Minggu, 17 Februari 2013


Janganlah Menjadi Beban




Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.

 
 

            Suatu ketika, para bhikkhu dari Ālavī mendirikan kuṭi (tempat tinggal) dengan cara mengemis [untuk mendapatkan bahan-bahannya] – mereka tidak mempunyai penyokong, didirikan untuk kepentingan mereka sendiri, tidak sesuai dengan ukuran standar – tetapi tidak dapat menyelesaikannya. Mereka terus-menerus mengemis, terus-menerus memberikan indikasi: “Berikan seorang laki-laki, berikan seorang pekerja, berikan seekor sapi, berikan sebuah gerobak, berikan sebuah pisau, berikan sebuah kapak pendek, berikan sebuah kapak, berikan sebuah sekop, berikan sebuah pahat, berikan tumbuhan merambat [untuk tali pengikat], berikan bambu, berikan rumput muñja, berikan rumput, berikan rumput tia, berikan tanah liat.” Penduduk merasa terganggu/tertekan dengan tindakan mengemis dan indikasi mereka; ketika mereka melihat (para) bhikkhu, mereka merasa terganggu, merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan lain, menghadap ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Bahkan, ketika mereka melihat sapi, mereka melarikan diri, membayangkan mereka sebagai bhikkhu.

            Kemudian, Bhante Mahā Kassapa, setelah menyelesaikan masa vassa-nya di Rājagaha, melakukan perjalanan ke Ālavī. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, akhirnya beliau sampai di Ālavī dan tinggal di cetiya utama. Keesokan paginya, setelah menggunakan jubah dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, beliau pergi memasuki kota Ālavī untuk mengumpulkan dana makanan (piṇḍpāta). Para penduduk, ketika melihat Bhante Mahā Kassapa, mereka merasa terganggu, merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan lain, menghadap ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Kemudian, Bhante Mahā Kassapa, setelah ber-piṇḍpāta, setelah menyelesaikan makannya dan kembali ke cetiya, berkata kepada para bhikkhu, “Sebelumnya, teman-teman, Ālavī adalah area yang baik untuk ber-piṇḍpāta, makanan mudah didapat, mudah untuk menjaga/merawat diri dengan mengumpulkan makanan dari para penyokong. Tetapi sekarang, Ālavī adalah area yang buruk untuk ber-piṇḍpāta, makanan sulit didapat, tidak mudah untuk menjaga/merawat diri dengan mengumpulkan makanan dari para penyokong. Apakah alasannya, apakah penyebabnya sehingga sekarang Ālavī adalah area yang buruk untuk ber-piṇḍpāta? Lalu, para bhikkhu memberitahu Bhante Mahā Kassapa alasannya.

            Kemudian, Sang Buddha, setelah berdiam di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, melakukan perjalanan ke Ālavī. Setelah melakukan perjalanan secara bertahap, akhirnya Beliau sampai di Ālavī dan tinggal di cetiya utama. Kemudian, Bhante Mahā Kassapa pergi mengunjungi Beliau, setelah tiba dan setelah melakukan penghormatan padaNya, beliau duduk di satu sisi. Saat beliau duduk di sana, beliau mengatakan tentang apa yang terjadi pada Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha, sehubungan dengan kejadian tersebut, meminta para bhikkhu untuk berkumpul dan bertanya kepada mereka, “Apakah hal ini benar seperti yang dikatakan, bahwa kalian, para bhikkhu, membuat kuti dengan cara mengemis – tidak mempunyai penyokong, untuk kepentingan kalian sendiri, tidak sesuai dengan ukuran standar – tetapi belum dapat menyelesaikannya? Mereka mengatakan bahwa kalian terus-menerus mengemis, terus-menerus memberikan indikasi: ‘Berikan seorang laki-laki, berikan seorang pekerja, berikan seekor sapi, berikan sebuah gerobak, berikan sebuah pisau, berikan sebuah kapak pendek, berikan sebuah kapak, berikan sebuah sekop, berikan sebuah pahat, berikan tumbuhan merambat [untuk tali pengikat], berikan bambu, berikan rumput muñja, berikan rumput, berikan rumput tia, berikan tanah liat.’ Penduduk merasa terganggu/tertekan dengan tindakan mengemis dan indikasi kalian; ketika mereka melihat (para) bhikkhu, mereka merasa terganggu, merasa takut; mereka berlari meninggalkannya, mengambil jalan lain, menghadap ke arah lain (buang muka), atau menutup pintu. Bahkan, ketika mereka melihat sapi, mereka melarikan diri, membayangkan mereka sebagai bhikkhu. Apakah hal ini benar?” “Ya, hal itu benar, Guru.”

            Maka, Sang Buddha menegur mereka, “Bagaimana bisa kalian, orang tak berguna, membuat kuti dengan cara mengemis?...... ‘Berikan seorang laki-laki,...... berikan tanah liat.’ Hal tersebut, orang tak berguna, bukan untuk keuntungan para mereka yang belum memiliki keyakinan, .....” (* alternatif kata-kata teguran lainnya lihat di akhir artikel). Setelah menegur mereka dan memberikan ceramah Dhamma, Sang Buddha menasihati para bhikkhu: 

            “Di masa lampau, para bhikkhu, ada dua bersaudara yang hidup sebagai petapa di dekat sungai Gangga. Kemudian, para bhikkhu, Maikaṇṭha, raja naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda. Sesampainya di sana, dia melilit petapa tersebut sebanyak tujuh lilitan dengan tubuhnya, dia berdiri dan memayungi kepala petapa tersebut[1] dengan kepalanya yang terkembang. Kemudian, para bhikkhu, petapa muda ini, karena ketakutannya pada sang naga, dia menjadi kurus, tidak bahagia, tidak menarik, kulitnya kekuningan (karena sakit kuning), dan tubuhnya dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol. Para bhikkhu, kakaknya yang melihat adiknya menjadi kurus...... dan tubuhnya dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol, bertanya kepada adiknya, “Mengapa kamu menjadi kurus, .... dan tubuhmu dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol?”

            “Maikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi saya. Sesampainya di sini, dia melilit saya sebanyak tujuh lilitan dengan tubuhnya, dia berdiri dan memayungi kepala saya dengan kepalanya yang terkembang. Saya, kakak, karena takut pada sang naga, saya menjadi kurus, ...... dan tubuh saya dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol.”

‘Tetapi, adik, apakah kamu ingin naga itu tidak datang lagi?’

‘Kakak, saya tidak ingin naga tersebut datang lagi.’

‘Apakah kamu melihat naga tersebut memiliki sesuatu?’

‘Kakak, saya melihat batu mulia di tenggorokannya.’

‘Bila demikian, adik, kamu minta batu mulia tersebut dari sang naga dengan berkata,

“Teman, berikan saya batu muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.”’

“Kemudian, Maikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda tersebut. Sesampainya di sana, dia berdiri di satu sisi. Para bhikkhu, saat sang naga berdiri di sana, petapa tersebut berkata kepada Maikaṇṭha, sang raja naga, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.’ Kemudian, Maikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku,’ dan dia pergi meninggalkannya.”

  “Untuk kedua kalinya, para bhikkhu, Maikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai Gangga, mendatangi petapa yang lebih muda tersebut. Kemudian, para bhikkhu, petapa tersebut yang melihat Maikaṇṭha, sang raja naga, datang dari kejauhan berkata, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.’ Kemudian, Maikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku,’ dan dia berbalik arah kembali, meninggalkannya.”

“Untuk ketiga kalinya, para bhikkhu, Maikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai Gangga. Kemudian, para bhikkhu, petapa tersebut yang melihat Maikaṇṭha, sang raja naga, keluar dari sungai Gangga berkata, ‘Teman, berikan saya batu muliamu. Saya menginginkan batu muliamu.’ Kemudian, Maikaṇṭha, sang raja naga berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku.’

Kemudian, para bhikkhu, Maikaṇṭha, sang raja naga, berkata kepada petapa tersebut dalam bentuk syair:

“Makanan dan minumanku dihasilkan secara berlimpah

dan dengan sangat baik berkat kekuatan batu mulia ini.

Saya tidak akan memberikannya kepadamu, kamu adalah orang yang meminta

secara berlebihan, saya juga tidak akan datang ke pertapaanmu lagi.

Bagaikan pemuda dengan pedang tajam yang terhunus di tangannya,

kau membuatku takut, meminta batu muliaku.

Saya tidak akan memberikannya kepadamu, kamu adalah orang yang meminta

secara berlebihan, saya juga tidak akan datang ke pertapaanmu lagi.”

Kemudian, para bhikkhu, Maikaṇṭha, sang raja naga, berpikir, ‘Petapa ini meminta batu muliaku, petapa ini menginginkan batu muliaku,’ lalu dia pergi. Setelah pergi meninggalkannya, dia tidak pernah kembali lagi. Kemudian, petapa yang lebih muda tersebut, karena tidak lagi melihat naga yang indah tersebut, menjadi lebih kurus, lebih tidak bahagia, lebih tidak menarik, kulitnya lebih kekuningan (karena sakit kuning), dan tubuhnya lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol. Para bhikkhu, kakaknya yang melihat adiknya menjadi lebih kurus...... dan tubuhnya lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol, bertanya kepada adiknya, “Mengapa kamu menjadi lebih kurus, .... dan tubuhmu lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol?” 

“Hal ini karena saya tidak dapat lagi melihat sang naga yang indah, makanya saya bahkan menjadi lebih kurus.... dan tubuhku lebih dipenuhi oleh pembuluh darah yang menonjol.” Kemudian, kakaknya menasihati adiknya dalam bentuk syair:

“Jangan mengemis apa yang kau dambakan

dari seseorang yang kau sayangi.

Meminta berlebihan adalah

hal yang sangat memuakkan.

Sang naga, diminta batu mulianya oleh seorang brahmana

pergi menghilang, dan tidak pernah muncul lagi.”

Para bhikkhu, mengemis ataupun melakukan indikasi adalah hal yang memuakkan, bahkan bagi para binatang; apalagi bagi para manusia!

“Di masa lampau, para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di lereng pegunungan Himalaya di sebuah hutan lebat. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas. Sekelompok  besar burung-burung, setelah mencari makan sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi bertengger untuk tidur di hutan lebat tersebut pada malam hari. Kemudian, para bhikkhu, bhikkhu tersebut merasa terganggu oleh suara dari burung-burung tersebut. Maka, dia datang kepadaKu, setelah tiba dan memberi hormat kepadaKu, dia duduk di satu sisi.  Saat dia sedang duduk di sana, Saya berkata kepadanya, “Saya berharap, bhikkhu, kamu berada dalam keadaan baik, kamu dapat hidup dengan harmonis, menyelesaikan perjalananmu hanya dengan sedikit rasa lelah. Kamu datang dari mana?”

“Saya baik, Guru, dapat hidup dengan harmonis, dan telah menyelesaikan perjalananku hanya dengan sedikit rasa lelah. Di sana, Guru, di lereng pegunungan Himalaya terdapat sebuah hutan lebat; dan tidak jauh dari tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas. Sekelompok  besar burung-burung, setelah mencari makan sepanjang hari di daerah rawa-rawa tersebut, pergi bertengger untuk tidur di hutan lebat tersebut pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa saya datang menemui Guru, karena saya sangat terganggu oleh suara dari burung-burung tersebut.”

“Bhikkhu, apakah kau ingin burung-burung tersebut pergi untuk selamanya?”

“Ya, Guru, saya ingin mereka pergi untuk selamanya.”

“Bila demikian, bhikkhu, kembalilah ke sana dan masuk ke hutan lebat tersebut di paruh waktu pertama dari malam; lalu buatlah pengumuman ini sebanyak tiga kali:

‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sebuah bulu dari kalian semua yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari kalian berikan saya satu lembar bulu.’ Di paruh waktu kedua dari malam..... Di paruh waktu ketiga dari malam buatlah pengumuman ini sebanyak tiga kali:

‘Tolong dengarkan saya, para burung yang baik, saya menginginkan sebuah bulu dari kalian semua yang beristirahat di hutan lebat ini. Masing-masing dari kalian berikan saya satu lembar bulu.’

(Sang bhikkhu melakukan seperti yang diinstruksikan).

Kemudian, para bhikkhu, kumpulan burung-burung tersebut berpikir, “Sang bhikkhu mengemis untuk mendapatkan sebuah bulu, sang bhikkhu menginginkan sebuah bulu,” lalu pergi meninggalkan hutan lebat tersebut. Setelah mereka pergi, mereka tidak pernah kembali lagi. Para bhikkhu, mengemis ataupun melakukan indikasi adalah hal yang memuakkan, bahkan bagi para binatang; apalagi bagi para manusia!

“Di suatu saat, para bhikkhu, ayah dari Raṭṭhapāla, seorang pemuda yang mulia, berkata kepadanya dalam bentuk sebuah syair:

“Walaupun saya tidak mengenal mereka, Raṭṭhapāla,

banyak orang, saat bertemu saya, mengemis padaku

Mengapa kamu tidak mengemis padaku?”

 

‘Seorang pengemis tidak disukai.

Dia yang saat diminta, tidak memberi, tidak disukai.

Itulah sebabnya saya tidak mengemis padamu,

sehingga kamu tidak merasa muak padaku.”

Para bhikkhu, jika Raṭṭhapāla, seorang pemuda yang mulia, dapat berkata demikian kepada ayahnya; mengapa tidak, bagi sesama orang yang tidak saling mengenal?”

---oo0oo---

 

* Di bawah ini adalah gabungan alternatif kata-kata teguran lainnya yang biasa dikatakan oleh Sang Buddha, bisa ditemui misalnya pada kasus pelanggaran dengan sanksi gugur (pārājika).

Orang tak berguna, hal itu adalah tindakan yang tidak baik, tidak cocok, tidak layak bagi seorang petapa, tidak tepat dan tidak boleh dilakukan. Mengapa kamu, orang tak berguna, setelah meninggalkan kehidupan duniawi dan berada dalam Dhamma dan disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna, demi kehidupanmu tidak dapat menjalankan kehidupan-mulia ini dengan sempurna dan murni. Bukankah Saya telah mengajarkan Dhamma dalam berbagai macam cara demi hilangnya nafsu dan bukan untuk menumbuhkan nafsu; demi hilangnya rintangan dan bukan untuk menumbuhkan rintangan; untuk melepas dan bukan untuk menumbuhkan pencengkeraman? Tetapi, walaupun Saya mengajarkan Dhamma demi hilangnya nafsu, kau mengarahkan hatimu untuk menumbuhkan nafsu; walaupun Saya mengajarkan Dhamma demi hilangnya rintangan, kau mengarahkan hatimu untuk menumbuhkan rintangan; walaupun Saya mengajarkan Dhamma untuk melepas, kau mengarahkan hatimu untuk menumbuhkan pencengkeraman.

Bukankah Saya telah mengajarkan Dhamma dalam berbagai macam cara demi memudarnya nafsu; demi meredakan kesombongan, demi mengekang keinginan, demi padamnya pencengkeraman, demi memutus lingkaran kehidupan, demi menghancurkan pendambaan, demi berhentinya/berakhirnya fenomena, demi nibbāna?

Bukankah saya telah menasihati untuk meninggalkan kesenangan yang berhubungan dengan objek indera, memahami persepsi yang berhubungan dengan objek indera, menaklukkan kehausan yang berhubungan dengan objek indera, membasmi dominasi pikiran yang berhubungan dengan objek indera, meredakan demam yang timbul akibat objek indera?

Orang tak berguna, hal ini bukanlah untuk menumbuhkan keyakinan pada yang belum mempunyai keyakinan ataupun meningkatkan jumlah yang mempunyai keyakinan. Tetapi, para bhikkhu, hal ini bagi kerugian keduanya, baik bagi mereka yang belum memiliki keyakinan ataupun bagi mereka yang telah memiliki keyakinan, dan menyebabkan goyah pada beberapa [yang telah memiliki keyakinan]”.

                                                                                              
           
Kisah di atas adalah latar belakang munculnya peraturan
Sa
ghādisesa nomor enam (kuikārasikkhāpadaṃ),
yang berbunyi:

Ketika seorang bhikkhu mempunyai sebuah kuti yang dibuat dari (material yang didapat) dengan cara mengemis – tidak mempunyai penyokong dan didirikan untuk dirinya – dia harus membuatnya sesuai dengan ukuran yang berlaku (standar). Ukurannya adalah: dua-belas jengkal, menggunakan panjang jengkal Sang Buddha,[2] panjangnya (ukuran luar); tujuh jengkal lebarnya (ukuran dalam). Sangha harus berkumpul untuk memutuskan area tersebut. Area yang diputuskan/ditetapkan Sangha harus bebas dari gangguan dan dengan halaman yang memadai/ cukup. Jika seorang bhikkhu harus mendirikan kuti dengan cara mengemis di area yang terdapat gangguan dan tanpa halaman yang memadai, atau jika dia tidak meminta Sangha untuk memutuskan area tersebut, atau jika dia membuatnya melebihi dari ukuran standar, ini mengakibatkan terjadinya pelanggaran Saghādisesa. 

Definisi kuti di sini adalah tempat tinggal seorang bhikkhu, jadi hal ini juga bisa berarti cetiya atau vihara. Maka, seorang bhikkhu yang ingin mendirikan tempat tinggal untuk dirinya dan tidak mempunyai penyokong, hanya bisa membuat tempat tinggal berukuran kurang-lebih tiga (3) meter-panjang dan satu koma tujuh-puluh-lima (1,75) meter-lebar. Selain itu, harus didirikan ditempat yang telah disetujui oleh Sangha, bebas dari gangguan, dan mempunyai halaman yang memadai. Peraturan ini dibuat agar para bhikkhu tidak membebani para penyokong.

Terlepas apakah pembaca adalah seorang bhikkhu atau umat biasa, moral cerita yang ditonjolkan di sini adalah “Janganlah Menjadi Beban,” baik itu beban bagi orang lain ataupun bagi diri sendiri. Ingatlah, Ajaran ini mengajarkan untuk melepas bukan untuk mengumpulkan. Semakin banyak hal yang dapat dilepaskan, maka semakin sedikit beban yang harus dipikul; atau dengan kata lain, semakin sedikit penderitaan. Agar dapat mudah melepas, diperlukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan terbaik didapat dari bermeditasi, maka ber-MEDITASI-LAH!

Semoga para pembaca dapat memetik manfaat sebesar-besarnya dari tulisan ini dan secepatnya terbebas dari penderitaan. Sadhu! Sadhu! Sadhu!

 

Bhikkhu Sikkhānanda
Cetiya Dhamma Sikkhā
Tangerang, Banten, Indonesia
22 November, 2012

 

Referensi:

1.        Digital Pali Reader, http://pali.sirimangalo.org.
2.        I. B. Horner M.A., The Book of The Discipline Vol. I, Published for PTS by Luzac & Company Ltd., London, 1949.
3.        Ṭhānissaro Bhikkhu, Recognizing The Dhamma, Vihara Buddha Gotama, Perak, Malaysia.
4.        Ṭhānissaro Bhikkhu, Buddhist Monastic Code I, 2007, PDF, http://www.accesstoinsight.org.

File elektronik dari artikel ini, dan artikel/buku yang lainnya dapat diunduh di:
http://cid-f1e05c39cd1727e9.office.live.com/browse.aspx/Vipassana%20Dhamma


[1] Menurut kitab komentar, petapa tersebut sedang mengembangkan meditasi cinta-kasih – mettā.
[2] Berdasarkan kitab komentar, panjang jengkal Sang Buddha adalah tiga kali panjang jengkal orang normal (sepertinya mustahil). Berdasarkan Dīgha Nikāya #2, tinggi Sang Buddha diperkirakan +/- 2 meter dan jengkalnya +/- 25 cm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar