Mengapa Berdana Uang
Kepada
Bhikkkhu
Adalah Perbuatan Karma Buruk?
Pendahuluan
Artikel ini dibuat
untuk menjawab dan menjelaskan para umat yang bertanya tentang alasan dari
pernyataan bahwa berdana uang kepada bhikkhu atau Sangha adalah suatu perbuatan
yang akan memberikan karma buruk. Penulis telah menjawab dan bahkan menjelaskan
alasannya kepada sebagian umat yang bertanya dan juga memberikan referensi
artikel dan Sutta-nya. Tetapi karena artikel dan Sutta tersebut masih dalam
bahasa Inggris, sebagian penanya kesulitan untuk memahaminya. Selain itu, agar
penulis tidak perlu menjelaskannya berulang-ulang, maka penulis memutuskan
untuk membuat penjelasannya dalam artikel ini.
Ada yang
mengatakan bagaimana bisa mendapatkan karma buruk bila hal itu dilakukan dengan
niat (cetanā) yang baik; karena
berdasarkan Abhidhamma, cetanā-lah
yang menentukan apakah karma yang kita perbuat itu baik atau buruk. Jadi bila
niat berdananya baik, maka hal itu pasti mendatangkan karma baik. Selain itu,
pemberian uang juga tidak melanggar lima sila dasar (pañcasīla) atau bahkan delapan sila (aṭṭhasīla).
Penulis, di bagian pendahuluan artikel “Kehidupan Tanpa Uang”, telah
menjelaskan bahwa niat baik saja tidaklah cukup dengan memberikan perumpamaan
seseorang yang membantu temannya melakukan korupsi. Contoh lain adalah seorang
ibu yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anaknya dengan berjualan racun.
Tentu saja ibu tersebut mempunyai cetanā
yang baik, tetapi karena dia mencari nafkah dengan cara penghidupan salah
(walaupun menjual racun tidak termasuk dalam pelanggaran sila); maka dia akan
mendapatkan karma buruk.
Penulis berharap
agar umat mau belajar dengan lebih giat dan semangat lagi untuk meningkatkan
pengetahuan Dhammanya, karena bila Dhamma dijalankan secara salah maka
penderitaanlah hasilnya, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam syair Dhammapada
311, “Bagaikan rumput kusa, bila salah
memegangnya akan melukai tangan; begitu juga kehidupan seorang bhikkhu, bila
dijalankan secara salah akan menyeretnya ke neraka.”
Maksud hati adalah berbuat baik dan mendapatkan pahala dengan berdana; tetapi
karena kurangnya pengetahuan, dia melakukannya dengan cara yang salah. Maka,
bukannya mendapatkan pahala, malah celaka yang didapatnya.
Hal yang perlu diingat baik-baik
bila penyokong berdana uang kepada bhikkhu adalah:
1. Penyokong akan kehilangan uangnya.
2. Penyokong mengondisikan seorang bhikkhu atau bahkan Sangha melakukan pelanggaran
Vinaya.
3. Uang tersebut, berdasarkan peraturan Vinaya yang berlaku, tidak dapat digunakan.
4. Penyokong akan mendapatkan banyak karma buruk.
1. Penyokong akan kehilangan uangnya.
2. Penyokong mengondisikan seorang bhikkhu atau bahkan Sangha melakukan pelanggaran
Vinaya.
3. Uang tersebut, berdasarkan peraturan Vinaya yang berlaku, tidak dapat digunakan.
4. Penyokong akan mendapatkan banyak karma buruk.
Dalam hal ini penyokong bagaikan
orang yang sangat malang karena bukan hanya kehilangan uangnya, tetapi juga
mendapatkan banyak karma buruk. Hal ini sesuai dengan peribahasa yang berbunyi,
“Sudah jatuh, tertimpa tangga.”
Semoga setelah
membaca penjelasan yang berada dalam artikel ini para penyokong dapat mempunyai
pengertian yang benar bagaimana cara menyokong yang baik, sehingga dengan pengetahuan ini, para umat bukan hanya
dapat berdana dengan benar, tetapi juga dapat memberikan kondisi yang mendukung bagi para bhikkhu untuk
menjalankan kehidupannya sesuai dengan Vinaya, khususnya bagi para bhikkhu baik
yang berusaha untuk mempraktikkannya, sehingga dapat menghindari pelanggaran
yang terjadi karena harus tinggal di tempat yang salah.
Isi artikel:
File elektronik dari artikel ini, artikel Kehidupan Tanpa Uang, dan
artikel/buku yang lainnya dapat diunduh di:
Semoga artikel ini bermanfaat
bagi para pencari Dhamma.
Semoga semua makhluk dapat
berbagi dan menikmati sebesar jasa kebajikan
hasil dari penulisan Dhamma
ini.
Bhikkhu
Sikkhānanda
Cetiya Dhamma SikkhāTangerang, Banten
04 November, 2012
Artikel ini boleh dikutip, diubah formatnya, dan dicetak dalam
media apapun
tanpa izin dari penulis demi menyebarluaskan dan
melestarikan Buddha Dhamma.
Dilarang keras
untuk diperjualbelikan.
Namo Tassa Bhagavato
Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang -
Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara
Sempurna atas Usaha Sendiri.
Ini
adalah terjemahan bebas dari artikel Dhamma yang berjudul ‘Adhamma Dana’ karya
Bhikkhu Pesala. Dalam artikel ini, beliau berusaha menjelaskan bahwa pemberian
uang kepada bhikkhu adalah hal yang salah dan sangat merugikan. Penjelasan yang
beliau berikan bukan hanya berasal dari sudut pandang Vinaya tetapi juga dari
Sutta. Perlu diketahui bahwa catatan kaki dan kata dalam [ ] pada terjemahan
artikel ini adalah tambahan penerjemah.
Adhamma Dana
Oleh Bhikkhu Pesala
34B Cambridge Road, Seven Kings, Ilford, Essex
IG3 8LU
Memberikan
sesuatu (persembahan) kepada orang lain adalah sebuah cara untuk mengembangkan
kebaikan dan kemurahan hati. Hal itu membantu melepaskan pendambaan
(kemelekatan) jika dilakukan dengan niat yang baik, dan harus dikembangkan
sebagai sebuah kebiasaan yang berkesinambungan oleh semua orang baik. Jika
penerimanya adalah seorang bhikkhu yang bermoral dan terbebas dari pendambaan
terhadap barang persembahan tersebut, maka tindakan kemurahan hati yang
sederhana menjadi sebuah cara yang mulia dalam melakukan penghormatan kepada
Sang Buddha.
Namun
demikian, tidak semua pemberian persembahan merupakan kebajikan (perbuatan
berjasa), beberapa barang seharusnya tidak diberikan karena barang-barang
tersebut mencemari moralitas penerima. Sebagai contoh, senjata, alkohol, racun,
hal yang berhubungan dengan kegiatan seksual, hiburan-hiburan dan
pertunjukan-pertunjukan yang bodoh, walaupun hal-hal tersebut mungkin
menyenangkan bagi sebagian orang, seharusnya hal-hal tersebut tidak diberikan
karena mengondisikan penerimanya melakukan karma buruk. Memberikan persembahan
berupa uang kepada umat awam biasanya termasuk kebajikan, tetapi memberikan
suap adalah bukan.
Artikel
ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa memberikan uang kepada para bhikkhu bukan
hanya dilarang oleh Sang Buddha, tetapi juga merupakan sebuah tindakan buruk
yang memberikan hasil yang buruk pula bagi pendana. Jika uang diberikan kepada
seorang umat awam yang membantu bhikkhu (kappiya)
sewaktu mengundang bhikkhu tersebut untuk menerima kebutuhan yang
diperbolehkan, maka hal tersebut diperbolehkan dan tentu saja itu adalah sebuah
tindakan berjasa.
Jīvaka Sutta yang terdapat di Majjhima Nikāya adalah
tentang makan daging oleh para bhikkhu. Di sana Sang Buddha berkata bahwa para
bhikkhu boleh makan daging, bila mereka tidak melihat, mendengar, atau menduga
bahwa hewan tersebut memang dibunuh untuk mempersembahkan daging pada Sangha.
Jika seekor binatang telah disembelih untuk dipersembahkan, maka hal itu adalah
pelanggaran tindakan salah (dukkaṭa) bagi seorang
bhikkhu jika menerimanya. Pendana melakukan “banyak keburukan” (bahuṃ apuññaṃ) dalam lima hal:
1.
Dengan memerintahkan hewan tersebut
untuk ditangkap, dia melakukan banyak keburukan.
2.
Ketika hewan tersebut ditangkap, dia
menderita; dia melakukan banyak keburukan.
3.
Dengan memerintahkan hewan tersebut
untuk disembelih, dia melakukan banyak keburukan.
4.
Ketika hewan tersebut sedang disembelih,
dia menderita; dia melakukan banyak keburukan.
5.
Dengan mempersembahkan apa yang tidak
diperbolehkan, dia melakukan banyak keburukan.
Saya
mengutip kalimat yang terkait dari teks Pāḷi:
“Yampi so Tathāgataṃ vā
tathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti, iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃ
pasavati.” (Jīvaka Sutta, Majjhima Paṇṇasa, Majjhima Nikāya).
“Demikian juga, siapapun
yang mempersembahkan kepada Sang Buddha
atau siswaNya apa yang tidak
diperbolehkan, dalam kasus ke lima ini dia melakukan
banyak keburukan.”
Arti dari kata “āsādeti” adalah
“mengundang untuk menerima”, bukan “memberikan”, maka seseorang melakukan
banyak keburukan bahkan jika seorang bhikkhu yang baik menolak persembahan
tersebut. Menerima persembahan daging
yang tidak diperbolehkan adalah termasuk pelanggaran kecil/minor berupa “tindakan salah” untuk para bhikkhu;
tetapi untuk menerima uang adalah
sebuah pelanggaran yang relatif besar
berupa “Nissaggiya Pācittiya.” [1]
Maka, mempersembahkan uang kepada para bhikkhu adalah hal yang lebih buruk
daripada mempersembahkan daging yang tidak diperbolehkan.
Sebagian
orang mungkin berkata, “Bagaimana mungkin pendana melakukan keburukan, karena
mempersembahkan uang hasil kerja kerasnya adalah sebuah tindakan kemurahan
hati.” Tetapi, dengan alasan yang sama, memberikan daging miliknya juga adalah
tindakan kemurahan hati. Tolong coba renungkan untuk sesaat bagaimana perasaan
bhikkhu yang bermoral (berbudi luhur) ketika diundang untuk menerima uang. Ia
mungkin merasa terhina atau setidaknya malu, karena bila dia menolak dana yang
dipersembahkan, dia mungkin akan menyakiti si pendana. Situasi tersebut
sangatlah sulit [bila terjadi] di tengah kumpulan para bhikkhu (Sangha). Jika
semua bhikkhu menerima uang tersebut kecuali dia, dia benar-benar akan berada
pada posisi yang sulit. Jika dia menerimanya, dia akan melakukan pelanggaran;
jika dia menolaknya, semua bhikkhu yang lainnya dan si pendana akan malu.
Apakah hal tersebut merupakan suatu perbuatan berjasa untuk membuat para
bhikkhu yang bermoral malu dan melanggar silanya? Pastinya TIDAK!
Coba
pikir kembali apa yang harus terjadi setelah uang tersebut diterima. Jika
kemudian seorang bhikkhu yang bermoral menyadari kesalahannya, dia harus
melepaskan uang tersebut. Uang tersebut harus dilepaskan kepada Sangha,[2] bukan
kepada seseorang. Maka dia setidaknya akan merepotkan empat orang bhikkhu. Jika
saat itu ada umat awam, bhikkhu yang menerima uang tersebut harus memberikannya
kepadanya; dia kemudian dapat melakukan apapun yang dia suka, tetapi dia tidak
boleh menggunakannya untuk keuntungan bhikkhu yang melakukan pelanggaran. Jika
tidak ada umat awam, Sangha harus menunjuk seorang “pembuang uang” yang
netral/tidak berpihak. Dia kemudian harus membuangnya ke luar lingkungan
vihara, tanpa memperhatikan di mana uang tersebut jatuh. Uang tersebut kemudian
mungkin dimakan cacing, tertiup angin, atau diambil orang yang beruntung yang
kebetulan lewat di sana. Semua kesulitan ini terjadi bahkan hanya gara-gara
uang sebesar 5 dolar.
Beberapa
orang berkata bahwa jika pendana mempersembahkan uang, bhikkhu harus
memberitahu pendana untuk memberikannya kepada seorang kappiya, tetapi hal tersebut juga merupakan suatu pelanggaran.
“Bhikkhu apapun yang menerima uang, membuat orang lain menerimanya untuknya,
atau menyetujui disimpannya uang tersebut untuk keperluannya, dia bersalah atas
sebuah pelanggaran yang memerlukan pengakuan dengan disertai pelepasan
kepemilikan dari barang/benda yang diterimanya. Dia hanya dapat berkata, “Kami
tidak menerima uang, kami hanya menerima keperluan bhikkhu yang diperbolehkan
dan pada saat yang tepat.” Jika kemudian pendana bertanya bila ada kappiya yang mengurus keperluannya, sang
bhikkhu dapat memberitahukannya. Kemudian, pendana dapat memberikan uang tersebut
kepada sang kappiya. Namun demikian,
uang tersebut tetap milik si pendana; bukan milik sang bhikkhu ataupun kappiya. Jika kappiya tersebut tidak menyediakan kebutuhan sang bhikkhu, bhikkhu
tersebut dapat memberitahu pendana tentang hal ini, tetapi dia tidak boleh
memaksa kappiya-nya untuk membelikan
apa yang diinginkannya. Jika bhikkhu tersebut melakukannya, dia akan terkena
pelanggaran yang memerlukan pengakuan dan pelepasan (barang yang didapat dengan
cara yang tidak benar). Jika pendana bertanya apa yang seharusnya dia lakukan
dengan uang tersebut setelah sang bhikkhu menolaknya, bhikkhu tersebut dapat
menjelaskan peraturan Vinaya, tetapi dia tidak boleh memberitahu pendana apa
yang harus dilakukannya dengan uang tersebut.
Apakah
anda masih berpikir bahwa memberikan uang kepada para bhikkhu adalah suatu
perbuatan berjasa? Jika ia, maka tentulah hal tersebut harus didukung. Namun
demikian, jika hal tersebut adalah hal yang tidak baik, maka praktik tersebut
tidak boleh dibiarkan, seperti tidak diperbolehkannya pemberian alkohol, ayam
hidup, atau persembahan yang tidak layak/pantas lainnya. - 22
Oktober 2012 -.
Ini
adalah Sutta yang dijadikan referensi utama sebagai acuan dari pernyataan bahwa
memberikan (berdana) uang kepada bhikkhu atau Sangha adalah perbuatan karma
buruk. Agar para pembaca mendapatkan pengertian yang lebih jelas mengenai isi dan
pemicu munculnya Sutta ini, maka penulis sengaja melampirkan terjemahan Sutta
ini secara lengkap.
Jīvaka Sutta (Kepada Jīvaka)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha
sedang menetap di Rājagaha di Hutan Mangga milik Jīvaka Komārabhacca. Kemudian Jīvaka
Komārabhacca pergi menemui Sang Buddha, dan setelah memberikan penghormatan
kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha, “Yang
Mulia, saya telah mendengar ini, ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk petapa
Gotama; petapa Gotama secara sadar memakan daging yang dipersiapkan untukNya
dari binatang-binatang yang dibunuh demi Beliau.’ Yang Mulia, apakah mereka
yang mengatakan demikian mengatakan apa yang telah diucapkan oleh Yang
Terberkahi; dan tidak salah memahami Yang Terberkahi dengan apa yang berlawanan
dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian rupa sehingga
tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat disimpulkan dengan benar dari
pernyataan mereka?”
“Jīvaka, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan
apa yang telah Kukatakan, tetapi salah memahamiKu dengan apa yang tidak benar
dan berlawanan dengan fakta. “Jīvaka, Saya katakan bahwa ada tiga kasus di mana
daging seharusnya tidak dimakan; jika terlihat, terdengar, atau diduga [bahwa
makhluk hidup tersebut disembelih untuknya]. Saya katakan bahwa dalam ketiga
kasus tersebut daging seharusnya tidak dimakan. Saya katakan bahwa ada tiga
kasus di mana daging boleh dimakan; jika tidak terlihat, tidak terdengar, dan
tidak diduga [bahwa makhluk hidup tersebut disembelih untuknya]. Saya katakan
bahwa daging boleh dimakan dalam ketiga kasus ini.
“Di sini, Jīvaka, seorang bhikkhu hidup bergantung pada
suatu desa atau kota-pasar. Dia berdiam dengan menebarkan pikiran penuh cinta-kasih
ke satu area, demikian pula dengan area kedua, demikian pula dengan area ketiga,
demikian pula dengan area keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke
sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya
sendiri, dia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh
cinta-kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk.
Kemudian seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga mendatanginya
dan mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu dapat menerimanya,
jika dia menginginkannya. Ketika malam telah berlalu, pagi harinya dia mengenakan
jubah, membawa mangkuk dan jubah luarnya, pergi ke rumah perumah-tangga atau
putra perumah-tangga tersebut dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian
perumah-tangga atau putra perumah-tangga tersebut melayaninya dengan makanan
yang baik. Dia tidak berpikir, ‘Betapa baiknya bahwa perumah-tangga atau putra perumah-tangga
tersebut melayaniku dengan makanan yang baik! Seandainya seorang perumah-tangga
atau putra perumah-tangga tersebut dapat melayaniku dengan makanan yang baik di
masa depan!’ Dia tidak berpikir demikian. Dia memakan makanan tersebut tanpa terikat
padanya, tanpa tergila-gila padanya, dan tanpa terbelenggu padanya, karena melihat
bahaya di dalamnya dan memahami jalan pembebasannya. Bagaimana menurutmu, Jīvaka?
Apakah bhikkhu tersebut pada kesempatan itu berpikir untuk membuat dirinya menderita,
atau membuat orang lain menderita, atau membuat keduanya menderita?” – “Tidak,
Yang Mulia.” – “Apakah bhikkhu tersebut menopang dirinya dengan makanan-tanpa-cela
pada kesempatan itu?”
“Ya, Yang Mulia. Saya telah mendengar hal ini, Yang
Mulia, ‘Brahmā berdiam dalam cinta-kasih universal (mettā).’ Yang Mulia, saya melihatnya sendiri hal itu pada diri Yang
Terbekahi; karena Yang Terbekahi berdiam dalam cinta-kasih universal.” “Jīvaka,
semua nafsu, semua kebencian, semua kebodohan yang karenanya niat buruk dapat
muncul telah dieliminasi oleh Sang Tathāgata, telah dicabut sampai ke
akar-akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem yang telah disingkirkan
sehingga tidak mungkin muncul kembali di kemudian hari. Jika apa yang kau
katakan mengacu pada hal itu, maka Saya menyetujuinya.” “Yang Mulia, apa yang
kukatakan tepat mengacu pada hal itu.”
“Di sini, Jīvaka, seorang bhikkhu hidup bergantung pada
suatu desa atau kota-pasar. Dia berdiam dengan menebarkan pikiran penuh welas
asih (karuṇā) ke
satu area ... dengan menebarkan pikiran penuh kegembiraan altruistik (muditā) ... dengan menebarkan pikiran penuh
keseimbangan (upekkhā),
demikian pula dengan area kedua, demikian pula dengan area ketiga, demikian
pula dengan area keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan
ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, dia
berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan,
berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk. Kemudian
seorang perumah-tangga atau putra perumah-tangga mendatanginya dan
mengundangnya untuk makan keesokan harinya. Bhikkhu itu dapat menerimanya, jika
dia menginginkannya.... Bagaimana menurutmu, Jīvaka? Apakah bhikkhu tersebut
pada kesempatan itu berpikir untuk membuat dirinya menderita, atau membuat
orang lain menderita, atau membuat keduanya menderita?” – “Tidak, Yang Mulia.”
– “Apakah bhikkhu tersebut menopang dirinya dengan makanan-tanpa-cela pada
kesempatan itu?”.
“Ya, Yang Mulia. Saya telah mendengar ini, Yang Mulia,
‘Brahmā berdiam dalam keseimbangan.’ Yang Mulia, saya melihatnya sendiri hal
itu pada diri Yang Terbekahi; karena Yang Terbekahi berdiam dalam
keseimbangan.” “Jīvaka, semua nafsu, semua kebencian, semua kebodohan yang
karenanya niat buruk dapat muncul telah dieliminasi oleh Sang Tathāgata, telah
dicabut sampai ke akar-akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem yang telah
disingkirkan sehingga tidak mungkin muncul kembali di kemudian hari. Jika
apa yang kau katakan mengacu pada hal
itu, maka Saya menyetujuinya.” “Yang Mulia, apa yang kukatakan tepat mengacu pada hal itu.”
“Siapapun juga yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang
Tathāgata atau siswaNya, dia akan mendapatkan
banyak keburukan (bahuṃ apuññaṃ pasavati) dalam lima kasus. Ketika dia berkata: ‘Pergi
dan tangkap makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus pertama di mana dia mendapatkan
banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami penderitaan mental dan
jasmani karena ditarik dengan leher terikat, ini adalah kasus kedua di mana dia
mendapatkan banyak keburukan. Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelih makhluk hidup
itu,’ ini adalah kasus ketiga di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika
makhluk hidup itu mengalami penderitaan mental dan jasmani karena disembelih,
ini adalah kasus keempat di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Ketika dia mempersembahkan yang tidak diperbolehkan
kepada Sang Tathāgata atau siswaNya, ini adalah kasus kelima di mana dia mendapatkan banyak keburukan. Siapapun
yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathāgata atau siswaNya, dia mendapatkan
banyak keburukan dalam lima kasus ini.”
Ketika hal ini dikatakan, Jīvaka Komārabhacca berkata
kepada Sang Buddha: ‘”Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan!
Para bhikkhu menopang diri mereka dengan makanan yang diperbolehkan. Para
bhikkhu menopang diri mereka dengan makanan yang tanpa-cela. Luar biasa, Yang
Mulia! Luar biasa, Yang Mulia!... Mulai hari ini, semoga Yang Terberkahi
mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah mengambil perlindungan seumur
hidup.”
3.
Penjelasan
Dalam
Sutta rujukan di atas, Sang Buddha tidak mengatakan karma buruk (akusala kamma)
tetapi Beliau mengatakan keburukan (apuññaṃ). Apakah dalam konteks
ini kedua frasa tersebut mempunyai arti yang sama?
Mari tinjau hal tersebut
setidaknya dari dua sudut pandang.
1.
Puñña adalah kebajikan, kualitas yang baik, sesuatu
yang layak dipuji. Contoh penggunaanya adalah pada kata: puñña-kiriya-vatthu - landasan perbuatan berjasa. Apuñña adalah kebalikan dari puñña (a = negatif), maka berarti keburukan, kualitas yang
buruk, sesuatu yang tercela. Maka hal ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang
menimbulkan penderitaan. Sesuatu yang menimbulkan penderitaan pastilah berasal
dari perbuatan tidak baik atau karma buruk. Maka kata apuñña = akusala
kamma.
2.
Bila ditinjau dari isi Suttanya,
khususnya pada kasus ke 1-4 dari paragraf kedua dari akhir Sutta; di sana Sang
Buddha menerangkan proses mendapatkan daging dengan cara menyembelih makhluk
hidup. Penyembelihan (pembunuhan) jelas merupakan perbuatan (karma) buruk, maka
kata apuñña = akusala
kamma.
Dalam Sutta Sang
Buddha menguraikan tentang daging yang tidak layak dimakan oleh seorang
bhikkhu. Apakah hal ini dapat dikaitkan dengan masalah pemberian uang? Mari lihat kasus ke lima dari lima kasus
tersebut. Di sana dikatakan:
“Yampi so Tathāgataṃ vā
tathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti,
iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃ pasavati.”
“Ketika dia mempersembahkan
yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswaNya, ini adalah
kasus ke lima di mana dia mendapatkan banyak keburukan.”
Banyak yang mengartikan kalimat
diatas, khususnya bagian yang ditebalkan sebagai “mempersembahkan makanan yang tidak diperbolehkan.”
Hal ini mungkin karena dihubungkan dengan isi dari keseluruhan Sutta yang
membahas masalah makan daging, seharusnya tidak demikian. Jadi, mempersembahkan apapun yang tidak
diperbolehkan (tentu saja termasuk uang) akan memberikan banyak karma buruk
pada pendana.
Kata “āsādeti” di sini berasal dari kata āsā = harapan/keinginan + deti = memberi,
maka kurang lebih arti lengkapnya adalah harapan/keinginan untuk memberi.
Sehingga, jangankan sedang atau telah memberikan, bahkan baru berharap untuk
memberikan sesuatu yang tidak diperbolehkan saja, pendana akan mendapatkan
banyak keburukan (karma buruk).
Masalah bobot pelanggaran: berdasarkan
kitab komentar sehubungan dengan peraturan Nissaggiya
Pācittiya 10, bila
seorang bhikkhu menerima barang yang tidak diperbolehkan (salah satunya adalah
daging mentah), maka dia melakukan pelanggaran dukkaṭa (tindakan
salah). Seorang bhikkhu tidak boleh memakan daging yang berasal dari hewan yang
sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepadanya. Bila dia memakannya, dia
melakukan pelanggaran dukkaṭa - Mv.VI.31.14
(Mv = Mahāvgga). Berdasarkan
dua peraturan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang bhikkhu yang menerima
daging yang berasal dari hewan yang sengaja dibunuh untuk dipersembahkan
kepadanya, dia melakukan pelanggaran dukkaṭa.
Namun demikian, seorang bhikkhu yang menerima uang [emas dan perak] dengan tangannya
sendiri atau membuat orang lain menerima
uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya,
dia telah melakukan pelanggaran Nissaggiya
Pācittiya.
Berdasarkan kitab Vibhaṅga dan
komentarnya, pelanggaran dibagi menjadi 7 tingkatan:
1.
Pārājika āpatti =
pelanggaran dengan akibat gugur dari kebhikkhuan.
2.
Saṅghādisesa āpatti = pelanggaran yang
mengakibatkan pertemuan formal dari Sangha.
3.
Thullaccaya āpatti = pelanggaran yang
signifikan.
4.
Pācittiya āpatti = pelanggaran yang
mengakibatkan seorang bhikkhu harus melakukan pengakuan kesalahan dengan didahului
pelepasan barang/benda yang terkait (Nissaggiya
Pācittiya) dan hanya melakukan pengakuan kesalahan (Suddha Pācittiya).
5.
Pāṭidesanīya āpatti = pelanggaran yang mengakibatkan seorang bhikkhu harus menyadari
dan melakukan pengakuan kesalahannya.
6.
Dukkaṭa āpatti = pelanggaran
berupa tindakan salah.
7.
Dubbhāsita āpatti = pelanggaran
berupa ucapan salah.
Selain bobot pelanggaran dalam menerima uang jauh lebih berat daripada
menerima daging yang tidak diperbolehkan, pelanggaran penerimaan uang juga
memerlukan prosedur istimewa untuk pemulihannya. Bila pelanggaran Nissaggiya
Pācittiya biasa dapat dipulihkan hanya dengan satu orang bhikkhu; tetapi
untuk kasus yang berhubungan dengan uang, pemulihannya harus memerlukan empat
(4) orang bhikkhu atau Sangha. Maka, akibat
karma buruk bagi pendana yang memberikan uang akan jauh lebih besar daripada pendana yang memberikan daging yang tidak
diperbolehkan. Untuk mengetahui lebih jelas peraturan tentang uang bagi seorang
bhikkhu, silakan baca artikel “Kehidupan Tanpa Uang”.
Informasi tambahan: barang-barang yang tidak diperbolehkan untuk
bhikkhu antara lain: mutiara dan batu-batuan berharga lainnya; tujuh macam
biji-bijian atau biji-bijian mentah; wanita atau gadis; budak wanita ataupun
laki-laki; kambing, domba, unggas, babi, gajah, sapi, kuda; sawah, ladang,
kebun buah-buahan, atau kebun bunga; senjata, racun, alkohol dan zat memabukkan
lainnya; serta hal yang berhubungan dengan pornografi dan hiburan. Daging
yang tidak diperbolehkan: manusia, gajah, kuda, anjing, ular (termasuk
binatang sejenisnya yang berbadan panjang dan tidak berkaki, seperti belut),
singa, harimau, macan kumbang/leopard/ panter, beruang, dan hyena.
Semoga penjelasan ini dapat meningkatkan pemahaman
yang lebih baik kepada para penyokong apa yang boleh dan tidak boleh diberikan
kepada para bhikkhu, dan juga akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian,
penyokong akan mendapatkan manfaat dari tindakannya dalam menyokong para
bhikkhu/Sangha sesuai dengan yang diharapkan.
[1]
Pemulihan dari pelanggaran ini harus
didahului dengan melepaskan/menyerahkan barang yang didapat kepada bhikkhu lain
(individu atau grup) dan kemudian
disusul dengan pengakuan kesalahan yang dilanggarnya.
[2]
Ini seharusnya
melepaskan/menyerahkan uang tersebut di hadapan Sangha, bukan kepada Sangha;
karena baik bhikkhu ataupun Sangha tidak boleh menyetujui penerimaan emas dan
perak (uang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar