Sejarah Konsili Sangha
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk,
Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.
Sejarah Konsili Sangha ke II
Sejarah konsili Sangha ke II ini dipicu oleh
sekelompok bhikkhu dari suku Vajjī dari daerah Vesāli yang memulai
dan menyebarkan atau mempropagandakan sepuluh macam praktik yang bertentangan
dengan peraturan Vinaya. Dari sepuluh praktik menyimpang tersebut, di antaranya
adalah menyimpan garam dalam tanduk, makan setelah tengah hari, meminum air
tuak, dan penerimaan emas dan perak (uang). Konsili Sangha ini dihadiri oleh
tujuh ratus bhikkhu; oleh karena itu, konsili Sangha ini juga dikenal sebagai
“Tujuh Ratus.” Hal ini terjadi kurang lebih setelah seratus tahun Sang Buddha
wafat (parinibbāna). Mudah-mudahan
dengan membaca sejarah singkat ini, teman-teman se-Dhamma akan mengetahui
sepuluh praktik yang salah ini dan tidak menyokongnya, karena sangat berbahaya
terhadap keberlangsungan Dhamma. Di bawah Ini adalah ringkasan sejarahnya berdasarkan naskah yang
berada dalam Cullavagga bab XII (buku ke empat Vinaya Piṭaka).
Saat
itu bhante Yasa, putra dari Kākaṇḍaka, sedang berkelana di daerah suku Vajjī dan tiba di Vesāli. Kemudian, bhante
Yasa berdiam di ruangan dari sebuah bangunan beratap lancip di sebuah hutan
besar. Saat itu, pada hari uposatha, para bhikkhu dari suku Vajjī dari Vesāli setelah mengisi cawan perunggu
dengan air dan menaruhnya di tengah-tengah dari bhikkhu Sangha, berkata kepada
para umat yang datang, “Tuan-tuan, berikanlah satu kahāpaṇa atau setengah pāda atau
satu māsaka[1]
kepada Sangha. Akan ada pekerjaan yang harus dilakukan sehubungan dengan
perlengkapan Sangha.” Ketika mereka telah mengatakan hal itu, bhante Yasa
berkata kepada para umat dari Vesāli tersebut, “Tuan-tuan,
jangan berikan satu kahāpaṇa atau
setengah pāda atau satu māsaka kepada Sangha. Emas dan perak (uang)
tidak diperbolehkan[2] bagi
para bhikkhu, para putra suku Sakya. Para bhikkhu,
para putra Sakya tidak menyetujui (penerimaan) uang. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak menerima uang. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak menggunakan emas
dan perhiasan, mereka telah meninggalkan uang.”
Namun demikian, para umat tersebut, walaupun telah diberitahu oleh bhante Yasa,
tetap memberikan uang kepada
Sangha. Kemudian, para bhikkhu dari suku Vajjī sebelum malam berakhir
merapikan dan membagi rata uang tersebut berdasarkan jumlah bhikkhu yang hadir.
Lalu, mereka berkata kepada bhante Yasa, “Ini uang bagianmu, bhante Yasa.” ‘Saya
tidak membutuhkan sebagian dari uang tersebut; saya tidak menyetujui penerimaan
uang.’
Kemudian para bhikkhu dari
suku Vajjī dari Vesāli berkata,
“Bhante Yasa ini, putra dari Kākaṇḍaka, menghina dan kasar kepada para penyokong yang penuh
keyakinan dan kepercayaan. Mari kita lakukan tindakan formal rekonsiliasi
kepadanya.” Lalu, bhante Yasa berkata kepada mereka, “Teman-teman, telah
ditetapkan oleh Sang Buddha bahwa seorang pendamping harus diberikan kepada
bhikkhu yang dikenakan tindakan formal rekonsiliasi. Teman, berikan saya
seorang bhikkhu pendamping.” Setelah para bhikkhu dari suku Vajjī tersebut mendapatkan
seorang bhikkhu yang mereka setujui sebagai seorang pendamping, mereka pun
memberikannya kepada bhante Yasa. Kemudian, bhante Yasa dan bhikkhu pendamping
tersebut pergi menemui para umat Vesālī, dan ia berkata,
“Dikatakan bahwa saya telah menghina dan berkata kasar kepada anda, para
penyokong yang terhormat, yang penuh keyakinan dan kepercayaan; serta
menyebabkan anda kecewa dengan mengatakan non-Dhamma sebagai non-Dhamma, Dhamma
sebagai Dhamma, non-Vinaya sebagai non-Vinaya, dan Vinaya sebagai Vinaya.”
“Tuan-tuan, suatu saat
Sang Buddha berdiam di hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇḍika, di Sāvatthi. Di
sana, tuan-tuan, Sang Buddha menasihati para bhikkhu, Beliau berkata, Para
bhikkhu, ada empat rintangan bagi bulan dan matahari yang dapat mengakibatkan
mereka tidak dapat -memberikan panas, menyinari, dan menebarkan kemegahannya.[3]
Apa ke empat rintangan tersebut? Awan, kabut tebal, asap-berdebu, dan Rāhu.[4]
Demikian juga, para bhikkhu, ada empat noda (rintangan) dari para bhikkhu dan
brahmana yang dapat membuat mereka tidak dapat -memberikan panas, menyinari,
dan menebarkan kemegahannya. Apa ke empat noda tersebut? Minuman beralkohol,
hubungan seksual, emas dan perak (uang), dan penghidupan salah. Inilah, para
bhikkhu, empat noda dari para bhikkhu dan brahmana yang dapat membuat mereka
tidak dapat - memberikan panas, menyinari, dan menebarkan kemegahannya.’
Tuan-tuan, Sang Buddha setelah mengatakan hal itu, Beliau berkata,
“Ternoda oleh nafsu dan
amarah, serta dibutakan oleh kebodohan mental,
beberapa bhikkhu dan
brahmana merasa gembira pada kesenangan indera.
Para bhikkhu dan brahmana
bodoh tersebut mengonsumsi minuman beralkohol (minuman yang memabukkan),
melakukan hubungan seksual, menerima emas, perak, dan uang, dan mendapatkan
kebutuhan mereka dengan penghidupan yang salah.
Semua ini disebut ‘noda’ oleh
Sang Buddha, manusia dari marga matahari.
Para bhikkhu dan brahmana
bodoh yang tercemar oleh noda-noda ini,
tidak murni, kotor/korup,
dan tidak bersinar atau bercahaya.
Tetapi, sebaliknya mereka
bingung, buta, budak nafsu, dan
penuh dengan pendambaan (taṇhā).
Mereka hanya memperbesar
ukuran kuburan mereka
dengan terus
terlahir berulang-ulang.”
Akibat mengatakan hal inilah tuan-tuan, dikatakan bahwa saya
telah menghina dan berkata kasar kepada anda, para penyokong yang terhormat,
yang penuh keyakinan dan kepercayaan; serta menyebabkan anda kecewa dengan mengatakan
non-Dhamma sebagai non-Dhamma, Dhamma sebagai Dhamma, non-Vinaya sebagai
non-Vinaya, dan Vinaya sebagai Vinaya.”
“Tuan-tuan, suatu saat
Sang Buddha berdiam di hutan bambu, di tempat para tupai diberi makan, Rājagaha.
Saat itu, tuan-tuan, di ruangan pribadi raja, percakapan ini terjadi di antara para pengikut raja yang sedang berkumpul dan duduk-duduk
di sana.[5] ‘Emas dan perak (uang) diizinkan bagi para bhikkhu, para
putra Sakya. Para bhikkhu, para putra Sakya menyetujui (penerimaan) uang. Para bhikkhu, para putra Sakya menerima uang.’”
“Saat itu, tuan-tuan, Maṇicūḷaka, seorang kepala desa yang
juga berada dan sedang duduk dalam kelompok tersebut berkata kepada mereka, ‘Tuan-tuan
yang baik, jangan berkata demikian. Emas dan perak (uang) tidak diperbolehkan bagi para
bhikkhu, para putra suku Sakya. Para bhikkhu,
para putra Sakya tidak menyetujui (penerimaan) uang. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak menerima emas dan
perak. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak menggunakan emas dan perhiasan, mereka telah meninggalkan uang.’ Dan, tuan-tuan, Maṇicūḷaka, sang kepala desa, dapat
meyakinkan mereka. Lalu dia pergi menghadap Sang Buddha dan setelah mendekat,
dia memberi hormat dan kemudian duduk di satu sisi. Ketika duduk di sana, Maṇicūḷaka, sang kepala desa, berkata kepada
Sang Buddha, ‘Baru saja, Bhante, di ruangan pribadi raja.....(dia mengulangi apa yang dikatakannya di atas).....
Bhante, saya dapat meyakinkan mereka. Bhante, dengan menjelaskan seperti
demikian apakah saya mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Yang
Terberkahi atau saya telah salah menyampaikan maksud Yang Terbekahi? Apakah
saya telah menjawab sesuai dengan Ajaran ini atau apakah seseorang yang
berbicara sesuai dengan Ajaran ini menemukan alasan untuk mencela saya?’”
(Sang Buddha) “Sesungguhnyalah kamu, kepala desa, dengan
menjelaskan seperti demikian, merupakan orang yang mengatakan apa yang
dikatakan oleh Saya dan tidak salah menyampaikan maksud Saya. Kamu telah
menjawab sesuai dengan Ajaran ini dan seseorang yang berbicara sesuai dengan
Ajaran ini tidak akan menemukan alasan untuk mencela kamu. Karena, kepala desa,
uang tidak diizinkan bagi para bhikkhu, para putra Sakya. Para bhikkhu, para
putra Sakya tidak menyetujui uang. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak
menerima uang. Para bhikkhu, para putra Sakya tidak menggunakan emas dan
perhiasan, mereka telah meninggalkan uang. Kepala desa, bagi siapapun yang
memperbolehkan uang, maka bagi dia lima macam kesenangan indera juga
diperbolehkan. Bagi siapapun yang memperbolehkan lima macam kesenangan indera,
kamu dapat pastikan dia tidak memiliki sifat/kualitas seorang bhikkhu, dia
tidak memiliki sifat/kualitas dari seorang putra Sakya.”
“Kepala desa, sesungguhnyalah Saya katakan hal ini, ‘Rumput
dapat dicari oleh bhikkhu yang membutuhkan rumput, kayu dapat dicari oleh bhikkhu
yang membutuhkan kayu, gerobak dapat dicari oleh bhikkhu yang membutuhkan gerobak,
pekerja dapat dicari oleh bhikkhu yang membutuhkan pekerja.’ Tetapi, kepala
desa, Saya juga berkata, ‘Tidak dalam alasan apapun juga bahwa uang dapat disetujui
dan dicari.’ Akibat mengatakan hal inilah tuan-tuan, dikatakan bahwa saya telah menghina
dan berkata kasar kepada anda, para penyokong yang terhormat, yang penuh
keyakinan dan kepercayaan; serta menyebabkan anda kecewa dengan mengatakan
non-Dhamma sebagai non-Dhamma, Dhamma sebagai Dhamma, non-Vinaya sebagai
non-Vinaya, dan Vinaya sebagai Vinaya.”
“Suatu saat, tuan-tuan,
ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, seperti sebelumnya, Beliau
keberatan sehubungan dengan penerimaan uang oleh bhikkhu Upananda; dan kemudian
Beliau mengeluarkan peraturan yang melarang penerimaan uang.[6]
Akibat mengatakan hal inilah tuan-tuan, dikatakan
bahwa saya telah menghina dan berkata kasar kepada anda, para penyokong yang
terhormat, yang penuh keyakinan dan kepercayaan; serta menyebabkan anda kecewa
dengan mengatakan non-Dhamma sebagai non-Dhamma, Dhamma sebagai Dhamma,
non-Vinaya sebagai non-Vinaya, dan Vinaya sebagai Vinaya.”
Setelah bhante Yasa selesai
mengatakan semua hal tersebut, para umat dari Vesāli berkata kepada beliau,
“Bhante, hanya bhante Yasa, putra dari Kākaṇḍaka, sendirilah yang
merupakan bhikkhu, putra suku Sakya; yang lainnya bukanlah bhikkhu, bukan putra
suku Sakya. Bhante, sudilah kiranya bhante tinggal di Vesāli dan kami akan melakukan
usaha untuk memenuhi semua kebutuhan bhante, jubah, makanan, tempat tinggal,
dan obat-obatan.” Kemudian, bhante Yasa, setelah meyakinkan para umat, kembali
bersama bhikkhu yang mendampinginya ke vihara.
Kemudian, para bhikkhu dari
suku Vajjī bertanya kepada bhikkhu pendamping, “Bhante, apakah bhikkhu Yasa telah
meminta maaf kepada para umat?” Sesuatu yang buruk telah terjadi pada kita,
bhante; hanya Yasa-lah yang dianggap sebagai bhikkhu, putra suku Sakya. Kita
semua tidak dianggap sebagai bhikkhu, tidak dianggap sebagai putra suku Sakya.”
Kemudian, para bhikkhu dari suku Vajjī berkata, “Para bhante, bhante Yasa tanpa persetujuan
dari kita, telah memberikan informasi kepada para umat. Mari kita lakukan
tindakan formal suspensi padanya. Mereka
pun berkumpul bersama untuk melakukan tindakan formal suspensi pada bhikkhu
Yasa. Namun demikian, bhante Yasa terbang ke udara dan muncul di Kosambi.
Kemudian, bhante Yasa mengirim pembawa pesan kepada para bhikkhu dari Pāvā dan
wilayah selatan dari Avanti, dia berkata, “Sudilah para bhante datang, kita
harus menghadiri pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini sebelum apa yang
non-Dhamma bersinar dan Dhamma meredup, sebelum apa yang non-Vinaya bersinar
dan Vinaya meredup, sebelum mereka yang mengatakan non-Dhamma menguat dan
mereka yang mengatakan Dhamma melemah, sebelum mereka yang mengatakan
non-Vinaya menguat dan mereka yang mengatakan Vinaya melemah.”
Saat itu, bhante Sambhūta, pemakai jubah dari serat goni, berdiam di tebing gunung Ahogangā.
Kemudian, bhante Yasa pergi ke gunung Ahogangā mengunjungi bhante Sambhūta; setelah menyapa dan memberikan penghormatan kepadanya, dia duduk pada
satu sisi. Selagi dia duduk di sana, bhante Yasa berkata kepada bhante Sambhūta, “Bhante, para bhikkhu dari suku Vajjī mempropagandakan
sepuluh hal” dan dia menerangkan kesepuluh hal tersebut. Mari, bhante, kita hadiri
pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini sebelum apa yang non-Dhamma bersinar
dan Dhamma meredup, ..... mereka yang mengatakan Vinaya melemah. “Baiklah
kawan,” jawab bhante Sambhūta. Maka, sebanyak enam puluh bhikkhu dari Pāvā yang semuanya adalah bhikkhu yang
tinggal di hutan, hanya makan dari hasil piṇḍpāta,
pemakai jubah dari kain buangan, pengguna tiga jubah (hanya satu set), dan
semuanya Arahat, berkumpul di tebing gunung Ahogangā. Selain itu, sebanyak
delapan puluh delapan, sebagian besar tinggal di hutan, sebagian besar
hanya makan dari hasil piṇḍpāta,
sebagian besar hanyalah pemakai jubah dari kain buangan, sebagian besar
hanyalah pengguna tiga jubah, dan semuanya Arahat, juga berkumpul di tebing
gunung Ahogangā.
Ketika
para sesepuh dari kumpulan para bhikkhu ini merenungkan, terpikir oleh mereka,
“Persoalan ini sulit dan rumit. Bagaimana kita dapat memperoleh dukungan
sehingga mempunyai posisi yang lebih kuat dalam membuat keputusan? Saat itu, bhante Rewata sedang berdiam di
Soreyya. Dia telah banyak mendengar (Dhamma), kepada dialah tradisi telah
diturunkan, ahli dalam Dhamma, Vinaya,
dan mātikā; bijaksana, berpengalaman,
cerdas; tahu malu, hati-hati, dan setia dalam menjalani aturan spiritual. Lalu,
terpikir oleh para sesepuh untuk mendapatkan dukungan dari bhante Rewata.
Bhante Rewata melalui kekuatan telinga dewanya mendengar apa yang para bhikkhu
sesepuh pikirkan, lalu ia berpikir, “Persoalan ini sulit dan rumit, tapi tidak
pantas bagi saya untuk menghindarinya.” Mereka sedang menuju ke sini, saya
tidak dapat hidup nyaman dalam keramaian bersama mereka, biar saya pergi dari
sini sebelum mereka tiba. Kemudian, Bhante Rewata pergi ke Saṃkassa. Para
bhikkhu yang tiba di Soreyya diberitahu bahwa bhante Rewata telah pergi ke Saṃkassa,
mereka pun menyusulnya ke sana. Bhante Rewata kemudian pergi ke Kaṇṇakujja,
lalu ke Udumbara, lalu ke Aggaḷapura, lalu ke Sahajāti. Mereka terus berusaha
menyusul bhante Rewata dan akhirnya bertemu di Sahajāti.
Kemudian, Bhante Sambhūta berbicara kepada bhante Yasa, “Teman, bhante Rewata telah banyak mendengar
(Dhamma), kepada dialah tradisi telah diturunkan, ahli dalam Dhamma, Vinaya, dan mātikā; bijaksana, berpengalaman, cerdas; tahu malu, hati-hati, dan
setia dalam menjalani aturan spiritual. Bila kita bertanya kepadanya satu
pertanyaan saja, beliau akan dapat menjelaskannya semalaman hanya untuk
pertanyaan tersebut; tetapi, beliau sedang mengajari muridnya. Setelah beliau
selesai mengajari muridnya, temuilah beliau untuk menanyakan sepuluh persoalan
ini.” “Baik teman,” jawab bhante Yasa menyetujuinya. Setelah bhante Rewata
selesai mengajari muridnya, bhante Yasa kemudian datang menemuinya; dan setelah
memberikan salam dia duduk di satu sisi, lalu dia menanyakan tentang sepuluh
persoalan tersebut. Setelah semua pertanyaan dijawab, bhante Yasa berkata,
“Bhante, para bhikkhu dari suku Vajjī dari Vesāli mempropagandakan
sepuluh hal ini di Vesāli. Mari, bhante, kita hadiri pertemuan untuk menyelesaikan
masalah ini sebelum apa yang non-Dhamma bersinar dan Dhamma meredup, ..... sebelum
mereka yang mengatakan non-Vinaya menguat dan mereka yang mengatakan Vinaya
melemah. “Baiklah kawan,” jawab bhante Rewata menyetujuinya.
Para bhikkhu dari suku
Vajjī dari
Vesāli mendengar bahwa bhante
Yasa bersedia untuk menghadiri penyelesaian masalah ini, dia sedang mencari
dukungan dan dia mendapatkannya. Kemudian terpikir oleh mereka “Persoalan ini
sulit dan rumit. Bagaimana kita dapat memperoleh dukungan sehingga mempunyai posisi
yang lebih kuat sehubungan dengan penyelesaian masalah ini?” Kemudian terpikir
oleh mereka “Bhante Rewata adalah seorang bhikkhu yang telah banyak mendengar
(Dhamma), kepada dialah tradisi telah diturunkan, ..... dan setia dalam
menjalani aturan spiritual. Jika kita bisa mendapatkan bhante Rewata berada di
pihak kita, maka kita akan lebih kuat sehubungan dengan penyelesaian masalah
ini.” Lalu mereka menyiapkan banyak barang-barang perlengkapan kebhikkhuan,
seperti mangkuk, jubah, kain alas duduk, ikat pinggang, saringan air, dan
tempat air. Setelah semua persiapan selesai, mereka pergi ke Sahajāti dengan
menggunakan perahu.
Di saat yang lain, ketika
bhante Sāḷha sedang bermeditasi, muncul dipikirannya, “Siapa yang menjunjung
Dhamma, para bhikkhu dari bagian Timur (para bhikkhu dari suku Vajjī) atau mereka yang
berasal dari Pāvā?” Saat beliau sedang merenungkannya, terbersit dipikirannya
bahwa para bhikkhu dari Pāvā-lah yang menjunjung Dhamma. Kemudian, seorang
brahma dari alam Suddhāvāsa (alam
khusus para Anāgāmī) yang dengan
kekuatan pikirannya mengetahui pikiran bhante Sāḷha; bagaikan seorang yang
perkasa yang merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang
terentang, dia menghilang dari alamnya dan langsung muncul di hadapan bhante Sāḷha.
Lalu, dia berkata, “Benar, bhante Sāḷha, para bhikkhu dari Timur bukanlah
penjunjung Dhamma; para bhikkhu dari Pāvā-lah
yang menjunjung Dhamma.” ‘Baik dulu ataupun sekarang brahma, saya selalu
berdiri dengan kokoh sesuai dengan Dhamma.’
Para bhikkhu dari suku
Vajjī, sesampainya di
Sahajāti, dengan membawa semua barang bawaannya pergi menemui bhante Rewata.
Setelah menemuinya, mereka berkata, “Bhante, sudilah Sangha menerima
barang-barang perlengkapan kebhikkhuan ini.” Tetapi, beliau berkata, ‘Tidak,
terima kasih teman, saya telah mempunyai apa yang saya butuhkan.’ Kemudian,
para bhikkhu dari suku Vajjī ini menemui bhante Uttara, asisten bhante Rewata yang
saat itu telah mencapai dua
puluh vassa, dan berkata, “Semoga bhante
Uttara bersedia menerima barang-barang ini.” Tetapi, beliau mengatakan hal yang
sama seperti bhante Rewata. Mereka berkata, “Bhante Uttara, para umat biasa
membawakan perlengkapan kebhikkhuan kepada Sang Buddha, jika Sang Buddha
menerimanya, mereka akan merasa bahagia. Tetapi, bila Beliau tidak menerimanya,
mereka membawanya kepada bhante Ānanda dan berkata, ‘Bhante, semoga bhante
berkenan menerima persembahan ini; dengan demikian, persembahan ini seperti
diterima oleh Sang Buddha.’ Semoga bhante Uttara bersedia menerima persembahan
ini, sehingga hal ini bagaikan diterima oleh sesepuh.”
Karena merasa tidak enak
hati atas desakan mereka, bhante Uttara mengambil satu jubah dan berkata, “Sudilah
teman-teman mengatakan apa yang kalian butuhkan.” Kemudian mereka berkata,
“Sudilah bhante Uttara mengatakan hal ini kepada bhante Rewata, ‘Bhante,
sudilah bhante mengatakan hal ini di hadapan Sangha: Yang Tercerahkan, Sang
Buddha, muncul di wilayah Timur; para bhikkhu dari Timur adalah penjunjung
Dhamma, para bhikkhu dari Pāvā bukanlah penjunjung Dhamma’.” Bhante Uttara yang
menyanggupinya, lalu pergi menemui bhante Rewata dan mengatakan hal tersebut.
Bhante Rewata berkata, “Kamu menyarankanku pada yang non-Dhamma,” kemudian
beliau meminta bhante Uttara untuk meninggalkannya. Para bhikkhu dari suku Vajjī yang melihat bhante
Uttara telah selesai menemui bhante Rewata bertanya kepadanya, “Bhante, apa
yang dikatakan beliau?” Teman-teman, sesuatu yang buruk telah terjadi kepada
kita; beliau berkata, “Kamu menyarankanku pada yang non-Dhamma,” kemudian
beliau memintaku untuk meninggalkannya. Kemudian mereka berkata, “Bukankah
bhante telah mencapai dua
puluh vassa?” ‘Benar, teman-teman.’ “Kalau
begitu, kami akan berlindung kepada bhante.”
Kemudian Sangha berkumpul
untuk menyelidiki kasus ini. Lalu, Bhante Rewata berkata kepada Sangha, “Bhante,
tolong Sangha mendengarkan saya, jika kita menyelesaikan kasus ini di sini,
akan ada kemungkinan para bhikkhu yang memulai hal ini akan membukanya kembali.
Jika menurut Sangha tepat, sudilah Sangha menyelesaikannya di tempat kasus ini
muncul.” Kemudian para bhikkhu sepuh pun berangkat ke Vesāli. Saat itu, bhante
Sabbakāmi adalah bhante paling senior di muka bumi ini. Beliau pernah tinggal
satu kamar dengan bhante Ānanda (sebagai asistennya) dan telah mencapai seratus dua
puluh vassa, beliau tinggal di Vesāli. Kemudian, bhante
Rewata berkata kepada bhante Sambhūta, “Teman, saya akan
pergi ke tempat tinggal bhante Sabbakāmi. Kamu tolong pergilah di waktu yang
tepat kepada bhante Sabbakāmi untuk menanyakan pendapatnya sehubungan dengan sepuluh
persoalan ini. “Baik teman,” jawab bhante Sambhūta menyetujuinya.
Setelah mendapatkan saat
yang tepat, bhante Sambhūta kemudian datang
menemui bhante Sabbakāmi, saat itu beliau sedang berbincang-bincang dengan
bhante Rewata, sehingga perbincangan tersebut terputus. Setelah bhante Sambhūta memberikan salam dan duduk di satu sisi, lalu dia memberitahu beliau
tentang sepuluh persoalan yang dipropagandakan oleh para bhikkhu dari suku
Vajjī dari
Vesāli. Bhante, telah banyak
Dhamma dan Vinaya dikuasai oleh bhante di bawah bimbingan penahbis bhante.
Menurut bhante, siapa yang menjunjung Dhamma, para bhikkhu dari Timur atau
mereka yang dari Pāvā? Kamu juga, teman, telah banyak Dhamma dan Vinaya dikuasai
olehmu di bawah bimbingan penahbismu. Menurutmu, teman, siapa yang menjunjung
Dhamma, para bhikkhu dari Timur atau mereka yang dari Pāvā? Menurut saya,
bhante, para bhikkhu dari Pāvā adalah penjunjung Dhamma, bukan para bhikkhu
dari Timur. Tetapi, saya tidak akan menyatakan pendapat saya ini sebelum
pertemuan diadakan. Saya juga mempunyai pendapat yang sama dengan kamu, teman.
Saat Sangha berkumpul untuk menyelidiki kasus
ini, terjadi perdebatan yang tidak berujung. Kemudian, bhante Rewata berkata, “Bhante,
tolong Sangha mendengarkan saya. Pada saat kami sedang menyelidiki persoalan ini,
terjadi perdebatan yang tidak berujung. Jika menurut Sangha tepat, sudilah
Sangha menyelesaikannya dengan cara pemilihan suara terbanyak (referendum).
Kemudian beliau memilih empat orang bhikkhu dari Timur, yaitu: bhante Sabbakāmi,
bhante Sāḷha, bhante Khujjasobhita, dan bhante Vāsabhagāmika; dan empat orang
bhikkhu dari Pāvā, yaitu: bhante Rewata,
bhante Sambhūta, bhante Yasa, dan
bhante Sumana. Semuanya menyetujui perwakilan masing-masing dan menyetujui
penyelesaian ini dengan cara pemilihan suara terbanyak. Hal ini memuaskan bagi
Sangha; oleh karena itu, mereka semuanya diam. Saat itu, bhikkhu Ajita adalah
seorang bhikkhu dengan sepuluh vassa
yang menjadi pembaca Pātimokkha bagi Sangha. Beliau ditunjuk oleh Sangha untuk
bertugas mengatur tempat duduk bagi para bhikkhu sepuh. Sangha juga sepakat untuk mengadakan pertemuan
ini di vihara Vālika.
Setelah semuanya
berkumpul dan siap, bhante Rewata berkata, “Bhante, tolong Sangha mendengarkan
saya. Jika menurut Sangha tepat, saya akan mengajukan pertanyaan tentang Vinaya
kepada bhante Sabbakāmi.” Kemudian bhante Sabbakāmi berkata, “Bhante, tolong Sangha
mendengarkan saya. Jika menurut Sangha tepat, saya akan menjawab pertanyaan
mengenai Vinaya yang ditanyakan oleh saudara Rewata.” Kemudian bhante Rewata bertanya kepada bhante
Sabbakāmi:
1.
“Bhante, apakah praktik menyimpan garam di tanduk diizinkan?”
‘Apa, teman,
maksud dari praktik sehubungan dengan menyimpan garam di tanduk?’
“Bhante, apakah diizinkan membawa garam di tanduk dengan
tujuan untuk menambahkannya pada makanan yang tidak digarami (atau kurang
garam)?”
‘Teman, hal itu tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Sāvatthi,
terdapat di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 38], karena memakan makanan
yang telah disimpan.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal
pertama yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya,
bukan instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara pertama yang saya hitung.”
2.
“Bhante, apakah praktik mengenai dua ruas jari diizinkan?”
‘Apa, teman, maksud dari praktik sehubungan
dengan dua ruas jari?’
“Bhante, apakah diizinkan makan pada waktu yang
salah, selama bayangan matahari belum melewati dua ruas jari?”
‘Teman, hal itu tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Rājagaha,
terdapat di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 37], karena makan di
waktu yang salah.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal kedua
yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan
instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara kedua yang saya hitung.”
3.
“Bhante, apakah
praktik pergi ke desa diizinkan?”
‘Apa, teman, maksud dari praktik pergi ke desa?’
“Bhante, apakah diizinkan
bagi dia yang telah menyelesaikan makannya dan menolak persembahan makanan
berikutnya; berpikir, sekarang saya akan pergi ke desa untuk makan makanan yang
belum dilepaskan (belum ditinggalkan dan masih akan dimakan kembali)?”
‘Teman, hal itu
tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Sāvatthi,
terdapat di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 35], karena memakan makanan
yang belum dilepaskan.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal ketiga
yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan
instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara ketiga yang saya hitung.”
4.
“Bhante, apakah praktik sehubungan dengan tempat tinggal
diizinkan?”
‘Apa, teman, maksud dari praktik sehubungan
dengan tempat tinggal?’
“Bhante, apakah diizinkan bagi sekelompok bhikkhu
yang tinggal di [batas] area yang sama untuk melakukan uposatha terpisah?”
‘Teman, hal itu tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Rājagaha,
terdapat di peraturan yang berkaitan dengan uposatha.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Dukkaṭa, karena lengah/lalai akan
peraturan Vinaya.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal keempat
yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan
instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara keempat yang saya hitung.”
5.
“Bhante, apakah praktik sehubungan dengan persetujuan
diizinkan?”
‘Apa, teman,
maksud dari praktik sehubungan dengan persetujuan?’
“Bhante, apakah diizinkan
bagi Sangha yang tidak lengkap untuk melakukan transaksi formal, berpikir,
“Kita akan mendapatkan persetujuan dari bhikkhu yang tiba/datang?”
‘Teman, hal itu
tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di daerah bagian
Campā, sehubungan dengan kasus Vinaya yang berkaitan dengan bhikkhu dari Campā.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Dukkaṭa, karena lengah/lalai akan
peraturan Vinaya.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal kelima
yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan
instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara kelima yang saya hitung.”
6.
“Bhante, apakah praktik sehubungan dengan kebiasaan
diizinkan?”
‘Apa, teman, maksud dari praktik sehubungan
dengan kebiasaan?’
“Bhante, apakah diizinkan melakukan hal-hal yang
biasa dilakukan oleh penahbis (upajjhāya)
atau dilakukan oleh guru (ācariya)?”
‘Teman, praktik
sehubungan dengan kebiasaan, kadang
diizinkan dan kadang tidak diizinkan.’
“Bhante, tolong Sangha
mendengarkan saya. Ini adalah hal keenam yang diselidiki oleh Sangha, hal
ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara
keenam yang saya hitung.”
7.
“Bhante, apakah praktik sehubungan dengan susu asam
diizinkan?”
‘Apa, teman, maksud dari praktik sehubungan
dengan susu asam?’
“Bhante, apakah diizinkan
setelah makan dan telah menolak persembahan makanan berikutnya, untuk meminum susu yang belum dilepaskan
yang keadaannya tidak lagi dapat disebut sebagai susu, tetapi juga belum
menjadi dadih (susu kental)?”
‘Teman, hal itu
tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Sāvatthi, terdapat
di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 35], karena memakan
makanan yang belum dilepaskan.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal
ketujuh yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya,
bukan instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara ketujuh yang saya hitung.”
8.
“Bhante, apakah air tuak yang belum berfermentasi
diizinkan?”
‘Apa, teman,
maksud dari air tuak [air dari pohon lontar, termasuk juga air dari pohon enau
atau sagu atau aren] yang belum
berfermentasi?’
“Bhante, apakah diizinkan
untuk meminum air tuak yang belum berfermentasi, yang belum menjadi minuman
keras?”
‘Teman, hal itu
tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Kosambi, terdapat
di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 51], karena meminum
minuman beralkohol dan minuman keras.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal
kedelapan yang diselidiki
oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan instruksi Sang Buddha.
Ini adalah kartu suara kedelapan yang saya hitung.”
9.
“Bhante, apakah kain alas duduk yang tidak bertepi diizinkan?”
‘Teman, hal itu
tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Sāvatthi,
terdapat di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran Pācittiya [No. 89] dan disertai
pengguntingan.’
“Bhante, tolong Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal
kesembilan yang diselidiki oleh Sangha, hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya,
bukan instruksi Sang Buddha. Ini adalah kartu suara kesembilan yang saya
hitung.”
10. “Bhante, apakah emas dan perak [uang] diizinkan?”
‘Teman, hal itu tidak diizinkan.’
“Di mana hal itu
dilarang?”
‘Di Rājagaha,
terdapat di Sutta Vibhaṅga.’
“Pelanggaran apa
yang dilakukannya?”
‘Pelanggaran [Nissaggiya] Pācittiya [No. 18], karena menerima emas dan perak [uang].’
“Bhante, tolong
Sangha mendengarkan saya. Ini adalah hal kesepuluh yang diselidiki oleh Sangha,
hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan instruksi Sang Buddha. Ini adalah
kartu suara kesepuluh yang saya hitung.”
“Bhante,
tolong Sangha mendengarkan saya. Sepuluh hal ini, telah diselidiki oleh Sangha,
semua hal ini adalah non-Dhamma, non-Vinaya, bukan instruksi Sang Buddha.”
“Persoalan ini, teman,
telah disimpulkan dan diselesaikan, diselesaikan dengan baik untuk selamanya.
Walaupun demikian, teman, kalian dapat menanyakan saya mengenai sepuluh hal ini
di hadapan Sangha untuk meyakinkan para bhikkhu ini.” Maka bhante Rewata juga
menanyakan sepuluh hal ini di hadapan Sangha kepada bhante Sabbakāmi; dan
beliau, karena ditanya, menjawab.
Saat itu, karena tujuh ratus bhikkhu, tidak kurang satu dan tidak lebih
satu, berada di resitasi Vinaya, maka resitasi Vinaya ini disebut “Tujuh Ratus.”
- - - oo0oo - - -
Tambahan: Sejarah
singkat yang memicu munculnya peraturan mengenai uang
Nissaggiya
Pācittiya, No. 18.
Kisah ini terjadi di Rājagaha.
Waktu itu bhante Upananda,
putra suku Sakya, adalah bhikkhu yang biasa menerima dana makan dari keluarga
tertentu di Rājagaha. Suatu saat keluarga tersebut mendapatkan daging dan
menyisihkannya sebagian untuk bhante Upananda. Tetapi, saat malam hari menjelang
pagi, anak laki-laki dari keluarga tersebut bangun dan menangis, “Beri saya
daging.” Maka, sang ayah meminta istrinya untuk memberikan daging yang
disisihkan untuk bhante Upananda kepada anak tersebut. Nanti kita beli lagi
untuk bhante Upananda.
Di pagi hari, setelah mengenakan jubah, bhante Upananda dengan
membawa mangkuknya pergi mengunjungi keluarga tersebut. Sesampainya di sana ia
masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, laki-laki tersebut
mendatangi bhante Upananda, menyapanya, memberi hormat, dan duduk di satu sisi.
Saat ia sedang duduk di sana, dia berkata pada bhante Upananda, “Kemarin sore,
bhante, kami mendapatkan daging dan sebagian kami sisihkan untuk bhante. Anak
laki-laki ini, bhante, bangun ketika hari menjelang pagi dan menangis, ‘Beri
saya daging,’ maka porsi bagian bhante kami berikan padanya. Apa yang bhante
bisa dapat dengan [uang] satu kahāpaṇa? Saya
memberikan (penggunaan) satu kahāpaṇa,
bhante.” ‘Satu kahāpaṇa
diberikan kepada saya, tuan?’ Ya, bhante, saya berikan. ‘Bila demikian, berikan
saja [uangnya sebesar] satu kahāpaṇa kepada
saya, tuan.’
Kemudian, setelah laki-laki tersebut memberikan bhante
Upananda satu kahāpaṇa, dia
memandang rendah hal tersebut, mengkritiknya, dan menyebarkan hal itu dengan
berkata, “Seperti kami yang menerima emas dan perak [uang], begitu juga para
petapa ini, para putra suku Sakya, menerima emas dan perak.” Para bhikkhu
mendengar hal tersebut dan menyebarkannya; begitu juga dengan para bhikkhu yang
baik, mereka mendengarnya dan menyebarkannya dengan berkata, “Bagaimana bisa
bhante Upananda menerima emas dan perak?” kemudian, para bhikkhu tersebut melaporkan
hal itu kepada Sang Buddha.
Setelah mengetahui apa
yang terjadi, Sang Buddha bertanya kepada bhante Upananda, “Apakah hal tersebut
benar seperti yang dikatakan, bahwa kamu, Upananda, telah menerima emas dan
perak?”
‘Hal itu benar, Guru.’
Kemudian, Yang Tercerahkan, Sang Buddha, menegurnya, berkata,
“Bagaimana bisa, kamu, orang tak berguna, menerima emas dan perak? Hal itu,
orang tak berguna, bukanlah untuk menyenangkan mereka yang belum
senang.......dan dengan demikian, para bhikkhu, aturan disiplin ini harus
ditetapkan:
Jika seorang bhikkhu menerima
emas dan perak [uang] dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang
untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, dia
telah melakukan pelanggaran Nissaggiya Pācittiya.”
Semoga artikel tentang “Sejarah Konsili Sangha ke II” ini membawa manfaat bagi teman-teman se-Dhamma dan pembaca yang
lainnya. Semoga dengan pengetahuan ini, teman-teman se-Dhamma dapat menghindari
praktik-praktik yang salah dan dapat menyokong praktik-praktik yang sesuai dengan
Dhamma dan Vinaya. Dengan demikian, walaupun saat ini kondisi Ajaran yang
sungguh Mulia ini sudah sangat memprihatinkan, mereka yang berjuang
sungguh-sungguh - dapat diharapkan - masih berkesempatan untuk mencicipi cita
rasa Dhamma yang sesungguhnya, atau bahkan dapat mencapai tujuan utama dari perjuangannya
dalam Dhamma, Nibbāna.
Semoga semua makhluk dapat berbagi dan menikmati
jasa kebajikan sebesar jasa kebajikan yang diperoleh dari penulisan artikel
ini. Semoga semua makhluk, hidup bahagia, damai, dan bebas dari penderitaan.
Semoga semua makhluk secepatnya mencapai Nibbāna.
Salam mettā untuk semuanya,
Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten, Indonesia
07 Desember, 2012
Referensi:
1.
Digital Pali Reader, http://pali.sirimangalo.org.
2.
I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline
Vol. II, Published by Luzac & Humphrey Milford, Oxford University Press,
London, 1940.
3.
I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline
Vol. V, Published by Luzac & Company Ltd., London, 1952.
4.
T.W. Rhys Davids and Hermann Oldenberg,
The Cullavagga,
iv-xii, part iii, Sacred Books of The East, vol. 20,
1885, www.Sacred-texts.com.
7.
Somdet Phra Vajirañāṇavarorasa, Vinayamukha Vol.
I, Mahāmakuṭarājavidyālaya, Bangkok 1992.
File elektronik dari artikel ini, dan artikel/buku yang lainnya dapat
diunduh di:
[1] Ini adalah satuan mata uang, 1 kahāpaṇa = 4 pāda = 20 māsaka, buku Vinayamukha Vol. I, hal.
238.
[2] Ini adalah peraturan Nissaggiya Pācittiya, No. 18, untuk mengetahui lebih detail tentang hal ini dan cara menyokong yang benar
silakan baca artikel “Kehidupan Tanpa
Uang”.
[3] Upakkilesa
Sutta, Aṅguttara Nikāya 4.50
[4] Rāhu adalah raja
raksasa (asura) yang dapat
menyebabkan gerhana, menurut mitos India.
[5] Maṇicūḷaka
Sutta, Saṃyutta Nikāya 42.10
[6] Nissaggiya Pācittiya, No. 18. Lihat sejarahnya di akhir artikel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar