Janganlah Menjadi Beban
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan
Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha
Sendiri.
Suatu
ketika, para bhikkhu dari Ālavī mendirikan kuṭi
(tempat tinggal) dengan cara mengemis [untuk mendapatkan bahan-bahannya] –
mereka tidak mempunyai penyokong, didirikan untuk kepentingan mereka sendiri, tidak
sesuai dengan ukuran standar – tetapi tidak dapat menyelesaikannya. Mereka
terus-menerus mengemis, terus-menerus memberikan indikasi: “Berikan seorang
laki-laki, berikan seorang pekerja, berikan seekor sapi, berikan sebuah gerobak,
berikan sebuah pisau, berikan sebuah kapak pendek, berikan sebuah kapak,
berikan sebuah sekop, berikan sebuah pahat, berikan tumbuhan merambat [untuk
tali pengikat], berikan bambu, berikan rumput muñja, berikan
rumput, berikan rumput tiṇa,
berikan tanah liat.” Penduduk merasa terganggu/tertekan dengan tindakan
mengemis dan indikasi mereka; ketika mereka melihat (para) bhikkhu, mereka
merasa terganggu, merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan
lain, menghadap ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Bahkan, ketika
mereka melihat sapi, mereka melarikan diri, membayangkan mereka sebagai
bhikkhu.
Kemudian,
Bhante Mahā Kassapa, setelah menyelesaikan masa vassa-nya
di Rājagaha,
melakukan perjalanan ke Ālavī. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap,
akhirnya beliau sampai di Ālavī dan tinggal di cetiya utama. Keesokan
paginya, setelah menggunakan jubah dan dengan membawa mangkuk dan jubah
luarnya, beliau pergi memasuki kota Ālavī untuk mengumpulkan dana makanan (piṇḍpāta). Para penduduk, ketika melihat Bhante Mahā Kassapa, mereka merasa
terganggu, merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan lain,
menghadap ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Kemudian, Bhante Mahā Kassapa,
setelah ber-piṇḍpāta, setelah menyelesaikan
makannya dan kembali ke cetiya, berkata kepada para bhikkhu, “Sebelumnya,
teman-teman, Ālavī adalah area yang baik untuk ber-piṇḍpāta, makanan mudah didapat, mudah untuk menjaga/merawat diri
dengan mengumpulkan makanan dari para penyokong. Tetapi sekarang, Ālavī adalah area yang buruk
untuk ber-piṇḍpāta, makanan sulit didapat,
tidak mudah untuk menjaga/merawat diri dengan mengumpulkan makanan dari para
penyokong. Apakah alasannya, apakah penyebabnya sehingga sekarang Ālavī adalah area yang buruk
untuk ber-piṇḍpāta? Lalu, para bhikkhu
memberitahu Bhante Mahā Kassapa alasannya.
Kemudian,
Sang Buddha, setelah berdiam di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, melakukan
perjalanan ke Ālavī. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, akhirnya Beliau
sampai di Ālavī dan tinggal di cetiya utama. Kemudian, Bhante Mahā Kassapa pergi
mengunjungi Beliau, setelah tiba dan setelah melakukan penghormatan padaNya, beliau
duduk di satu sisi. Saat beliau duduk di sana, beliau mengatakan tentang apa
yang terjadi pada Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha, sehubungan dengan
kejadian tersebut, meminta para bhikkhu untuk berkumpul dan bertanya kepada
mereka, “Apakah hal ini benar seperti yang dikatakan, bahwa kalian, para
bhikkhu, membuat kuti dengan cara mengemis – tidak mempunyai penyokong,
untuk kepentingan kalian sendiri, tidak sesuai dengan ukuran standar –
tetapi belum dapat menyelesaikannya? Mereka mengatakan bahwa kalian terus-menerus
mengemis, terus-menerus memberikan indikasi: ‘Berikan seorang laki-laki,
berikan seorang pekerja, berikan seekor sapi, berikan sebuah gerobak, berikan
sebuah pisau, berikan sebuah kapak pendek, berikan sebuah kapak, berikan sebuah
sekop, berikan sebuah pahat, berikan tumbuhan merambat [untuk tali pengikat],
berikan bambu, berikan rumput muñja,
berikan rumput, berikan rumput tiṇa, berikan
tanah liat.’ Penduduk merasa terganggu/tertekan dengan tindakan mengemis dan
indikasi kalian; ketika mereka melihat (para) bhikkhu, mereka merasa terganggu,
merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan lain, menghadap
ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Bahkan, ketika mereka melihat
sapi, mereka melarikan diri, membayangkan mereka sebagai bhikkhu. Apakah hal
ini benar?” “Ya, hal itu benar, Guru.”
Maka, Sang Buddha menegur mereka, “Bagaimana
bisa kalian, orang tak berguna, membuat kuti dengan cara mengemis?...... ‘Berikan
seorang laki-laki,...... berikan tanah liat.’ Hal tersebut, orang tak berguna,
bukan untuk keuntungan para mereka yang belum memiliki keyakinan, .....” (* alternatif kata-kata teguran lainnya lihat
di akhir artikel). Setelah menegur mereka dan memberikan ceramah Dhamma,
Sang Buddha menasihati para bhikkhu:
“Di
masa lampau, para bhikkhu, ada dua bersaudara yang hidup sebagai petapa di dekat
sungai Gangga. Kemudian, para bhikkhu, Maṇikaṇṭha, raja naga, keluar dari sungai
Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda. Sesampainya di sana, dia melilit
petapa tersebut sebanyak tujuh lilitan dengan tubuhnya, dia berdiri dan memayungi
kepala petapa tersebut[1]
dengan kepalanya yang terkembang. Kemudian, para bhikkhu, petapa muda ini,
karena ketakutannya pada sang naga, dia menjadi kurus, tidak bahagia, tidak
menarik, kulitnya kekuningan (karena sakit kuning), dan tubuhnya dipenuhi oleh
pembuluh darah yang menonjol. Para bhikkhu, kakaknya yang melihat adiknya
menjadi kurus...... dan tubuhnya dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol,
bertanya kepada adiknya, “Mengapa kamu menjadi kurus, .... dan tubuhmu dipenuhi
oleh pembuluh darah yang menonjol?”
“Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi saya. Sesampainya di sini, dia
melilit saya sebanyak tujuh lilitan dengan tubuhnya, dia berdiri dan memayungi
kepala saya dengan kepalanya yang terkembang. Saya, kakak, karena takut pada
sang naga, saya menjadi kurus, ...... dan tubuh saya dipenuhi oleh pembuluh
darah yang menonjol.”
‘Tetapi, adik, apakah kamu ingin naga itu tidak datang lagi?’
‘Kakak, saya tidak ingin naga tersebut datang lagi.’
‘Apakah kamu melihat naga tersebut memiliki sesuatu?’
‘Kakak, saya melihat batu mulia di tenggorokannya.’
‘Bila demikian, adik, kamu minta batu mulia tersebut dari sang naga dengan
berkata,
“Teman, berikan saya batu
muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.”’
“Kemudian, Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda tersebut.
Sesampainya di sana, dia berdiri di satu sisi. Para bhikkhu, saat sang naga
berdiri di sana, petapa tersebut berkata kepada Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.’
Kemudian, Maṇikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini
menginginkan batu muliaku,’ dan dia pergi meninggalkannya.”
“Untuk kedua kalinya, para bhikkhu, Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda tersebut.
Kemudian, para bhikkhu, petapa tersebut yang melihat Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, datang dari kejauhan berkata, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya
menginginkan batu muliamu.’ Kemudian, Maṇikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini
meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku,’ dan dia berbalik
arah kembali, meninggalkannya.”
“Untuk ketiga
kalinya, para bhikkhu, Maṇikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai
Gangga. Kemudian, para bhikkhu, petapa tersebut yang melihat Maṇikaṇṭha, sang raja
naga, keluar dari sungai Gangga berkata, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya
menginginkan batu muliamu.’ Kemudian, Maṇikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini
meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku.’”
Kemudian, para
bhikkhu, Maṇikaṇṭha, sang raja naga, berkata kepada petapa tersebut dalam bentuk syair:
“Makanan dan minumanku dihasilkan secara berlimpah
dan dengan sangat baik berkat kekuatan batu mulia ini.
Saya tidak akan memberikannya kepadamu, kamu adalah orang
yang meminta
secara berlebihan, saya juga tidak akan datang ke
pertapaanmu lagi.
Bagaikan pemuda dengan pedang tajam yang terhunus di
tangannya,
kau membuatku takut, meminta batu muliaku.
Saya tidak akan memberikannya kepadamu, kamu adalah orang
yang meminta
secara
berlebihan, saya juga tidak akan datang ke pertapaanmu lagi.”
Kemudian, para
bhikkhu, Maṇikaṇṭha, sang raja naga, berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini
menginginkan batu muliaku,’ lalu dia pergi. Setelah pergi meninggalkannya, dia
tidak pernah kembali lagi. Kemudian, petapa yang lebih muda tersebut, karena
tidak lagi melihat naga yang indah tersebut, menjadi lebih kurus, lebih tidak
bahagia, lebih tidak menarik, kulitnya lebih kekuningan (karena sakit kuning),
dan tubuhnya lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol. Para bhikkhu,
kakaknya yang melihat adiknya menjadi lebih kurus...... dan tubuhnya lebih
dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol, bertanya kepada adiknya, “Mengapa
kamu menjadi lebih kurus, .... dan tubuhmu lebih dipenuhi oleh pembuluh darah
yang menonjol?”
“Hal ini karena
saya tidak dapat lagi melihat sang naga yang indah, makanya saya bahkan menjadi
lebih kurus.... dan tubuhku lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol.”
Kemudian, kakaknya menasihati adiknya dalam bentuk syair:
“Jangan mengemis apa yang kau dambakan
dari seseorang yang kau sayangi.
Meminta berlebihan adalah
hal yang sangat memuakkan.
Sang naga, diminta batu mulianya oleh seorang brahmana
pergi menghilang,
dan tidak pernah muncul lagi.”
Para bhikkhu, mengemis ataupun melakukan indikasi adalah hal yang memuakkan, bahkan bagi para binatang; apalagi bagi para
manusia!
“Di masa lampau,
para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di lereng pegunungan Himalaya di sebuah
hutan lebat. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas.
Sekelompok besar burung-burung, setelah
mencari makan sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi bertengger
untuk tidur di hutan lebat tersebut pada malam hari. Kemudian, para bhikkhu,
bhikkhu tersebut merasa terganggu oleh suara dari burung-burung tersebut. Maka,
dia datang kepadaKu, setelah tiba dan memberi hormat kepadaKu, dia duduk di
satu sisi. Saat dia sedang duduk di
sana, Saya berkata kepadanya, “Saya berharap, bhikkhu, kamu berada dalam
keadaan baik, kamu dapat hidup dengan harmonis, menyelesaikan perjalananmu hanya
dengan sedikit rasa lelah. Kamu datang dari mana?”
“Saya baik, Guru, dapat hidup dengan harmonis, dan
telah menyelesaikan perjalananku hanya dengan sedikit rasa lelah. Di sana,
Guru, di lereng pegunungan Himalaya terdapat sebuah hutan lebat; dan tidak jauh
dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas. Sekelompok besar burung-burung, setelah mencari makan
sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi bertengger untuk tidur di
hutan lebat tersebut pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa saya datang
menemui Guru, karena saya sangat terganggu oleh suara dari burung-burung
tersebut.”
“Bhikkhu, apakah kau ingin burung-burung tersebut
pergi untuk selamanya?”
“Ya, Guru, saya
ingin mereka pergi untuk selamanya.”
“Bila demikian, bhikkhu, kembalilah ke sana dan
masuk ke hutan lebat tersebut di paruh waktu pertama dari malam; lalu buatlah
pengumuman ini sebanyak tiga kali:
‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sebuah
bulu dari kalian semua yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari
kalian berikan saya satu lembar bulu.’ Di paruh waktu kedua dari malam..... Di
paruh waktu ketiga dari malam buatlah pengumuman ini sebanyak tiga kali:
‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sebuah
bulu dari kalian semua yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari
kalian berikan saya satu lembar bulu.’
(Sang bhikkhu melakukan seperti
yang diinstruksikan).
Kemudian, para
bhikkhu, kumpulan burung-burung tersebut berpikir, “Sang bhikkhu mengemis untuk
mendapatkan sebuah bulu, sang bhikkhu menginginkan sebuah bulu,” lalu pergi
meninggalkan hutan lebat tersebut. Setelah mereka pergi, mereka tidak pernah
kembali lagi. Para bhikkhu, mengemis ataupun melakukan indikasi adalah hal yang
memuakkan, bahkan bagi para binatang; apalagi bagi para manusia!
“Di suatu saat,
para bhikkhu, ayah dari Raṭṭhapāla, seorang pemuda
yang mulia, berkata kepadanya dalam bentuk sebuah syair:
“Walaupun saya tidak mengenal mereka, Raṭṭhapāla,
banyak orang, saat bertemu saya, mengemis padaku
Mengapa kamu tidak mengemis padaku?”
‘Seorang pengemis tidak disukai.
Dia yang saat diminta, tidak memberi, tidak disukai.
Itulah sebabnya saya tidak mengemis padamu,
sehingga kamu
tidak merasa muak padaku.”
“Para bhikkhu, jika Raṭṭhapāla,
seorang pemuda yang mulia, dapat berkata demikian kepada ayahnya; mengapa
tidak, bagi sesama orang yang tidak saling mengenal?”
---oo0oo---
* Di bawah ini adalah gabungan alternatif kata-kata teguran lainnya yang
biasa dikatakan oleh Sang Buddha, bisa ditemui misalnya pada kasus
pelanggaran dengan sanksi gugur (pārājika).
“Orang tak berguna, hal itu adalah
tindakan yang tidak baik, tidak cocok, tidak layak bagi seorang petapa, tidak
tepat dan tidak boleh dilakukan. Mengapa kamu, orang tak berguna, setelah
meninggalkan kehidupan duniawi dan berada dalam Dhamma dan disiplin yang telah
dibabarkan dengan sempurna, demi kehidupanmu tidak dapat menjalankan kehidupan-mulia
ini dengan sempurna dan murni. Bukankah Saya telah mengajarkan Dhamma dalam
berbagai macam cara demi hilangnya nafsu dan bukan untuk menumbuhkan nafsu; demi
hilangnya rintangan dan bukan untuk menumbuhkan rintangan; untuk melepas dan
bukan untuk menumbuhkan pencengkeraman? Tetapi, walaupun Saya mengajarkan
Dhamma demi hilangnya nafsu, kau mengarahkan hatimu untuk menumbuhkan nafsu;
walaupun Saya mengajarkan Dhamma demi hilangnya rintangan, kau mengarahkan
hatimu untuk menumbuhkan rintangan; walaupun Saya mengajarkan Dhamma untuk
melepas, kau mengarahkan hatimu untuk menumbuhkan pencengkeraman.
Bukankah Saya telah mengajarkan
Dhamma dalam berbagai macam cara demi memudarnya nafsu; demi meredakan
kesombongan, demi mengekang keinginan, demi padamnya pencengkeraman, demi
memutus lingkaran kehidupan, demi menghancurkan pendambaan, demi berhentinya/berakhirnya
fenomena, demi nibbāna?
Bukankah saya telah menasihati
untuk meninggalkan kesenangan yang berhubungan dengan objek indera, memahami
persepsi yang berhubungan dengan objek indera, menaklukkan kehausan yang
berhubungan dengan objek indera, membasmi dominasi pikiran yang berhubungan
dengan objek indera, meredakan demam yang timbul akibat objek indera?
Orang tak berguna, hal ini
bukanlah untuk menumbuhkan keyakinan pada yang belum mempunyai keyakinan
ataupun meningkatkan jumlah yang mempunyai keyakinan. Tetapi, para bhikkhu, hal ini bagi kerugian
keduanya, baik bagi mereka yang belum memiliki keyakinan ataupun bagi mereka
yang telah memiliki keyakinan, dan menyebabkan goyah pada beberapa [yang telah
memiliki keyakinan]”.
Kisah di atas
adalah latar belakang munculnya peraturan
Saṅghādisesa nomor enam (kuṭikārasikkhāpadaṃ),
yang berbunyi:
Saṅghādisesa nomor enam (kuṭikārasikkhāpadaṃ),
yang berbunyi:
Ketika seorang bhikkhu mempunyai sebuah
kuti yang dibuat dari (material yang didapat) dengan cara mengemis – tidak
mempunyai penyokong dan didirikan untuk dirinya – dia harus membuatnya sesuai
dengan ukuran yang berlaku (standar). Ukurannya adalah: dua-belas jengkal,
menggunakan panjang jengkal Sang Buddha,[2] panjangnya (ukuran luar); tujuh jengkal
lebarnya (ukuran dalam). Sangha harus berkumpul untuk memutuskan area tersebut.
Area yang diputuskan/ditetapkan Sangha harus bebas dari gangguan dan dengan
halaman yang memadai/ cukup. Jika seorang bhikkhu harus mendirikan kuti dengan
cara mengemis di area yang terdapat gangguan dan tanpa halaman yang memadai,
atau jika dia tidak meminta Sangha untuk memutuskan area tersebut, atau jika
dia membuatnya melebihi dari ukuran standar, ini mengakibatkan terjadinya
pelanggaran Saṅghādisesa.
Definisi kuti di
sini adalah tempat tinggal seorang bhikkhu, jadi hal ini juga bisa berarti
cetiya atau vihara. Maka, seorang bhikkhu yang ingin mendirikan tempat tinggal
untuk dirinya dan tidak mempunyai penyokong, hanya bisa membuat tempat tinggal
berukuran kurang-lebih tiga (3) meter-panjang dan satu koma tujuh-puluh-lima
(1,75) meter-lebar. Selain itu, harus didirikan ditempat yang telah disetujui
oleh Sangha, bebas dari gangguan, dan mempunyai halaman yang memadai. Peraturan
ini dibuat agar para bhikkhu tidak membebani para penyokong.
Terlepas apakah
pembaca adalah seorang bhikkhu atau umat biasa, moral cerita yang
ditonjolkan di sini adalah “Janganlah
Menjadi Beban,” baik itu beban bagi orang lain ataupun bagi diri sendiri.
Ingatlah, Ajaran ini mengajarkan untuk
melepas bukan untuk mengumpulkan. Semakin banyak hal yang dapat dilepaskan,
maka semakin sedikit beban yang harus dipikul; atau dengan kata lain, semakin
sedikit penderitaan. Agar dapat mudah melepas, diperlukan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan terbaik didapat dari bermeditasi, maka ber-MEDITASI-LAH!
Semoga para
pembaca dapat memetik manfaat sebesar-besarnya dari tulisan ini dan secepatnya
terbebas dari penderitaan. Sadhu! Sadhu! Sadhu!
Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten, Indonesia
22 November, 2012
Referensi:
1.
Digital Pali Reader, http://pali.sirimangalo.org.
2.
I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline
Vol. I, Published for PTS by Luzac & Company Ltd., London, 1949.
3.
Ṭhānissaro Bhikkhu, Recognizing The Dhamma,
Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia.
File elektronik dari artikel ini, dan artikel/buku yang lainnya dapat
diunduh di:
http://cid-f1e05c39cd1727e9.office.live.com/browse.aspx/Vipassana%20Dhamma
[1] Menurut kitab komentar, petapa tersebut
sedang mengembangkan meditasi cinta-kasih – mettā.
[2] Berdasarkan kitab komentar, panjang
jengkal Sang Buddha adalah tiga kali panjang jengkal orang normal (sepertinya
mustahil). Berdasarkan Dīgha Nikāya #2, tinggi Sang Buddha diperkirakan +/-
2 meter dan jengkalnya +/- 25 cm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar