoleh dari penulisan artikel ini. Semoga semua makhluk, hidup bahagia, damai, dan bebas dari penderitaan. Semoga semua makhluk secepatnya mencapai Nibbāna.


 

Salam mettā untuk semuanya,

Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten, Indonesia
07 Desember, 2012



Referensi:

1. Digital Pali Reader, http://pali.sirimangalo.org.
2. I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline Vol. II, Published by Luzac & Humphrey Milford, Oxford University Press, London, 1940.

Sejarah Konsili Sangha
ke II


Kemarahan 
dan
Cara Mengatasinya






Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.


Kemarahan dan Cara Mengatasinya
            Kemarahan, walaupun merupakan hal yang tidak disukai dan tidak menyenangkan, sayangnya hampir tidak ada seorang pun yang tidak pernah mengalaminya. Apalagi pada saat ini, di mana aktivitas masyarakat semakin padat, maka interaksi antar sesama anggota masyarakat juga semakin meningkat dan waktu pun terasa seperti semakin singkat. Semua orang ingin cepat-cepat, tetapi sayangnya, kesabarannya semakin menurun, maka sebagai konsekuensinya adalah kemarahan menjadi semakin sering terjadi. Mulai dari kemarahan kecil seperti menggerutu, kemarahan menengah seperti adu argumentasi, dan kemarahan besar seperti pemukulan, penyiksaan, pembunuhan, dan bahkan peperangan, semuanya semakin meningkat. Benar-benar  keadaan yang sangat menyedihkan!

Seseorang dapat marah bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri;  namun demikian, keduanya sama-sama tidak baik. Kemarahan adalah bagian dari kesadaran yang tidak baik (akusala citta) dengan faktor mental kebencian (dosa cetasika) sebagai pemeran utamanya. Karena kemarahan adalah bagian dari kesadaran yang tidak baik, maka akibatnya juga akan tidak baik atau hal yang mendatangkan penderitaan. Dengan demikian, kemarahan mendatangkan kerugian ganda bagi yang mengalaminya, yaitu perasaan tidak enak (kesal) dan bertambahnya karma buruk baru yang berpotensi untuk memberikan hasil di kemudian hari.[1]   Kemarahan baru bisa dipadamkan sepenuhnya oleh seseorang yang setidaknya telah mencapai tingkat kesucian ketiga (anāgāmī). Hal ini dikarenakan seorang anāgāmī telah terbebas sepenuhnya dari kebencian (dosa) dan objek indera. Bagaimana dengan orang-orang yang belum mencapai tingkat kesucian tersebut, apakah ada cara untuk menghindarinya? Ya, ada, itulah tujuan dibuatnya tulisan ini, yaitu untuk menginformasikannya.  

Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang memarahi orang lain, sebenarnya dia telah terbakar terlebih dahulu oleh kemarahannya sendiri. Sangatlah mudah untuk membuktikan pernyataan tersebut. Cobalah renungkan atau ingat kembali ketika anda sedang marah, apakah anda merasa bahagia atau kesal? Ya, kesal. Saat itu hati anda bergejolak karena terbakar oleh kemarahan. Bagaimana dengan orang yang dimarahi, apakah dia juga akan terbakar oleh api kemarahan? Bisa ya, bisa tidak. Bila dia juga ikut menjadi marah, maka dia juga berarti ikut terbakar; tetapi, bila dia bisa tetap tenang, dia tidak akan ikut terbakar. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Bila anda marah-marah, memaki-maki kepada sebuah cermin, apakah cermin itu akan merasa dimarahi, terbakar, terluka? Tidak. Begitu juga bila seorang yang dimarahi dapat tetap tenang dan bersikap seperti cermin, maka dia tidak akan ikut terbakar. Jadi, bila kemarahan muncul, yang sudah pasti mendapatkan kerugian adalah orang yang terserang kemarahan tersebut. 

            Ini adalah penggalan dan ringkasan Akkosa Sutta – SN 7.2 yang bisa dijadikan rujukan dari bersikap seperti cermin dalam menghadapi orang yang marah.
Brahmana Akkosaka mendatangi Sang Buddha dan langsung mencaci maki Beliau dengan kata-kata kasar. Ketika dia telah selesai mencaci, Sang Buddha bertanya kepadanya:
“Apa pendapatmu, brahmana? Apakah teman dan rekan, keluarga dan saudara, dan juga para tamu datang mengunjungimu?”
‘Terkadang mereka datang berkunjung, Tuan Gotama.’
“Apakah kau mempersembahkan makanan atau cemilan kepada mereka?”
‘Terkadang aku melakukannya, Tuan Gotama.’
“Tetapi, jika mereka tidak menerimanya, maka milik siapakah makanan-makanan tersebut?”
‘Jika mereka tidak menerimanya, Tuan Gotama, maka makanan tersebut tetap milik kami’
“Begitu juga brahmana, kami tidak menerima cacianmu, itu semua milikmu.”

Dari percakapan tersebut terlihat Sang Buddha tidak membalasnya, tetapi Beliau tetap tenang dan bersikap seperti cermin, maka caci maki sang brahmana tetap menjadi miliknya. Kemudian Sang Buddha berkata:

“Dia yang membalas kemarahan dengan kemarahan,
Membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi dirinya.
Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan,
Dia memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.”

Untuk mengilustrasikan syair di atas agar lebih dapat dipahami dan diingat, silakan baca kisah berikut ini. 

Di masa yang lalu, para bhikkhu, Brahmadatta adalah Raja kerajaan Kāsi yang ber-ibukota di Benares.[2] Dia adalah Raja yang kaya, mempunyai kekuatan yang besar, wilayah yang luas, banyak kendaraan, dan banyak persediaan pangan. Dīghīti adalah Raja kerajaan Kosala, tidak seperti Brahmadatta, dia adalah Raja yang miskin, mempunyai kekuatan yang kecil, wilayah yang sempit, sedikit kendaraan, dan sedikit persediaan pangan. Kemudian, setelah menyiapkan empat kelompok pasukan bersenjata,[3] Raja Brahmadatta pergi melakukan penyerangan ke kerajaan Kosala. Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, mendengar bahwa Raja Brahmadatta sedang melakukan perjalanan untuk melakukan penyerangan ke kerajaannya. Dia berpikir, “Saat ini, Brahmadatta, Raja kerajaan Kāsi, adalah Raja yang kaya, mempunyai kekuatan yang besar, wilayah yang luas, banyak kendaraan, dan banyak persediaan pangan. Saya bahkan tidak dapat bertahan untuk menghadapi satu kali serangannya. Bagaimana bila saya pergi meninggalkan kota ini sebelum Brahmadatta dan pasukannya tiba?” Kemudian, para bhikkhu, Dīghīti, Raja kerajaan  Kosala, pergi meninggalkan ibukota kerajaan dengan membawa Permaisurinya. Raja Brahmadatta, setelah tiba di kerajaan Kosala, dia menyerang dan menaklukkan pasukan serta merampas semua milik kerajaan Kosala. Sedangkan, Raja Dīghīti pergi menuju ke kota Benares bersama istrinya dan setelah berselang beberapa waktu mereka pun tiba di sana. Mereka tinggal di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana.

Tidak berapa lama setelah mereka tinggal di sana, sang Permaisuri hamil. Dia memiliki keinginan yang kuat (mengidam) untuk melihat empat pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan saat matahari terbit dan meminum air bekas mencuci pedang. Kemudian, sang Permaisuri datang kepada Raja dan berkata, “Tuanku, saya hamil, saya mengidamkan melihat empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan saat matahari terbit dan meminum air bekas mencuci pedang.” Raja berkata, “Istriku, bagaimana mungkin kita yang berada dalam kesulitan seperti ini untuk mendapatkan hal tersebut.” Kemudian sang Permaisuri mengatakan bahwa ia akan meninggal bila tidak mendapatkan keinginannya.

Saat itu, brahmana kerajaan Kāsi adalah teman Raja Dīghīti. Kemudian, sang Raja pergi menemui temannya tersebut dan mengatakan keinginan istrinya. Sebelum mengabulkan permintaan tersebut, sang brahmana meminta Raja untuk membawa istrinya karena dia ingin melihatnya terlebih dahulu. Saat sang brahmana, dari kejauhan, melihat sang Permaisuri yang sedang jalan menuju ke arahnya, dia bangun dari tempat duduknya dan merapikan jubah atasnya sehingga menutup salah bahunya; dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya (ber-añjali) dia memberikan penghormatan pada sang Permaisuri sambil berkata, “Sesungguhnyalah, seorang Raja Kosala berada dalam kandunganmu,” sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata, “Jangan khawatir Permaisuri, saat matahari terbit kamu akan mendapatkan keinginanmu untuk melihat empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan dan meminum air bekas mencuci pedang.”

Sang brahmana kemudian pergi menemui Raja Brahmadatta dan berkata, “Tuanku, pertanda yang nampak menunjukkan bahwa besok pagi saat matahari terbit empat kelompok pasukan bersenjata lengkap dengan perlengkapan perangnya berbaris di lapangan dan pedang-pedang harus dicuci.” Kemudian, Raja Brahmadatta, Raja kerajaan Kāsi, memerintahkan para prajuritnya dengan berkata, “Tuan-tuan yang baik, lakukan apa yang sang brahmana katakan.” Maka, sang Permaisuri pun mendapatkan hal yang diidam-idamkannya. Saat kandungan tersebut telah tiba waktunya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki. Mereka menamakannya Dīghāvu. Dengan berjalannya waktu, Pangeran Dīghāvu pun tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa.[4]


Suatu saat, Raja Dīghīti teringat tentang penyerangan Raja Brahmadatta ke kerajaannya. Dia berpikirnya, “Raja Brahmadatta, Raja dari kerajaan Kāsi, telah melakukan hal yang sangat buruk pada kami; dia telah merampas pasukan, kendaraan, wilayah, dan persediaan pangan kami. Jika dia mengetahui tentang kami, dia akan membunuh kami (bertiga) semua. Bagaimana bila aku membuat Pangeran Dīghāvu untuk tinggal di luar kota?” Kemudian, sang Raja mengirim Pangeran   Dīghāvu untuk tinggal di luar kota. Saat tinggal di luar kota, Pangeran Dīghāvu belajar berbagai macam keterampilan dan keahlian dengan cepat. Saat itu, bekas tukang cukur Raja Dīghīti tinggal di istana Raja Brahmadatta. Suatu saat, dia melihat Raja Dīghīti bersama istrinya tinggal di Benares di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana. Mengetahui hal tersebut, dia pergi menghadap Raja Brahmadatta dan memberitahukannya dengan berkata, “Tuanku, Raja Dīghīti bersama istrinya tinggal di Benares di rumah seorang pengrajin tembikar dan menyamar dengan berpakaian sebagai pengelana.”

Kemudian, Raja Brahmadatta memerintahkan para menteri dan prajuritnya dengan berkata, “Bila demikian, tuan-tuan yang baik, bawa Raja Dīghīti bersama istrinya.” Mereka menyetujuinya dengan menjawab, “Baik Tuanku.” Raja Brahmadatta juga meminta mereka untuk mengikat Raja Dīghīti dan istrinya dengan tali yang kuat dengan kedua tangan diletakkan dibelakang punggung mereka masing-masing. Setelah menggunduli keduanya, arak mereka dari satu jalan ke jalan lain, dari satu perempatan ke perempatan lain dengan disertai tabuhan genderang;  kemudian bawa mereka ke pintu gerbang selatan kota dan potong menjadi empat bagian, lalu buang potongan-potongan tersebut ke empat penjuru. Orang-orang Raja Brahmadatta berkata, “Baik Tuanku,” dan mereka melakukan semua hal seperti yang diperintahkan oleh Rajanya.

Pada saat yang sama, Pangeran Dīghāvu berpikir, “Telah lama aku tidak bertemu kedua orang tuaku. Bagaimana bila sekarang aku pergi menemuinya?” Lalu, setelah Pangeran Dīghāvu memasuki kota Benares, dia melihat kedua orang tuanya dengan tangan terikat, kepala gundul, sedang diarak keliling kota dengan diiringi oleh tabuhan genderang. Suatu ketika, Raja Dīghīti melihat Pangeran Dīghāvu yang sedang berjalan mendekatinya dan dia pun berkata, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan.”  

Ketika, Raja Dīghīti mengatakan hal itu, para prajurit dan orang-orang yang ikut mengaraknya berkata, “Raja Dīghīti, Raja dari kerajaan Kosala telah gila, dia berbicara melantur. Siapa itu Dīghāvu sehingga dia mengatakan, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, ..... diredakan dengan tanpa kemarahan”? Lalu, sang Raja berkata, “Saya tidak gila tuan-tuan yang baik, saya tidak berbicara melantur, selain itu, dia yang terpelajar akan mengerti maksudnya.” Untuk kedua kalinya ..... dan untuk ketiga kalinya Raja berkata, “Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, ..... diredakan dengan tanpa kemarahan”? Untuk ketiga kalinya orang-orang tersebut berkata, “Raja Dīghīti, Raja dari kerajaan Kosala telah gila,..... Untuk ketiga kalinya Raja berkata, “Saya tidak gila tuan-tuan yang baik, ..... akan mengerti maksudnya.” Setelah mereka mengarak Raja Dīghīti dan istrinya dari satu jalan ke jalan lain, dari satu perempatan ke perempatan lain dengan disertai tabuhan genderang,  kemudian mereka membawa keduanya ke pintu gerbang selatan kota dan memotong mereka menjadi empat bagian, lalu membuang potongan-potongan tersebut ke empat penjuru. Setelah menempatkan beberapa pasukan penjaga di sana, yang lain pun bubar dan pergi meninggalkan lokasi tersebut.

Pangeran Dīghāvu, setelah memasuki kota, dia membeli minuman keras dan membuat para pasukan penjaga tersebut meminumnya dan mabuk. Setelah melumpuhkan para penjaga tersebut, Pangeran Dīghāvu mengumpulkan kayu bakar dan membuatnya menjadi sebuah tumpukan. Lalu, dia meletakkannya potongan-potongan tubuh kedua orang tuanya di atas tumpukan kayu bakar tersebut; setelah menyalakan apinya, dia berjalan mengelilinginya sebanyak tiga kali dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya.  Saat itu, Raja Brahmadatta sedang berada di serambi lantas atas istananya. Dia melihat sang Pangeran sedang mengelilingi api pembakaran mayat tersebut sebanyak tiga kali dengan kedua tangan tertangkup di depan dadanya. Melihat hal tersebut, dia berpikir, “Tidak diragukan lagi, pria ini pastilah saudara dari Dīghīti, Raja kerajaan Kosala. Aduh!, ini adalah pertanda buruk bagiku, karena tak seorang pun yang dapat memberitahukanku apa arti semua ini.”

Pangeran Dīghāvu kemudian pergi ke hutan, di sana dia menangis. Setelah selesai menangis dan menghapus air matanya yang menetes, dia kembali ke kota Benares. Kemudian, dia pergi ke kandang gajah dekat istana Raja dan berkata kepada pelatih gajah di sana, “Aku ingin belajar keterampilan mengendalikan gajah, guru.” Sang guru berkata, “Bila demikian, pemuda baik, belajarlah.” Suatu hari, Pangeran Dīghāvu bangun sebelum matahari terbit dan bernyanyi dengan suara merdunya sambil memainkan mandolin di kandang gajah. Saat itu, Raja Brahmadatta yang juga telah bangun, mendengarnya bernyanyi dan bertanya kepada para pengawalnya, “Siapa, tuan-tuan yang baik, yang bangun sebelum matahari terbit dan bernyanyi dengan suaranya yang merdu sambil memainkan mandolin di kandang gajah?” Tuanku, dia adalah seorang pemuda, murid dari seorang pelatih gajah. Lalu, Raja berkata, “Bila demikian, tuan-tuan yang baik, bawa pemuda tersebut ke sini.” Para pengawal Raja pun berkata, “Baik, Tuanku”, menyetujui perintah Raja; dan kemudian mereka membawa Pangeran  Dīghāvu menghadap sang Raja. Raja bertanya, ”Apakah kamu, pemuda baik, bangun sebelum matahari terbit ..... sambil memainkan mandolin di kandang gajah. “Ya, Tuanku”, jawabnya. Bila demikian, tolong kamu, pemuda baik, bernyanyi sambil memainkan mandolinmu di depanku. “Baik, Tuanku”, jawabnya menyetujui permintaan Raja. Dengan berharap untuk mendapatkan kesuksesan, dia bernyanyi dan memainkan mandolinnya. Sang Raja yang terpikat oleh keterampilan sang Pangeran memintanya untuk menjadi pendampingnya, dan sang Pangeran pun menyetujuinya. Pangeran Dīghāvu pun memberikan usahanya yang terbaik, dia bangun sebelum Raja bangun dan tidur sesudah Raja tidur. Dia menjadi pendamping yang sungguh-sungguh, selalu berusaha menyenangkan tuannya, dan selalu berbicara dengan penuh kelembutan. Maka, dalam waktu singkat, sang Raja pun menjadikannya sebagai pendamping kepercayaannya. 

Suatu hari, sang Raja berkata kepada Pangeran Dīghāvu, “Baiklah, sekarang, pemuda baik, siapkan kereta kuda, kita akan pergi berburu.” Dia berkata, “Baik Tuanku.” Setelah menyiapkan kereta kuda, dia memberitahu Raja, “Tuanku, kereta kuda telah disiapkan.” Maka, setelah Raja naik ke kereta, Pangeran Dīghāvu pun mengendarainya. Dia mengendarainya sedemikian rupa sehingga pasukan pengawal Raja tidak bisa mengikutinya dan pergi ke arah yang berbeda. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan merasa lelah, Raja meminta sang Pangeran untuk menghentikan kereta kudanya guna beristirahat. Pangeran Dīghāvu kemudian menghentikan kereta dan duduk bersila di tanah. Sang Raja kemudian membaringkan badannya dan meletakkan kepalanya di pangkuan Pangeran  Dīghāvu; karena kelelahan, sang Raja pun langsung tertidur.   

Kemudian, terpikir oleh Pangeran Dīghāvu, “Raja Brahmadatta ini, Raja kerajaan Kāsi, telah melakukan banyak keburukan kepada kami. Dia telah merampas pasukan kami, kendaraan, wilayah, persediaan pangan, dan juga membunuh kedua orang tuaku. Ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan kemarahanku,” dan dia pun menarik pedangnya dari sarungnya. Tetapi, terlintas dipikirannya, “Ayahku berpesan kepadaku saat beliau akan meninggal, ‘Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan.’ Adalah hal yang tidak pantas untuk melanggar nasehat ayahku,” dan dia pun memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Untuk kedua kalinya ..... Untuk ketiga kalinya, terpikir oleh Pangeran  Dīghāvu, “Raja Brahmadatta ini, ..... Adalah hal yang tidak pantas untuk melanggar nasehat ayahku,” dan dia pun memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Saat itu, Raja Brahmadatta, ketakutan, resah, gelisah, kaget, dan dia pun bangun dengan mendadak. Kemudian, Pangeran Dīghāvu bertanya kepada sang Raja, “Mengapa kamu, Tuanku, ketakutan, resah, gelisah, kaget, dan bangun dengan mendadak?” Dia berkata, “Ketika saya bermimpi di sini, pemuda baik, anak Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, menyerangku dengan sebuah pedang.” Itulah sebabnya aku ketakutan, ..... dan bangun dengan mendadak.

Pengeran Dīghāvu, setelah mendengar penjelasan tersebut, menjambak kepala Raja Brahmadatta dengan tangan kirinya; setelah menghunus pedang dengan tangan kanannya, dia berkata kepada sang Raja, “Saya, Tuanku, adalah Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Raja Dīghīti, Raja kerajaan Kosala. Kamu telah melakukan banyak keburukan kepada kami. Kau telah merampas pasukan kami, kendaraan, wilayah, persediaan pangan, dan juga membunuh kedua orang tuaku. Ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan kemarahanku.” Kemudian, Raja Brahmadatta menundukkan kepalanya ke kaki Pangeran Dīghāvu dan berkata, “Biarkan aku hidup, sayangku Dīghāvu, biarkan aku hidup, sayangku Dīghāvu.”
“Bagaimana saya dapat memberikan kehidupan kepada seorang Raja? Adalah Raja yang seharusnya memberikan saya kehidupan.”
“Bila demikian, sayangku Dīghāvu, kamu memberikan saya kehidupan dan saya akan memberikanmu kehidupan.”
Kemudian, mereka berdua saling memberikan kehidupan, mereka berjabat tangan dan berjanji untuk tidak akan saling melukai satu sama lainnya. Setelah itu, sang Raja berkata, “Bila demikian, sayangku Dīghāvu, siapkan kereta kuda, kita akan kembali.” “Biak, Tuanku”, kata Pangeran Dīghāvu, dan dia pun langsung menyiapkan kereta kuda. Setelah semuanya siap, dia berkata, “Kereta kuda telah disiapkan, Tuanku.” Kemudian, Raja naik ke kereta dan Pangeran  Dīghāvu mengendarinya. Dia mengendarinya dengan sedemikian rupa sehingga tidak lama berselang mereka pun bertemu kembali dengan pasukan pengawal Raja.

Setelah mereka tiba kembali di Benares, Raja Brahmadatta mengumpulkan para menteri dan penasihatnya; dihadapan mereka dia bertanya, “Seandainya, tuan-tuan yang baik, kalian melihat Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Dīghīti, Raja kerajaan Kosala, Apa yang kalian lakukan terhadapnya?” Beberapa orang berkata, “Kami, Tuanku, akan memotong tangannya; kami, Tuanku, akan memotong kakinya; kami, Tuanku, akan memotong tangan dan kakinya; ..... telinganya; ..... hidungnya; ..... telinga dan hidungnya; ..... kami, Tuanku, akan memenggal kepalanya.” Kemudian, Raja berkata, “Ini, tuan-tuan yang baik, adalah Pangeran Dīghāvu, anak laki-laki Dīghīti, Raja kerajaan Kosala; jangan lakukan apapun padanya; kehidupan telah diberikan kepadaku olehnya dan kehidupan telah saya berikan kepadanya.” 

Raja Brahmadatta kemudian bertanya kepada Pangeran Dīghāvu, “Mengenai hal itu, sayangku Dīghāvu, yang ayahmu katakan pada saat dia akan meninggal: ‘Jangan kamu, sayangku Dīghāvu, melihat terlalu jauh atau terlalu dekat; karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan’ apa yang dimaksudkan oleh ayahmu?” Dia berkata, “Mengenai hal itu, Tuanku,  yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘jangan melihat terlalu jauh’ maksudnya adalah jangan memendam kemarahan terlalu lama. Yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘jangan melihat terlalu dekat’ maksudnya adalah jangan terlalu cepat memutus sebuah persahabatan. Yang dikatakan oleh ayahku pada saat beliau akan meninggal ‘karena, sayangku Dīghāvu, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan; kemarahan, sayangku Dīghāvu, diredakan dengan tanpa kemarahan’ maksudnya adalah orang tuaku dibunuh oleh seorang raja, tetapi jika saya membunuh raja tersebut, mereka (orang-orang) yang menghendaki keselamatan sang raja akan membunuh saya dan mereka yang menghendaki keselamatan saya akan membunuh orang-orang tersebut; maka, kemarahan tidak bisa diredakan dengan kemarahan. Tetapi sekarang, kehidupan telah diberikan kepadaku olehnya dan kehidupan telah saya berikan kepadanya; maka, kemarahan, diredakan dengan tanpa kemarahan.”

Raja Brahmadatta kemudian berpikir, “Sungguh luar biasa!, sungguh menakjubkan! Betapa pandainya Pangeran Dīghāvu sehingga dia dapat memahami secara lengkap maksud yang dikatakan ayahnya secara singkat.” Lalu, dia mengembalikan pasukan ayahnya, kendaraan, wilayah, dan persediaan pangan, dan dia juga memberikan (menikahkan) putrinya kepadanya.

Para bhikkhu, bila para raja yang menggunakan kekerasan, yang menggunakan pedang dapat memperlihatkan kesabaran dan kelembutan seperti demikian; dalam Dhamma ini, para bhikkhu, biarkan cahaya kebijaksanaan kalian bersinar terang; sehingga kalian, yang telah meninggalkan kehidupan keduniawian dalam Dhamma dan Vinaya yang telah dibabarkan dengan sempurna dapat mempunyai kesabaran dan kelembutan seperti mereka.

Berdasarkan Kosambī-jātaka, no. 428, Sang Buddha menjelaskan bahwa Raja Dīghīti adalah Raja Suddhodana, Sang Permaisuri adalah Ratu Mahāmāyā, dan Pangeran Dīghāvu adalah Beliau sendiri.

Sekarang mari kita lanjutkan pembahasan cara untuk menghindari kemarahan. Agar memudahkan usaha untuk menghindari kemarahan, hal pertama yang perlu diketahui adalah penyebab dari timbulnya kemarahan. Mengapa demikian? Karena, bila seseorang dapat menghindari penyebabnya, maka kemungkinan besar atau bahkan dapat dipastikan kemarahan tidak akan muncul. Selain itu, mencegah munculnya kemarahan relatif lebih mudah daripada mengatasi/meredakan kemarahan yang telah muncul. Kemarahan sama seperti halnya dengan penyakit, penyakit lebih mudah dicegah daripada mengobatinya. Jadi, ingatlah pepatah ini baik-baik, lebih baik mencegah daripada mengobati. Jadi, apa itu penyebab kemarahan? Penyebabnya adalah keinginan/keserakahan (lobha) yang tidak terpenuhi. Semakin tinggi tingkat keserakahan, semakin sulit pula untuk memenuhinya; dan akibatnya, rasa tidak senang (kemarahan) pun muncul semakin sering. Semakin rendah tingkat keserakahan, semakin mudah pula untuk memenuhinya; dan akibatnya, rasa tidak senang (kemarahan) pun akan semakin jarang muncul. 

Agar lebih mudah memahaminya, silakan simak contoh kasus ini. Tuan Takur adalah peminum kopi luak sejati, dia tidak bisa dan tidak mau meminum kopi  jenis lain. Kopi luak bukan hanya mahal harganya, tetapi juga sulit didapat, tidak setiap kedai kopi menjualnya. Tetapi, bila dia tetap harus minum kopi, maka dia akan lebih sering mendapatkan kopi jenis lainnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan dia akan sering kecewa dan tidak puas (kesal/marah) karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya (kopi luak). Seandainya dia mau dan bisa merasa puas dengan semua jenis kopi, maka dia tidak akan kesulitan sama sekali untuk memenuhi keinginannya. Dengan demikian, otomatis, dia akan sangat mudah untuk menghindari munculnya kemarahan. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan yaitu kemarahan dapat dihindari atau setidaknya dikurangi frekuensinya dengan membasmi atau mengurangi keserakahanmengembangkan perasaan mudah puas, dan menghindari objek yang tidak disukai.

Apakah ada cara lain untuk mengatasi kemarahan? Ya, ada. Tolong ingat hal ini baik-baik, orang yang terserang kemarahan bukan hanya mendapatkan kerugian ganda seperti yang telah diuraikan di atas; tetapi selain itu, ada tujuh hal yang membuat musuhnya merasa senang dan mencapai tujuannya.  Apa ketujuh hal itu?[5]

“Para bhikkhu, seorang musuh berharap demikian untuk musuhnya, ‘Semoga dia menjadi jelek!’ Mengapa demikian? Seorang musuh tidak menyukai penampilan cantik musuhnya. Saat seseorang terserang dan dikuasai kemarahan, walaupun dia telah mandi dengan bersih, memakai pelembab, rambut dan cambang/bewok tercukur rapi, memakai pakaian putih, dia tetap terlihat jelek. Ini adalah hal pertama yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

‘Semoga dia tidak dapat tidur nyenyak!’ ..... ’Semoga dia tidak beruntung/sukses (gagal)!’ ..... ’Semoga dia tidak kaya (jatuh miskin)!’ ..... ’Semoga dia tidak terkenal (reputasi baiknya hancur)!’ ..... ’Semoga dia tidak punya teman.’ .....

“Para bhikkhu, seorang musuh berharap demikian untuk musuhnya, ‘Semoga dia, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka.’ Mengapa demikian? Seorang musuh tidak menyukai musuhnya terlahir di alam bahagia. Saat seseorang terserang dan dikuasai kemarahan, dia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, saat tubuhnya hancur, setelah meninggal, terlahir di alam menderita, di alam yang tidak baik, di alam rendah, di neraka. Ini adalah hal ketujuh yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

“Itulah tujuh hal yang membuat musuh merasa senang dan mencapai tujuannya yang terjadi pada seorang pria ataupun wanita yang terserang kemarahan.”

Apakah anda mau mendapatkan ketujuh hal di atas? Pastinya tidak, bukan! Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghindari kemarahan. Bila tidak, anda pasti akan mendapatkan tujuh hal di atas dan membuat musuh anda merasa senang serta mencapai tujuannya.

Dari penjelasan di atas, salah satu cara mengatasinya adalah menghindari objek yang tidak disukai. Untuk menghindari objek yang bukan makhluk mungkin tidak terlalu jadi masalah; tetapi, bila objek itu adalah seorang atau sekelompok makhluk, terkadang ada situasi di mana sulit sekali untuk menghindarinya (misalnya: berada di sekolah, di kelas, atau di kantor yang sama; atau bahkan anggota keluarga sendiri dan tinggal serumah). Bila harus menghadapi situasi demikian, bagaimanakah cara mencegah kemarahan agar tidak muncul? 

Bila menghadapi keadaan yang demikian, cara termudah mencegahnya adalah jangan memperhatikan atau memikirkan objek tersebut, pikirkanlah hal lain yang lebih bermanfaat. Bila tidak berhasil, maka jangan memperhatikan kualitas buruk dari objek tersebut, tetapi perhatikanlah kualitas baiknya.[6] Misalnya, ucapannya baik tetapi tindakan jasmaninya buruk, maka perhatikanlah kemurnian ucapannya, jangan memperhatikan keburukan tindakan jasmaninya. Bagaimana bila ucapan maupun tindakan jasmaninya buruk? Hal itu bisa saja terjadi; tetapi, mungkin saja terkadang pikirannya baik, misalnya saat dia pergi ke rumah ibadah untuk mendengarkan ceramah Dhamma. Maka, perhatikanlah kualitas pikirannya yang terkadang masih berjalan dengan baik, jangan memperhatikan kualitas dari keburukan tindakan jasmani dan ucapannya.  Bagaimana bila semua kualitas dari perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya buruk, tidak ada baiknya sama sekali? Bila demikian, dia sudah sepatutnya perlu dikasihani bukan dimarahi, karena tanpa dimarahi pun dia sudah sangat menderita. Perbuatan buruknya sudah pasti akan membuatnya celaka baik di kehidupan ini maupun di kehidupan berikutnya (baca paragraf berikutnya). Bagaimana bila semua kualitasnya baik, tidak ada yang cacat sama sekali? Bila demikian, tidak ada alasan sama sekali untuk memarahinya. Bila seseorang bisa marah kepada orang yang murni seperti demikian, maka dia dapat disebut sebagai orang yang sangat bodoh. Dengan berpikir demikian, seharusnya munculnya kemarahan dapat dicegah.

Apakah ada cara lain? Ya, sudah pasti. Untuk menghindari munculnya kemarahan, seseorang dapat mengembangkan cinta kasih universal (mettā), belas kasihan (karuā), keseimbangan mental (upekkhā - tatramajjhattatā), dan merenungkan kepemilikan karma.[7]  

Semua orang ingin bahagia, tetapi kenyataannya adalah hidup ini penuh dengan penderitaan, baik itu disadari atau tidak.[8] Maka, semua orang berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Namun sangat disayangkan, karena ketidaktahuannya, banyak dari mereka yang melakukannya dengan cara yang salah. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah setiap orang untuk mengembangkan cinta kasih universal kepada semua makhluk, bukannya memperburuk keadaan dengan mengembangkan kemarahan. Tidak sedikit orang yang telah berusaha dengan baik dan benar, namun tetap saja hidupnya sangat menderita, mungkin karena kelaparan, terkena penyakit, mengalami kecelakaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah setiap orang berusaha menolongnya. Bila tidak bisa melakukan bantuan fisik, setidaknya kembangkan dan pancarkan rasa belas kasihan agar mereka dapat segera terbebas dari penderitaan. Bila kemarahan masih sulit diatasi, kembangkanlah keseimbangan mental. Sadarilah bahwa semua yang terjadi adalah konsekuensi yang harus diterima sesuai dengan karma masing-masing. Bila orang lain melakukan perbuatan buruk dan akibatnya membuat anda menderita; terimalah, karena itu memang karma anda. Bila bukan karma anda, pasti anda tidak akan terkena dampaknya. Tetapi, bila anda menjadi marah karena perbuatan buruknya, tanyakanlah pada diri sendiri bila anda benar-benar mengerti bahwa kemarahan itu adalah hal yang tidak baik. Bila anda memang mengerti, lalu mengapa anda meniru perbuatannya, mengapa anda juga ikut marah? Bukankah bila demikian anda sama dengannya atau bahkan lebih bodoh darinya! 

Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan tanah. Apapun yang dilemparkan kepadanya, yang baik ataupun buruk, bersih ataupun kotor, bagus ataupun jelek, dan sebagainya, tanah tidak menolaknya, tidak merasa direndahkan, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa muak karena hal-hal tersebut. Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan air. ..... Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan angin (udara). ..... Pikiran yang seimbang dapat diibaratkan bagaikan api. Apapun yang dilemparkan kepadanya, yang baik ataupun buruk, bersih ataupun kotor, bagus ataupun jelek, dan sebagainya, api tidak menolaknya, tidak merasa direndahkan, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa muak karena hal-hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah baik untuk mengembangkan keseimbangan mental. [9]

Anda juga dapat merenungkan dengan sungguh-sungguh mengenai kepemilikan karma orang yang membuat anda marah sebagai berikut: dia adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri, terlahir karena karmanya sendiri, karma adalah kerabat/temannya, dan karma adalah pelindungnya.[10] Tanya pada diri anda, mengapa dia marah pada anda? Bila anda menyadari bahwa hal itu karena kesalahan anda, maka meminta maaflah kepadanya agar kemarahannya cepat reda. Jangan malah ikut terpancing dan menjadi marah juga, karena anda akan lebih tersiksa. Namun demikian, baik itu disebabkan oleh kesalahan anda ataupun bukan, saat dia marah, bukankah hal tersebut akan membuatnya celaka sendiri? Karena dia adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri. Kemarahan tentu bukanlah perbuatan yang akan membawanya mencapai pencerahan, menjadi brahma, dewa, raja dunia, atau bahkan menjadi seorang manusia; tetapi, malah sebaliknya, kemarahan akan meningkatkan penderitaannya, membawanya jatuh ke alam rendah, ke neraka. Setelah merenungkan hal itu, anda dapat merenungkan hal yang sama yang ditujukan pada diri anda sendiri. Bila anda terserang kemarahan, bukankah anda sendiri yang akan menderita? Kemarahan juga bukanlah perbuatan yang akan membawa anda mencapai pencerahan, menjadi brahma, dewa, raja dunia, atau bahkan menjadi seorang manusia; tetapi, malah sebaliknya, kemarahan akan meningkatkan penderitaan anda, membawa anda jatuh ke alam rendah, ke neraka.

Bagaimana bila setelah melakukan perenungan tersebut, kemarahan belum juga dapat dihindari atau setidaknya diredakan? Anda bisa merenungkan objek yang memicu kemarahan anda hanyalah sebagai kumpulan fenomena (misalnya fenomena mental dan jasmani), sebagai kumpulan kelompok kehidupan (khandha: materi/jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran), atau dibagi menjadi lebih kecil lagi, yaitu sebagai kumpulan berbagai macam unsur atau elemen. Contoh yang sederhana adalah merenungkan unsur dari kelompok jasmani, misalnya, apakah anda marah dengan rambutnya? atau apakah dengan kukunya? atau apakah dengan giginya? dan yang lainnya. Bisa juga diurai lebih detail lagi, misalnya, apakah pada unsur tanah (air, api, atau angin) di rambutnya (di kukunya, di giginya, dll.)? 

Saat perenungan terhadap elemen dilakukan, anda akan kehilangan konsep tentang seorang makhluk dan akibatnya kemarahan tidak mempunyai tempat untuk berpijak lagi. Maka, kemarahan dapat diharapkan untuk segera berlalu atau setidaknya segera mereda. Contoh, seorang teman memberitahu bahwa roda motor anda dikempeskan oleh teman sekelas anak anda dan anda mengenal anak tersebut. Maka, anda langsung berpikir tentang anak tersebut dan wajah atau keseluruhan rupa anak tersebut pun langsung muncul di benak anda dan kemarahan menjadikannya sebagai tempat berpijak. Walaupun sebenarnya saat itu anak tersebut sudah pulang ke rumahnya; namun demikian, kemungkinan besar anda tetap akan terus marah-marah sambil membayangkan wajah anak tersebut. Seandainya anda adalah seorang pendendam, maka bila suatu ketika anda melihat fotonya, kemungkinan besar kemarahan akan muncul kembali. Seandainya anda melihat foto belakang kepala anak tersebut, tetapi karena yang terlihat hanyalah rambutnya, anda tidak dapat mengenali foto tersebut sebagai foto anak tersebut, maka dapat dipastikan kemarahan anda terhadap anak tersebut tidak akan muncul. Mengapa demikian? Karena saat melihat foto rambut tersebut, konsep tentang seorang makhluk (dalam kasus ini adalah anak tersebut) tidak muncul, sehingga kemarahan tidak punya tempat untuk berpijak. 

Bagaimana bila setelah melakukan perenungan tersebut, kemarahan belum juga dapat dihindari atau setidaknya diredakan? Bila demikian, gunakanlah cara paling ampuh ini, cara yang bukan hanya dapat membasmi kemarahan, tetapi juga dapat membasmi semua jenis penderitaan untuk selama-lamanya, untuk mencapai nibbāna. Apa itu? Meditasi vipassanā. [11] Pada pembukaan Mahāsatipaṭṭhāna Sutta – DN 22 atau Satipaṭṭhāna Sutta – MN 10, Sang Buddha mengatakan bahwa manfaat pengembangan empat landasan perhatian murni (sati) di antaranya adalah dapat membasmi kesedihan (soka), ratap-tangis (paridevāna), dan penderitaan mental (domanassāna), yang mana semua itu sebenarnya adalah manifestasi dari kemarahan/kebencian. Empat landasan perhatian murni tersebut adalah landasan perhatian murni terhadap jasmani (kāya), perasaan (vedana), kesadaran (citta), dan objek-objek dhamma (dhamma). Contoh penerapan sederhana dari meditasi vipassanā saat seseorang terserang kemarahan adalah dengan menyadarinya, sehingga kemarahan tersebut tidak dapat berkembang dan mudah-mudahan cepat reda dan hilang. Dengan demikian, bukan hanya mengurangi jumlah akibat karma buruk dari kemarahan tersebut, tetapi malah menambah akibat karma baik dari menyadarinya. Hal ini dapat terjadi karena untuk menyadari kemarahannya seseorang harus mengerahkan kesadaran yang baik (kusala citta) yang didukung oleh perhatian murni (sati).

Meditasi vipassanā sangatlah ampuh, jangankan bila dapat mengembangkan dengan sempurna keempat landasan perhatian murni tersebut; bahkan, jika dapat mengembangkan salah satunya saja, anda akan tetap mendapatkan semua manfaatnya.[12] Bhante Sāriputta mengatakan kepada Sang Buddha, “Bhante, seseorang yang belum mengembangkan dengan mantap perhatian murni pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya mungkin akan memukul (memaki) temannya (bhikkhu lain) dan pergi berkelana tanpa meminta maaf.”[13] Ini secara tidak langsung mengatakan bahwa kemarahan tidak akan muncul pada seseorang yang telah mantap dalam pengembangan perhatian murni pada jasmani. Penulis merasakan sendiri besarnya manfaat praktik meditasi vipassanā ini dalam mengikis kemarahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengajurkan praktik meditasi vipassanā ini. Untuk tahap awal, sangatlah baik untuk memulainya dengan pengembangan perhatian murni pada jasmani karena objeknya cukup kasar dan mudah diamati. Misalnya, memperhatikan atau menyadari kembung-kempisnya rongga perut, keluar-masuknya napas, atau apapun aktivitas yang anda lakukan. Perlu diketahui bahwa meditasi bukan hanya dapat dilakukan dengan cara duduk bersila, tetapi dapat dilakukan dalam keadaan apapun dan kapanpun, kecuali saat tidur. Contohnya adalah menyadari sepenuhnya saat berdiri, berjalan, makan, minum, pakai baju, berbicara, dan yang lainnya. Untuk mengetahui instruksi meditasi vipassanā secara garis besar, silakan baca artikel ‘Petunjuk Meditasi Vipassanā.’ 

Wejangan Sang Buddha yang terdapat dalam Khodhana Sutta – AN 64 sangatlah cocok untuk menutup tulisan ini. Renungkan dan ingatlah baik-baik, semoga manfaat yang berlimpah menjadi milik teman-teman semua. 

Orang marah terlihat jelek,
dia juga tidur gelisah,
mendapatkan keuntungan,
dia jadikan kerugian.

Orang marah tersebut,
dikuasai oleh kemarahan,
setelah membunuh dengan jasmani dan ucapan,
kehilangan kekayaannya.

Digilakan oleh kemarahan,
dia mendapatkan reputasi buruk.
Keluarga, teman-teman, dan orang yang dicintainya,
menghindarinya.

Kemarahan adalah sebab kehancuran,
kemarahan membakar pikiran.
Mereka tidak menyadari bahayanya,
yang muncul dari dalam. 

Orang marah tidak tahu hal baik;
Orang marah tidak dapat melihat Dhamma.
Hanya ada kebutaan dan kegelapan,
saat kemarahan menguasai seseorang.

Karena marah melakukan pengrusakan,
baik tanpa kesulitan atau dengan kesulitan,
saat kemarahannya reda,
dia tersiksa bagaikan terbakar api.

Dia tidak terkendali,
bagaikan api terselubung asap.
Ketika kemarahannya meledak,
mengakibatkan orang lain marah juga.

Dia tidak malu dan takut akan keburukan,
ucapannya tidak pantas;
dia yang dikuasai kemarahan,
tak ada satupun tempat berlabuh baginya.

Saya akan sebutkan perbuatan 
yang mendatangkan penderitaan.
Dengarkanlah, karena mereka
jauh dari ajaran yang benar.

Orang marah membunuh ayahnya,
Orang marah membunuh ibunya,
Orang marah membunuh Arahat,
Orang marah membunuh orang awam.

Orang marah membunuh ibunya,
wanita baik yang memberinya kehidupan,
seseorang yang membesarkannya
dan menunjukkan dunia kepadanya.

Mereka, seperti diri sendiri,
diri merekalah yang paling dicintainya;
tetapi orang marah membunuh dirinya dengan berbagai cara,
ketika dihantui berbagai masalah.

Beberapa, bunuh diri dengan pedang;
beberapa, dengan minum racun;
beberapa, gantung diri dengan tambang;
beberapa, loncat ke jurang.

Perbuatan sehubungan dengan pembunuhan makhluk
dan yang menyebabkan terbunuhnya diri sendiri,
saat melakukannya, orang marah tidak menyadari
hal itu terlahir dari kemarahannya.

Inilah jebakan kematian berupa kemarahan
yang bersemayam di relung hati,
seseorang harus memotongnya dengan pengendalian diri,
kebijaksanaan, usaha, dan pandangan benar.

Orang bijaksana harus memotong
kualitas buruk ini,
Berlatih Dhamma-lah sedemikian rupa,
jangan mengalah pada keliaran.

Bebas dari kemarahan,  tanpa masalah,
bebas dari keserakahan, tanpa pendambaan,
jinak, kemarahan telah dimusnahkan,
dia yang tanpa noda mencapai nibbāna.


Rangkuman cara mengatasi kemarahan:
1.        Kurangi keserakahan.
2.        Kembangkan perasaan mudah puas.
3.        Hindari objek yang tidak disukai.
4.        Ingat kerugian ganda dari kemarahan (hati terasa panas & karma buruk baru).
5.        Ingat, kerugian jadi berlipat tiga dengan ditambah oleh tujuh hal yang menyenangkan musuh.
6.        Bila objek tidak bisa dihindari, jangan pikirkan dan perhatikan.
7.        Lihat kualitas baiknya, jangan kualitas buruknya.
8.    Kembangkan mettā, karuṇā, upekkhā (seperti unsur tanah, air, angin, & api), &   kepemilikan   karma.
9.       Renungkan sebagai elemen/unsur. Apakah marah dengan rambutnya, giginya, dll.? Atau apakah marah dengan unsur tanah/air/angin/api pada  rambutnya, giginya, dll.?
10.      Kembangkan meditasi vipassanā.

Inti dari semua cara di atas adalah Pengembangan Kesabaran dan untuk dapat mempunyai kesabaran yang baik seseorang harus bijaksana. Kebijaksanaan terbaik didapat dari bermeditasi dan meditasi terbaik adalah meditasi vipassanā. Jadi, Ber-VIPASSANĀ-lah
Telah banyak cara diuraikan untuk mengatasi kemarahan.
Bila tidak punya banyak waktu, latihlah satu cara saja, yaitu cara ter-AMPUH.
Apa itu? Meditasi Vipassanā.
Jangan sia-siakan hidup yang sungguh mulia dan sangat singkat ini.

Camkanlah baik-baik nasihat Guru Agung kita ini!

Para bhikkhu, apapun yang seorang guru harus lakukan
– demi kesejahteraan murid-muridnya atas rasa simpati/rasa sayang pada mereka –
telah Saya lakukan untuk kalian.
Di sana ada akar-akar pohon, kuti-kuti (gubuk - tempat) kosong.
Ber-MEDITASI-lah, para bhikkhu, jangan lalai! Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Ini adalah pesan kami pada kalian semua.”  AN -7.74

Semoga para pembaca dapat memetik manfaat sebesar-besarnya dari tulisan ini dan secepatnya terbebas dari penderitaan. Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten, Indonesia
21 Januari, 2013

Referensi:
1.        I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline Vol. II, Published for PTS by Luzac & Company Ltd., London, 1940.
2.        I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline Vol. IV, Published for PTS by Luzac & Company Ltd., London, 1951.
3.        Aṅguttara Nikāya, versi: Bhikkhu Bodhi (Wisdom Publications, Boston, 2012), Sri Lanka Tipiṭaka Project (http://www. metta.lk)PTS, http://www.accesstoinsight.org.
4.        Saṃyutta Nikāya, versi: Bhikkhu Bodhi (Wisdom Publication, Boston, 2000), Sri Lanka Tipiṭaka Project (http://www. metta.lk), http://www.accesstoinsight.org.
5.        Digital Pali Reader, http://pali.sirimangalo.org.
6.        The Jātaka, Stories of Buddha’s Former Births, translated by E. B. COWELL, M.A., and W. H. D. ROUSE, M.A., LITTḌ, http://www.sacred-texts.com.
7.        Buddhagosa, Visuddhimagga (The Path of Purification, translated by Bhikkhu Ñāṇamoli), Buddha Educational Foundation, Taiwan, 2003; dan versi BPS, 2011 dari http://www.accesstoinsight.org.
8.        The Dhammapada Commentary “Verses & Stories”, translated into English by Daw Mya Tin, M.A., (Reprinted by Bukkyo Dendo Kyokai, Tokyo, Japan 1987).
9.        Ṭhānissaro Bhikkhu, “Recognizing The Dhamma”, Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia.
10.    Pali Lookup version 2.0 – For Free Distribution Only, 2002, Aukuna Trust.

Daftar singkatan:
AN          Aṅguttara Nikāya 
Dhp        Dhammapada
DN          Dīgha Nikāya
MN        Majjhima Nikāya
SN          Saṃyutta Nikāya

File elektronik dari tulisan ini, dan artikel/buku yang lainnya dapat diunduh di:






[1] Untuk penjelasan lebih detail tentang hal ini, silakan baca Dasar-Dasar Abhidhamma bagian dosa citta dan dosa cetasika.
[2] Mahāvagga X 2.3-20. (Vinaya Piṭaka). Ini adalah terjemahan bebas. Untuk membuat alur cerita tidak kaku dan lebih enak dibaca, dilakukan beberapa pemengglan kata dan kalimat, namun tetap mempertahankan makna aslinya. 
[3] Pasukan gajah, kuda, kereta, dan infanteri (The Book of The Discipline Vol. II, hal. 375).
[4] Dīghāvu artinya adalah panjang umur.  Berdasarkan cerita-cerita jātaka, usia dewasa adalah sekitar 16 tahun.
[5] Untuk detailnya silakan baca Kodhana Sutta – AN 7.64.
[6] Untuk detailnya silakan baca Dutiya-Āghātapaṭivinaya Sutta – AN 5.162.
[7] Untuk detailnya silakan baca Paṭhama-Āghātapaṭivinaya Sutta – AN 5.161 & Mahārāhulovāda Sutta – MN 62.
[8] Sayangnya, lebih banyak orang yang tidak menyadari hal ini. Itulah sebabnya makhluk terus berputar-putar di saṃsarā ini.  Terlahir dan terahir lagi, (hal itu) sesungguhnya adalah Dukkha! – Dhp 153.
[9] Orang yang hidupnya menderita lebih mudah tersinggung dan marah-marah, jadi mereka perlu dikasihani. Caranya antara lain adalah mengembangkan mettā, karuā, dan upekkhā untuk mereka. Untuk penjelasan lebih detail tentang  mettā, karuā, dan upekkhā, silakan baca Dasar-Dasar Abhidhamma.
[10] Untuk penjelasan lebih detail tentang  hukum karma, silakan baca Kisah-kisah Hukum Karma.
][11] Meditasi pandangan terang dengan tujuan utamanya adalah pencapaian pencerahan, Nibbāna. Cara sebelumnya, seperti pengembangan mettākaruṇā, upekkhā, dan analisa elemen dapat dikategorikan sebagai meditasi samatha, detailnya silakan lihat Visuddhimagga IX 14-40.
[12] Berdasarkan perbandingan manfaat dari Mahāsatipaṭṭhāna Sutta dengan sepuluh manfaat yang dijelaskan dalam Kāyagatāsati Sutta – MN 119. Kāyagatāsati Sutta sebenarnya adalah pembahasan terpisah bagian kāyānupassanā dari Mahāsatipaṭṭhāna Sutta.
[13] Sīhanāda Sutta – AN 9.11