Manfaatkan Waktu Semaksimal
Mungkin
Namo Tassa Bhagavato
Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan
Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha
Sendiri.
Pernahkah
anda merenungkan seberapa baik anda memanfaatkan waktu yang anda miliki? Dapat dipastikan jawabannya adalah TIDAK.
Sebagian besar manusia tidak pernah mempedulikan hal ini, dan mereka menganggap
bahwa mereka telah menghabiskan waktunya dengan baik. Tetapi, bila jawaban anda
YA, maka akan baik sekali bila anda melanjutkan membaca tulisan ini dan
lihatlah apakah jawaban anda masih YA.
Setiap
orang punya kegiatan masing-masing dan berusaha mengisi waktunya dengan sebaik
mungkin. Tetapi jarang sekali yang benar-benar merenungkan seberapa baik mereka
memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Mereka selalu mengatakan sibuk dan tak
punya waktu lagi, khususnya bila diajak
melakukan hal yang baik. Namun
demikian, bila mendapat ajakan untuk melakukan kegiatan yang disukainya,
walaupun hal itu tidak banyak membawa manfaat atau bahkan tidak membawa manfaat
sama sekali, maka dia akan mempunyai waktu untuk melakukannya.
Banyak
para pelajar yang tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar, tetapi tetap
mempunyai waktu untuk melakukan hal yang tidak perlu dilakukan oleh seorang
pelajar. Contohnya, mereka tidak
mempunyai waktu untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah), untuk belajar kelompok,
dan kegiatan yang bermanfaat lainnya (seperti pergi kebaktian, belajar Dhamma,
dll., apalagi untuk meditasi). Namun
demikian, bila diajak pergi nonton film, ke diskotik, makan ke restoran, main
kartu, atau bahkan untuk kumpul bersama teman-teman sambil menghabiskan waktu
sambil berbicara yang tak ada manfaatnya (hanya nongkrong-nongkrong, kadang
sambil bolos sekolah) hampir dapat
dipastikan mereka masih mempunyai waktu untuk melakukannya.
Bukan
hanya para pelajar yang terserang penyakit ini, tetapi juga orang dewasa
seperti para pekerja, ibu rumah tangga, dan bahkan para kepala keluarga. Banyak
para pekerja yang bingung harus mengerjakan apa di saat jam kerja, maka mereka
hanya menghabiskan waktu untuk baca koran, majalah, main komputer (menjelajah
internet, main permainan komputer, nonton film, dll), bahkan ada yang tidur
siang. Banyak dari mereka hanya bekerja
bila ada tugas dari atasannya. Yang lebih menyeramkan lagi adalah, banyak yang
tidak berada di tempat kerja saat jam kerja dan bahkan tidak masuk kerja
(banyak terjadi di lingkungan pemerintah).
Para ibu rumah tangga banyak menghabiskan waktunya untuk nonton
sinetron, tele-novela, arisan, pergi ke salon, dan juga tidur siang.
Bila
anda merenungkan hal ini baik-baik, maka akan terlihat bahwa semua kegiatan
tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai kegiatan yang bermanfaat.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan betapa tebalnya faktor kebodohan mental
(moha) dalam diri anda. Perlu anda
semua ketahui, bila ada kebodohan, maka otomatis di sana juga biasanya ada
keserakahan (lobha) dan kebencian/kemarahan/penolakan
(dosa). Contoh: saat anda menonton
sinetron, anda suka dengan jalan ceritanya atau pemeran sinetron tersebut, maka
ada keinginan untuk melihatnya lagi, dan ini adalah manifestasi dari
keserakahan (lobha). Sebaliknya, bila
ada hal yang tidak anda sukai dalam sinetron tersebut, maka akan timbul
kebencian/penolakan (dosa). Dengan
demikian, anda hanya mengisi waktu anda untuk bermain dengan tiga akar
kejahatan yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Mari tinjau kasus lain, yaitu kebiasaan tidur
siang. Menurut dunia kedokteran, jumlah jam tidur yang baik adalah antara 7-8
jam per hari. Ini adalah waktu tidur malam hari, tetapi banyak juga yang
menambahkannya selama 1-2 jam dengan melakukan tidur siang. Kalau boleh jujur,
selama seseorang tidur, dia tidak melakukan hal yang bermanfaat apapun, karena
baik jasmani maupun pikirannya tidak bekerja sama sekali (kecuali tidur untuk
istirahat karena sakit). Dari sisi Dhamma, ini adalah manifestasi dari
kemalasan (thina-middha) dan kebodohan
(moha).
Mari renungkan apakah tidur selama 7-8 jam itu
tidak berlebihan. Biar lebih memudahkan perhitungan, akan digunakan 8 jam
tidur. Menurut ajaran agama Buddha, umur rata-rata manusia saat ini adalah 75
tahun (karena tiap seratus tahun setelah Sang Buddha wafat, umur manusia
berkurang satu tahun). Tetapi kenyataannya adalah bahkan lebih singkat lagi,
karena sekarang banyak yang berumur 60-an atau lebih muda telah meninggal
dunia. Jadi, dalam perhitungan ini akan digunakan usia 60 tahun sebagai usia
rata-rata. Delapan jam sama dengan satu-per-tiga dari 1 hari, mungkin hal ini
tidaklah begitu terasa signifikan. Tetapi, bila dikalikan dengan usia
rata-rata, maka anda akan mendapati bahwa 20 tahun hanya dihabiskan untuk
tidur. Apakah 20 tahun waktu yang singkat? Apa sekarang anda masih berpikir
bahwa anda telah menghabiskan waktu yang sangat berharga ini dengan baik?
Apakah sekarang anda masih berpikir untuk mempunyai tidur siang? Rasanya tidak
perlu penjelasan lebih jauh, anda sudah bisa menjawabnya.
Namun demikian, biar lebih berkesan, renungkanlah
hal ini juga. Bila rata-rata manusia berusia 60 tahun dan 20 tahun dihabiskan
untuk tidur, bagaimana dengan 40 tahun sisanya? Sebagai manusia, biasanya
seseorang sangat bergantung pada orang tuanya hingga umur 20an, bahkan banyak
yang lebih. Sejak dari usia balita sampai sekolah ke perguruan tinggi, seorang
anak selalu menggantungkan hidupnya pada orang tua. Bila mau jujur, selama itu,
lebih banyak menyusahkan orang tua daripada membantunya. Maka setidaknya selama
40 tahun anda mengisi waktu anda dengan sesuatu yang tidak banyak membawa
manfaat bagi diri anda maupun orang lain. Anda bisa renungkan 20 tahun sisanya?
Apakah pantas bila anda gunakan sisa 20 tahun tersebut hanya untuk tidur siang,
nonton sinetron, dan hal lain yang tidak banyak membawa manfaat? Jangan lupa bahwa saat orang menjadi tua, kondisinya akan semakin
melemah baik jasmani maupun mental; dan banyak yang tidak bisa bekerja lagi,
bahkan menjadi seperti anak kecil yang harus dirawat oleh orang lain.
Sehubungan dengan hal ini ada cerita menarik
dalam Dhammapada, syair 48, (IV (4) The Story of Patipujika
Kumari).
Patipujika
di kehidupan sebelumnya adalah seorang dewi, istri dari dewa Malabhari dari
alam dewa tingkat ke-2 (Tāvatiṃsa).
Suatu saat, beliau bersama 999 dewi lainnya pergi bersama dewa Malabhari ke
taman bunga untuk bersenang-senang. Beliau bersama 499 dewi naik ke pohon bunga
untuk memetik bunga dan 500 dewi lainnya berada di bawah pohon untuk
mengumpulkan bunga dan memakaikannya kepada sang dewa. Saat beliau sedang memetik
bunga, seketika itu juga beliau meninggal dan terlahir di sebuah keluarga di
kota Sāvatthi di jaman Buddha Gotama.
Berkat
kekuatan karma masa lampaunya, beliau mempunyai kekuatan untuk melihat kehidupan
sebelumnya (jatissara). Berkat
kekuatan inilah beliau dapat mengingat kehidupan sebelumnya sewaktu beliau
menjadi salah satu istri dari dewa Malabhari, dan berharap untuk terlahir
menjadi istri dewa tersebut kembali. Setelah beranjak dewasa, beliau menikah di
usia 16 tahun dan dengan berjalannya waktu beliau mendapatkan 4 orang anak.
Beliau menjadi umat yang rajin berdana, dan hampir setiap hari beliau berdana
makanan ataupun berdana tenaga seperti membersihkan vihara, mengisi
tempat-tempat air, menyiapkan/merapikan ruangan untuk para bhikkhu makan, dll.
Selain itu beliau juga rajin mendengarkan Dhamma. Semua hal ini dilakukannya
dengan tujuan agar beliau dapat terlahir kembali bersama dewa Malabhari. Karena
beliau sangat memuja suaminya (dewa Malabhari) maka dia dikenal sebagai
Patipujika (pati = suami).
Suatu
hari beliau jatuh sakit dan meninggal pada hari yang sama. Berkat jasa
kebajikannya, beliau terlahir kembali menjadi salah satu istri dari dewa
Malabhari. Perlu diketahui, bahwa satu hari di alam dewa Tāvatimsa sama dengan 100 tahun di alam manusia. Oleh karena itu,
sang dewa beserta istri yang lainnya saat Patipujika terlahir kembali di alam
dewa tersebut masih berada di taman bunga. Karena untuk beberapa saat sang dewa
tidak melihat Patipujika, maka beliau bertanya ke mana istrinya tersebut pergi.
Sang dewi pun menceritakan kisahnya ketika beliau terlahir menjadi manusia.
Setelah
sang dewa mendengar bahwa istrinya telah meninggal dan terlahir menjadi
manusia, menikah di usia 16 tahun, dan mempunyai 4 orang anak, karena sakit
beliau meninggal dan terlahir kembali menjadi istri sang dewa. Beliau terkejut
karena hidup manusia begitu singkat (karena mereka masih bermain di taman
bunga, belum ada 1 hari). Sang dewa pun bertanya lagi, “Bila manusia hidup begitu
singkat, apakah mereka masih menghabiskan waktu untuk TIDUR dan TIDAK SUKA
MENJAGA PERHATIANNYA? Apakah mereka suka berdana dan melakukan hal-hal yang
mulia?” Sang dewi pun menjawab, “Apa
yang kau katakan suamiku? Bukan hanya suka tidur dan tidak pernah menjaga
perhatiannya, tetapi mereka juga berpikir bagaikan umurnya tidak terbatas,
bagaikan tidak ada yang terkena umur tua dan kematian.” Sang dewa yang semakin terkejut mendengar
jawaban dari istrinya, kemudian berkata “JIKA DEMIKIAN, KAPAN MEREKA AKAN
TERBEBAS DARI PENDERITAAN?” Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa tidaklah
pantas bagi kita sebagai manusia yang umurnya relatif sangat singkat untuk
hidup bermalas-malasan.
Setelah
membaca dan mengetahuinya, marilah gunakan waktu yang ada semaksimal mungkin.
Seperti anda semua ketahui, bahwa sangatlah jarang kemunculan seorang Buddha di
dunia, sangatlah sulit menjadi manusia, sangatlah sulit untuk dapat bertahan
hidup, dan sangatlah sulit untuk bertemu ajaran Buddha. Saat ini anda semua
memiliki keempat-empatnya. Marilah gunakan kesempatan yang luar biasa ini untuk
berlatih Dhamma dengan sungguh-sungguh.
Semoga
renungan ini dapat memicu semangat anda dalam berlatih Dhamma. Semoga dengan
semangat yang tinggi, anda dapat berlatih Dhamma (khususnya meditasi vipassanā) dengan baik. Semoga dengan latihan yang baik, anda dapat
mengalami kemajuan pandangan terang dan secepatnya merealisasi Dhamma Mulia (Nibbāna) dalam kehidupan ini juga.
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
Salam mettā untuk semua,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar