Selasa, 05 Maret 2013


Aṅgulimāla, - seorang bandit, seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup, - bisa mencapainya (Nibbāna).   

Bagaimana dengan Anda?

Ayo, Berjuanglah! untuk merealisasi Dhamma Mulia di kehidupan ini juga dengan berlatih meditasi vipassanā sungguh-sungguh.

 

Salam Mettā untuk semua,

 

U Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, 03 Maret 2013

 
 

Aṅgulimāla Sutta - MN 86 (PTS M ii  97)
 
Demikianlah yang telah saya dengar. Di suatu saat Sang Bhagavā berdiam di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.

Saat itu ada seorang bandit di wilayah Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala bernama Aṅgulimāla. Dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. 

Kemudian Sang Bhagavā, di pagi hari, setelah mengenakan jubah dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk mengumpulkan dana makanan (piṇḍapāta). Ketika Beliau telah berkeliling untuk ber-piṇḍapāta di Sāvatthi dan telah kembali dari piṇḍapāta setelah menyelesaikan makanNya, Beliau merapikan tempat beristirahat/tidurNya. Dengan membawa jubah dan mangkukNya, Beliau pergi berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam. Para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam dan mereka berkata, “Jangan pergi ke jalan tersebut, petapa. Di jalan tersebut ada bandit bernama Aṅgulimāla, seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Orang-orang telah melalui jalan itu dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua jadi korban Aṅgulimāla.” Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.

Untuk kedua kalinya, ..... Untuk ketiga kalinya, para penggembala sapi, penggembala kambing, dan petani melihat Beliau berjalan menuju ke tempat Aṅgulimāla berdiam dan berkata, “Jangan ..... Ketika hal tersebut dikatakan, Sang Bhagavā tetap melanjutkan perjalanannya tanpa berkomentar sepatah katapun.

Aṅgulimāla, sang bandit, melihat Sang Bhagavā dari kejauhan sedang berjalan mendekat. Ketika dia melihatNya, dia berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Orang-orang telah melalui jalan ini dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 10, 20, 30, bahkan 40 orang, tetapi mereka semua telah jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang, petapa ini datang sendiri, tanpa teman, seperti didorong oleh takdir. Mengapa aku tidak membunuhnya? Aṅgulimāla kemudian mengambil pedang dan perisainya, mengenakan busur dan tempat anak panahnya, dan mengikuti Sang Bhagavā dari belakang.”

Kemudian Sang Bhagavā mengeluarkan kesaktianNya sehingga Aṅgulimāla, sang bandit, walaupun telah berlari sekencang-kencangnya, tidak dapat mengejar Sang Bhagavā yang sedang berjalan dengan normal. Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berpikir, “Ini luar biasa! Ini menakjubkan! Sebelumnya aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai gajah yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kuda yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap orang yang mengendarai kereta yang cepat; aku dapat mengejar dan menangkap seekor rusa yang cepat; tetapi sekarang, walaupun aku telah berlari sekencang-kencangnya, aku tidak dapat mengejar petapa ini yang berjalan dengan normal.” Dia berhenti dan kemudian berteriak kepada Sang Bhagavā, “Berhenti, petapa! Berhenti, petapa!”

“Saya telah berhenti, Aṅgulimāla, kamu juga berhenti.”

Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berpikir, “Para petapa ini, para putra suku Sakya adalah pembicara kebenaran, menekankan kebenaran; tetapi petapa ini, walaupun masih berjalan, dia berkata, ‘Saya telah berhenti, Aṅgulimāla, kamu juga berhenti.’ Mengapa aku tidak bertanya kepadanya?”

Kemudian sang bandit Aṅgulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dengan sebuah syair:

“Ketika kau sedang berjalan, petapa, kau berkata, ‘Aku telah berhenti.’
Tetapi ketika saya telah berhenti, kau berkata, ‘Saya belum berhenti.’
Sekarang saya bertanya kepadamu, Oh petapa, apa maksudnya:
Kamu telah berhenti dan aku belum berhenti.”
 
“Aṅgulimāla, Saya telah berhenti untuk selama-lamanya,
Saya telah meninggalkan kekerasan kepada semua makhluk.
Tetapi, kamu tidak punya kendali kepada semua makhluk,
Itulah maksudnya, Aku telah berhenti dan kamu belum berhenti.”
 
“Oh, akhirnya seorang petapa, seorang bijaksana yang mulia,
Datang ke hutan ini demi aku.
Setelah mendengar syairMu yang mengajarkanku Dhamma
Saya akan meninggalkan kejahatan untuk selamanya.”
 
Setelah berkata demikian, sang bandit mengambil pedang dan senjatanya
Dan melemparkannya ke jurang.
Sang bandit bernamaskara di kaki Sang Bhagavā,
Dan di sana, saat itu juga, ia meminta untuk ditahbiskan.
 
Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasihan,
Guru dari dunia dan seluruh dewanya,
Berkata kepadanya, “Datanglah, bhikkhu.”
Dan demikianlah dia menjadi bhikkhu. 
 

Kemudian Sang Bhagavā pergi melanjutkan perjalanan menuju Sāvatthi bersama bhante Aṅgulimāla sebagai asistennya. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthi, dan di sana Beliau tinggal di taman milik Anāthapiṇḍika di hutan Jeta, Sāvatthi.

Saat itu ada banyak sekali orang yang berkumpul di pintu istana bagian dalam dari Raja Pasenadi. Sangat ribut dan berisik, mereka berteriak-teriak, “Tuan, sang bandit Aṅgulimāla berada di wilayah kekuasaanmu; dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Raja harus menaklukkannya!”

Kemudian di tengah hari, Raja Pasenadi dari Kosala dengan mengendarai kereta kuda pergi meninggalkan Sāvatthi bersama lima ratus pasukan berkuda menuju ke taman milik Anāthapiṇḍika.  Dia mengendarai kereta kudanya sampai sejauh jalan yang mungkin dilalui oleh kereta, kemudian dia turun dari keretanya dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki untuk bertemu Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Ada apa, Maha Raja? Apakah Raja Seniya Bimbisara dari Magadha menyerangmu, atau para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya?”

“Bhante, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerang saya, begitu juga dengan para Licchavī dari Vesāli, atau para raja agresif yang lainnya. Tetapi, ada seorang bandit di wilayah kekuasaanku bernama Aṅgulimāla, dia adalah seorang pembunuh, seorang yang tangannya berlumuran darah, seorang yang hidupnya didedikasikan pada kekerasan, yang tidak punya belas kasihan kepada makhluk hidup. Desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah dibuatnya kacau balau. Dia terus-menerus membunuhi penduduk dan memakai jari-jari mereka sebagai kalung. Saya tidak akan pernah bisa menaklukkannya, Bhante.”

“Maha Raja, seandainya kamu melihat Aṅgulimāla telah mencukur rambut dan bewoknya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu; dia menghindari pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, dan ucapan bohong; dia hanya makan satu kali, melaksanakan kehidupan suci, menjalankan sila, dan bertingkah laku baik; apa yang akan kau lakukan kepadanya?” “Bhante, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangun dari duduk untuknya, atau mengundangnya untuk duduk; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan         untuk mengatasi sakit; atau memberikan perlindungan sesuai hukum kepadanya. Tetapi, Bhante, dia adalah orang yang tidak bermoral, seseorang yang sifatnya jahat, bagaimana dia bisa mempunyai pengendalian diri dan moralitas?”

Pada saat itu bhante Aṅgulimāla sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā, kemudian Sang Bhagavā menjulurkan tangan kananNya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala, “Maha Raja, ini dia Aṅgulimāla.” Raja Pasenadi langsung ketakutan, panik, dan merinding. Mengetahui hal tersebut, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Jangan takut, Maha Raja, jangan takut. Tidak ada yang perlu kau takuti darinya.” Maka, ketakutan, kepanikan, dan perasaan merinding sang Raja pun mereda. Dia kemudian mendatangi bhante Aṅgulimāla dan berkata, “Bhante, apakah Yang Mulia adalah Aṅgulimāla?”

“Benar, Maha Raja.”
“Bhante, apa marga ayah bhante? Apa marga ibu bhante?”

“Ayah saya marganya Gagga, Maha Raja; ibu saya marganya Mantāṇī.”
“Semoga bhante Gagga Mantāṇīputta bahagia. Saya akan menyediakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk bhante.”

Saat itu bhante Aṅgulimāla adalah seorang bhikkhu yang tinggal di hutan, makan dari hasil piṇḍapāta, pemakai jubah dari kain buangan, dan hanya menggunakan tiga helai jubah (satu set). Dia menjawab, “Cukup, Maha Raja, tiga jubahku sudah lengkap.” Raja Pasenadi kemudian kembali kepada Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Luar biasa, Bhante, ini adalah hal yang luar biasa di mana Sang Bhagavā dapat menundukkan yang tidak bisa ditundukkan, menenangkan yang tidak tenang, dan menuntun ke Nibbāna mereka yang belum mencapai Nibbāna. Bhante, kami sendiri tidak dapat menaklukkannya dengan kekerasan dan senjata, tetapi Sang Bhagavā dapat menaklukkannya tanpa kekerasan dan senjata. Sekarang, Bhante, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.” “Sekarang adalah waktunya, Maha Raja, melakukan hal yang kau pikir tepat.” Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, dan setelah melakukan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dengan memposisikan Sang Bhagavā selalu berada di sebelah kanannya, dia pergi.

Suatu ketika, di pagi hari, bhante Aṅgulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat beliau ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, dia melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya. Ketika beliau melihat hal ini, beliau berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!” Setelah beliau menyelesaikan piṇḍapāta-nya dan telah kembali ke vihara, setelah menyelesaikan makannya beliau pergi menemui Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadaNya, dia duduk di satu sisi dan berkata, “Bhante, di pagi hari setelah saya mengenakan jubah, dengan membawa mangkuk dan jubah luar saya pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat saya ber-piṇḍapāta dari rumah ke rumah di Sāvatthi, saya melihat seorang wanita sedang kesakitan karena kesulitan dalam proses melahirkan anaknya. Ketika melihat hal tersebut, saya berpikir, ”Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh!, betapa menderitanya para makhluk!”

“Bila demikian Aṅgulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan, saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!” Bhante, tidakkah saya melakukan kebohongan dengan disengaja, karena saya telah melakukan banyak pembunuhan dengan disengaja?”

“Bila demikian, Aṅgulimāla, pergilah ke Sāvatthi dan katakan kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!””

“Baik, Bhante,” jawab bhante Aṅgulimāla. Setelah beliau pergi ke Sāvatthi, beliau berkata kepada wanita tersebut, “Saudari, sejak saya dilahirkan sebagai seorang Yang Mulia (Ariya), saya tidak ingat bila saya pernah dengan sengaja menghilangkan kehidupan seorang makhluk. Dengan pernyataan kebenaran ini, semoga anda selamat sejahtera dan semoga bayi anda selamat sejahtera!”  Kemudian, wanita tersebut dan anaknya menjadi baik.

Bhante Aṅgulimāla lalu menarik diri dari keramaian, berdiam sendiri, rajin, penuh semangat dan tekad yang kuat. Dalam waktu singkat, bhante Aṅgulimāla di dalam kehidupan ini juga merealisasi langsung dengan pengetahuan supernormalnya, tujuan akhir dari kehidupan suci yang menjadi tujuan para perumah tangga yang meninggalkan kehidupan duniawi – menjadi bhikkhu. Dia menyadari, “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani dengan sempurna, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjadian.” Dan bhante Aṅgulimāla menjadi salah satu di antara para Arahat.

Suatu ketika, di pagi hari, bhante Aṅgulimāla setelah mengenakan jubahnya dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke Sāvatthi untuk ber-piṇḍapāta. Saat itu seseorang melempar bongkahan tanah dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuh bhante Aṅgulimāla, orang lain lagi melempar ranting kayu/tongkat dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya, orang lain lagi melempar ranting batu dan (tidak disengaja) jatuh mengenai tubuhnya. Kemudian, bhante Aṅgulimāla dengan darah yang bercucuran dari kepalanya, mangkuknya yang pecah, dan jubah luarnya yang sobek, pergi menemui Sang Bhagavā. Sang Bhagavā yang melihatnya datang dari kejauhan berkata kepadanya, “Tahanlah, brahmana! Tahanlah, brahmana! Kau mengalami buah dari karma yang akan membuatmu tersiksa di neraka selama bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun.”

Kemudian, ketika bhante Aṅgulimāla pergi menyendiri untuk bermeditasi, dia mengalami kebahagiaan (kedamaian) dari pembebasan; dia mengekspresikannya dengan mengucapkan seruan dalam bentuk syair.

“Siapapun yang dulu hidup dalam kelengahan
Dan kemudian tidak lengah lagi,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Dia yang menebus perbuatan jahat yang dilakukannya
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik,
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Bhikkhu muda yang mengabdikan
Usahanya pada Ajaran Sang Buddha
Ia menerangi dunia
Bagaikan bulan yang bebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Khotbah Dhamma
Semoga mereka menjalankan sungguh-sungguh  Ajaran Buddha
Semoga mereka berteman dengan orang-orang baik dan damai
Yang menuntun orang lain untuk menerima Dhamma

Semoga musuh-musuhku mendengarkan Dhamma di saat yang tepat
Dari mereka yang membabarkan kesabaran,
Dan mereka yang memuji kebaikan,
Dan semoga mereka hidup sesuai dengan Dhamma.

Karena pasti mereka tidak akan mencelakaiku,
ataupun orang lain,
Setelah mencapai kedamaian tertinggi
mereka akan melindungi yang lemah ataupun kuat.

Pembuat irigasi mengarahkan aliran air,
Pembuat anak panah meluruskan batang anak panah,
Tukang kayu membentuk (memprofil) kayu,
Orang bijaksana menjinakkan dirinya sendiri.

Ada beberapa yang dijinakkan dengan pukulan,
Beberapa dengan tongkat kendali dan beberapa dengan cambukan;
Tetapi tanpa tongkat kayu atau senjata apapun,
Aku dijinakkan oleh Orang yang demikian.

“Pelaku tanpa kekerasan” adalah namaku,
Walaupun sebelumnya aku adalah pelaku kekerasan.
Sekarang aku sesuai dengan namaku,
Karena aku tidak menyakiti siapapun.

Seorang bandit aku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Aṅgulimāla (Kalung-jari).
Tersapu oleh banjir besar,
Aku berlindung pada Sang Buddha.

Berlumuran darah tanganku sebelumnya
Yang dikenal sebagai si Aṅgulimāla (Kalung-jari).
Melihat dan mengambil perlindungan padaNya
Pendambaan untuk menjadi dihancurkan.

Telah melakukan banyak perbuatan yang mengarah
Pada kelahiran kembali di alam menderita,
Sekarang, aku menerima akibatnya
Karenanya, bebas dari hutang aku memakan makananku.

Mereka yang dungu, bodoh
Terbelenggu oleh kelengahan,
Tetapi mereka yang bijaksana menjaga semangat
Sebagai harta terbaik.

Jangan menyerah pada kelengahan
Begitu juga pada kesenangan dari objek indra,
Tetapi bermeditasilah dengan penuh semangat
Untuk mencapai kebahagiaan sempurna.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Dari semua Dhamma yang dikenal manusia
Aku telah mendapatkan yang terbaik.

Bertumbuhlah, jangan menurun
Ini adalah nasihat baik dariku.
Tiga pengetahuan telah kucapai
Dan instruksi Sang Buddha telah dilaksanakan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar