Ada 4 macam manusia,
yaitu manusia yang berasal dari Gelap ke Gelap, dari Gelap ke Terang, dari Terang ke Gelap, dari Terang ke Terang. Tahukah anda yang dimaksud dengan 4 macam keadaan
di atas? Tahukah anda apa yang dimaksud dengan Gelap dan Terang? Jenis yang
manakah anda? Gelap, di sini dimaksudkan sebagai suatu keadaan kehidupan yang
kekurangan atau bisa juga diartikan sebagai 4 alam rendah. Sedangkan, Terang,
diartikan sebagai suatu keadaan dari kehidupan yang berkecukupan atau alam
bahagia (manusia, dewa, dan brahma). Sang Buddha menerangkan hal ini dalam Tamonata Sutta (AN 4. 85).
Setelah anda mengetahui
definisi dari kata Gelap dan Terang dari sutta ini, apakah anda tahu anda jenis
manusia nomor berapa? Bila jawaban anda adalah nomor 3 dan 4, maka anda
menjawab dengan tepat. Mengapa demikian? Karena artikel ini di muat di internet
dan anda dapat mengaksesnya, berarti anda pasti berada di keadaan yang baik (Terang).
Tetapi, jenis manusia nomor 3 adalah jenis yang tidak baik, karena walaupun
sekarang anda berada dalam keadaan baik, anda akan jatuh ke keadaan yang tidak
baik di kemudian hari. Sebagai manusia yang normal dan cerdas, kalau bisa, anda
pasti ingin menjadi manusia nomor 4, bukan? Namun demikian, bisakah anda
memastikan bahwa anda berada di posisi nomor 4? Apakah anda ingin tahu caranya? Bila YA, baca dan simaklah baik-baik penjelasan
di bawah ini.
Dari Gelap ke Gelap
Orang yang berada di
keadaan Gelap adalah orang yang berada atau terlahir di lingkungan yang
kekukrangan; sulit untuk mendapatkan makanan-minuman, pakaian, dan tempat
tinggal; fisiknya buruk atau bahkan cacat. Walaupun berada di keadaan yang
seperti ini, mereka tidak merenungkan keadaannya dan tidak berjuang untuk
bangkit guna memperbaiki keadaannya. Selain itu, mereka juga melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.
Oleh karena itu, ketika hidupnya berakhir (meninggal), mereka akan terlahir
kembali di 4 alam rendah yaitu: alam binatang (tiracchāna), setan (peta), jin/raksasa (asura),
dan alam neraka (niraya). Inilah yang dimaksud
dengan manusia jenis pertama, mereka yang dari keadaan yang tidak baik (Gelap)
menuju ke keadaan yang tidak baik (Gelap).
Pernahkah anda melihat manusia
yang termasuk jenis ini? Ya, manusia yang termasuk jenis ini banyak sekali dan
mudah ditemukan. Anda bisa melihatnya (khususnya) di kota-kota besar, ada yang
tinggal di kolong jembatan, di pinggiran toko/gedung, di bantaran sungai, di
area pembuangan sampah, dll. Sebenarnya sungguhlah menyedihkan melihat
kehidupan mereka, namun demikian karena kebodohan dan kemalasan, mereka tidak
berusaha berjuang/berontak untuk keluar dari keadaan tersebut. Yang lebih parah
lagi adalah, mereka juga sepertinya tidak begitu perduli dengan hal-hal yang
berhubungan dengan kedermawanan dan moralitas, apalagi yang berhubungan dengan pengembangan
mental (meditasi). Oleh karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kerap kali melakukan
perbuatan buruk melalui pikiran, ucapan, dan jasmani. Yang pada akhirnya akan
membawa mereka terlahir di 4 alam rendah.
Tahukah anda mengapa
mereka sangat sulit untuk bangkit dari keadaan yang buruk ini? Hal ini terutama
dikarenakan oleh kebodohan dan
lingkungan yang tidak ramah. Dengan demikian, sulit sekali bagi mereka untuk
mengembangkan hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang baik. Sang Buddha menjelaskan hal ini di Bālapaṇḍita Sutta (MN 129). Dikatakan bahwa di alam rendah tidak ada (sulit sekali
untuk mempunyai)[1] tindakan yang
berdasarkan Dhamma, prilaku yang baik, kesempatan melakukan perbuatan baik dan
berjasa. Di sana mereka saling memakan, yang lemah dimakan oleh yang kuat.
Hal ini terlihat jelas di alam binatang. Bila hal ini sering dilakukan, maka
dengan berjalannya waktu, hal ini akan menjadi kebiasaan dan sulit sekali
merubahnya. Di sutta ini juga Sang Buddha mengatakan bahwa sulit sekali bagi
seorang makhluk yang telah jatuh ke alam rendah untuk dapat kembali ke alam
manusia. Ini berarti bahwa rumah permanen (utama) para makhluk hidup adalah 4
alam rendah dan karenanya kebiasaan buruk menjadi mendarah daging, sulit untuk
dirubah. Hal ini bisa dibuktikan dengan tebalnya kadar keserakahan (lobha),
kebencian/kemarahan (dosa), dan kebodohan mental (moha) seorang
makhluk. Oleh karena itu, walaupun kesadaran yang tidak baik (akusala-citta)
hanya berjumlah 12, seseorang amat mudah dan sering melakukan hal-hal yang
tidak baik, tetapi sangat sulit sekali untuk melakukan hal-hal yang baik (kusala).
Penderitaan
hidup yang berat bukan hanya dialaminya setelah meninggal dan terlahir di alam
rendah, tetapi selagi menjadi manusia pun mereka dapat mengalami penderitaan
yang lebih berat. Seperti telah dibahas di atas, sebagian besar dari manusia
yang terlahir di keadaan yang kekurangan ini sering sekali melakukan hal-hal
yang buruk. Yang lebih kuat, menekan dan melecehkan yang lebih lemah. Selain itu,
mereka biasanya tidak mempunyai pendidikan yang cukup, sehingga tidak mempunyai
keahlian yang dapat mempermudah mereka dalam mencari nafkah. Namun demikian, seperti
anda ketahui, semua orang ingin hidup enak (berusaha memuaskan keinginannya/ keserakahannya).
Tetapi karena kemalasan dan ingin mendapatkan yang diinginkannya secara mudah
dan cepat, maka tidak sedikit dari mereka yang nekad menjadi seorang pencuri,
penipu, penjambret, dll. Semua ini adalah tindakan yang tidak baik dan akan
mengkondisikan buah/hasil dari perbuatan buruk yang dilakukan sebelumnya, baik
di kehidupan yang lalu ataupun saat ini menjadi terealisasi. Contoh, ketika seorang
pencuri yang sedang atau setelah melakukan aksi pencuriannya tertangkap, maka
tidak diragukan lagi, kemungkinan besar dia akan diumpat, diludahi, atau bahkan
dipukuli. Dibeberapa kasus, ada pencuri yang dipukuli sampai meninggal ditempat
kejadian. Seandainya tidak sampai meninggal, bukan berarti penderitaannya berhenti
hanya sampai di sini. Ketika pencuri tersebut diserahkan kepada pihak yang
berwajib, maka biasanya dia akan disiksa kembali. Begitu juga ketika dia telah dijebloskan ke penjara,
di sana dia akan menerima siksaan atau perlakukan yang tidak baik dari sesama
rekan narapidana. Dengan merenungkan hal ini, sudah sepatutnyalah seseorang
untuk terus berusaha agar tidak jatuh atau terlahir di dalam keadaan yang tidak
baik (Gelap).
Dari Gelap ke Terang
Anda telah mengetahui
dari penjelasan manusia jenis pertama (Gelap ke Gelap) bahwa sulit sekali untuk
menuju ke keadaan yang baik. Namun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang
mustahil. Hanya melalui usaha dan perjuangan yang luar biasalah mereka bisa
bangkit dari keadaan yang buruk ke keadaan yang baik. Mereka yang, walaupun terlahir dalam keadaan
yang buruk (Gelap), mengembangkan dan melakukan perbuatan baik melalui pikiran, ucapan, dan
jasmani, setelah kematiannya akan terlahir di alam bahagia (Terang). Inilah
yang dimaksud dengan manusia yang berjalan dari keadaan Gelap menuju ke Terang.
Bagaimana mereka dapat
melakukan hal ini? Mereka harus merenungkan keadaan hidupnya dengan
sungguh-sungguh dan berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari keadaan buruk
tersebut. Anda semua mengetahui hukum karma yang mengatakan bahwa perbuatan
baik memberikan hasil yang baik dan perbuatan buruk memberikan hasil yang
buruk. Dengan merenungkan hukum karma ini, mereka akan menyadari bahwa keadaan
hidupnya yang tidak baik adalah hasil dari perbuatannya sendiri, sehingga mereka
tidak mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain sebagai penyebab keadaan
tersebut. Dengan menyadari bahwa ini hanyalah proses hukum karma, maka mereka akan
mempunyai kekuatan untuk bangkit dari keterpurukkannya, karena hidupnya berada
di tangannya. Tetapi bila mereka menganggap hal ini sebagai TAKDIR, maka mereka
akan pasrah dan tidak akan dapat bangkit. Dengan pengertian yang benar ini,
maka mereka yang berada di keadaan yang buruk (Gelap) akan mempunyai semangat
untuk mengembangkan dan berusaha
memperbanyak perbuatan baik seperti dana, sila, dan meditasi.
Bila hal ini dapat dilakukannya maka hasil dari perbuatan baiknya akan
membawanya terlahir di alam yang baik (Terang).
Sebagian besar rakyat
Myanmar sangatlah tepat untuk dijadikan contoh sebagai manusia jenis kedua ini.
Berdasarkan pengalaman penulis selama tinggal di Myanmar, banyak sekali
penduduk Myanmar yang termasuk dalam golongan yang kekurangan, bahkan
memprihatinkan (Gelap). Namun demikian, sebagian besar dari mereka adalah
pemeluk Agama Buddha yang soleh dan mengetahui dengan baik tentang hukum karma.
Sehingga, walaupun mereka hidup dalam keadaan yang sangat terbatas
(kekurangan), mereka sebisa mungkin melaksanakan perbuatan baik (dana, sila,
dan meditasi). Bila ada bhikkhu yang berkeliling untuk mengumpulkan dana makan (piṇḍapāta), mereka akan berusaha untuk berdana walaupun itu hanya setengah sendok
makan nasi putih. Bila mereka tidak mempunyai materi apapun untuk didanakan,
mereka biasanya berdana tenaga dengan datang ke vihara untuk membantu
membersihkan lingkungan vihara atau melakukan pekerjaan apapun yang bisa mereka
lakukan. Selain itu mereka juga berusaha semaksimal mungkin dalam melaksanakan lima
sila dan mengambil delapan sila pada hari-hari uposatha, bahkan beberapa dari
mereka datang untuk berlatih meditasi.
Sebenarnya, bukan hanya
dapat membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik setelah kehidupan ini,
tetapi juga dapat membawanya kepada kehidupan yang baik di dalam kehidupan ini
juga. Cerita tentang calon Bhante Anuruddha dan Tambadāthika sangatlah tepat dalam kasus ini. Saat ini, kasus manusia
jenis kedua bisa anda lihat di kompas-online bagian “inspirasi.” Di sana anda
bisa membaca beberapa kisah sukses dan bagaimana usaha yang mereka lakukan
untuk keluar dari kehidupan yang kekurangan.
Cerita tentang Tambadāthika, Sang Algojo[2]
Tambadāthika adalah seorang yang terlahir di lingkungan yang
kekurangan dan tubuhnya penuh dengan bekas luka. Suatu saat ia bergabung dengan
gerombolan penyamun. Saat tertangkap, mereka divonis hukuman mati (penggal
kepala), tapi tidak ada orang yang bisa melaksanakan hukuman ini. Akhirnya,
mulai dari kepala penyamun sampai semua anggota penyamun yang ditangkap
ditawari untuk menjadi eksekutor bagi kawan-kawan mereka sendiri, tapi tidak
ada yang sanggup melaksanakan hukuman tersebut kecuali Tambadāthika. Ia menyanggupinya dan akhirnya ia pun menjadi
algoja kerajaan selama 55 tahun. Di hari ia pensiun, Bhante Sāriputta yang baru saja selesai meditasi, atas dorongan
rasa welas-asih, beliau ber-piṇḍapāta ke rumahnya. Tambadāthika menyadari bahwa dirinya telah banyak sekali melakukan perbuatan buruk
dan ini adalah kesempatan yang baik untuk berbuat baik (dana makanan).
Setelah selesai makan,
Bhante Sāriputta memberikan ceramah Dhamma sebagai ungkapan terima kasih, tapi Tambadāthika tidak bisa menangkap ceramah tersebut karena
dihantui rasa bersalah. Berkat kebijaksanaan Bhante Sāriputta, Tambadāthika bisa menjadi tenang dan dapat mengikuti serta merenungkan
(ber-vipassanā) dengan baik ceramah Dhamma yang dibabarkan kepadanya. Setelah ceramah
selesai, ia berhasil mencapai tingkat kebijaksanaan pandangan terang yang
hampir mendekati tingkat kesucian Sotāpanna. Ia menemani Bhante Sāriputta yang pergi pulang sampai jarak tertentu dan saat kembali ke rumah
ia diterjang seekor sapi yang dirasuki oleh jin hingga meninggal. Sebelum
bertemu dengan Bhante Sāriputta, hampir bisa dipastikan ia adalah orang jenis kesatu (dari Gelap ke
Gelap). Berkat kekuatan karma baik dari meditasi vipassanā ia terlahir
di alam dewa Tusita. Dalam kisah Tambadāthika, terlihat jelas bahwa kekuatan hasil dari meditasi
vipassanā sangatlah luar biasa. Maka seyogyanyalah semua orang harus penuh semangat dan giat
berlatih meditasi vipassanā selagi memiliki kesempatan yang mulia ini.
Cerita tentang Calon Bhante Anuruddha[3]
Di salah satu kehidupan
sebelumnya, Bhante Anuruddha adalah seorang tukang rumput, bernama Annabhāra. Suatu hari Paccekabuddha Uparittha yang baru saja keluar dari nirōdha samāpatti di gunung
Gandhamādana
terbang dan turun tidak jauh dari hadapan Annabhāra untuk berkeliling mengumpulkan dana makan. Mengetahui
bahwa Paccekabuddha Uparittha belum mendapatkan makanan, dia memintanya
untuk menunggu sebentar. Annabhāra lari
pulang ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya bila makanan untuknya telah
siap.
Setelah memberikan dana makannya, Annabhāra kemudian mengucapkan harapannya,
“Bhante, sebagai akibat dari dana makan ini,
semoga saya tidak pernah terlahir di keluarga miskin lagi di kehidupan
berikutnya. Semoga saya tidak pernah mendengar dan mengetahui kata “tidak ada.”
Mendengar pengharapan Annabhāra, dewa yang tinggal di rumah
saudagar Sumana tempat Annabhāra bekerja
dengan senang hati mengucapkan Sadhu! Sadhu! Sadhu!
Saudagar Sumana berpikir bahwa hal ini sangatlah aneh dan spesial,
karena dewa tersebut tidak pernah melakukan hal itu walaupun Sumana selalu
berdana secara terus-menerus. Kemudian Sumana memanggil Annabhāra dengan tujuan membeli kebajikan
dari berdananya (dāna kusala). Saat Annabhāra tiba di rumahnya, Sumana
bertanya perbuatan baik apa yang telah dilakukannya. “Saya berdana makan pada
Bhante Uparittha,” jawab Annabhāra. Sumana menawarkan satu keping uang untuk mendapatkan dāna kusala
tersebut. Annabhāra tetap menolaknya
walaupun dia akan diberi seribu keping uang. Karena tidak mendapatkannya, maka
saudagar Sumana minta Annabhāra untuk berbagi jasa kebajikan dengannya
dan dia akan berikan seribu keping uang. Annabhāra minta izin untuk bertanya ke Bhante Uparittha terlebih
dahulu, bila diperbolehkan, maka dia akan melakukannya.
Paccekabuddha Uparittha
memberitahunya bahwa jasa kebajikan memang seharusnya dibagikan dan hal itu
tidak akan mengurangi jumlahnya, malah akan menambahnya. Sumana yang merasa senang karena dapat
turut menikmati jasa kebajikan tersebut, memberi seribu keping uang dan
berbagai keperluan yang lainnya kepada Annabhāra. Dia juga mengatakan bahwa
Annabhāra tidak perlu kerja lagi.
Berkat kekuatan dari hasil dana tersebut, mereka dapat kesempatan bertemu raja.
Saat pertemuan berlangsung, raja selalu menatap Annabhāra. Saat Sumana menanyakan alasannya, raja menjawab karena
dia belum pernah melihat Annabhāra sebelumnya.
Sumana
memberitahu raja bahwa memang demikianlah seharusnya, karena dia telah menerima
seribu keping uang darinya atas membagikan jasa kebajikan dari dana makannya
ke Paccekabuddha Uparittha. Mendengar hal itu, raja pun memberikan
seribu keping uang dan memerintahkan menterinya untuk membuatkan rumah untuk
Annabhāra.
Ketika mereka mulai menggali tanah untuk pembangunan rumah Annabhāra, mereka menemukan berpot-pot emas. Ketika raja
memintanya untuk membawa pot-pot emas tersebut ke istana, pot-pot tersebut
menjadi terbenam semakin dalam. Hanya ketika raja mengatakan untuk menggalinya
buat Annabhāra, barulah pot-pot emas dapat
dengan mudah diangkat. Raja memberi Annabhāra gelar sebagai orang sangat kaya karena tidak ada satu
orang pun yang mempunyai emas sebanyak Annabhāra. (An- ttha- 11148).
Dari Terang ke Gelap
Orang yang berada di
keadaan Terang adalah orang yang terlahir di keluarga yang baik, yang
berkecukupan, kelas/kalangan atas. Mereka hidup berkecukupan atau bahkan
berlebihan dan juga mempunyai banyak harta benda. Semua yang dibutuhkannya
mulai dari kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan,
sampai dengan kebutuhan sekunder seperti kendaraan, hiburan, dan aksesoris
lainnya; semuanya dapat diperoleh dengan mudah. Mereka mempunyai penampilan
fisik yang baik, kulit yang bagus, tampan, badan yang tegap dan gagah atau
proporsional. Tetapi, mereka sering melakukan perbuatan buruk
melalui pikiran, ucapan, dan jasmani. Akibat dari perbuatan buruk yang
dilakukannya inilah, saat meninggal dunia, mereka terlahir di 4 alam rendah.
Inilah yang dimaksud dengan orang yang berjalan dari keadaan yang Terang menuju
ke Gelap.
Saat ini, orang jenis
ketiga ini banyak dan mudah sekali ditemui. Dengan kehidupan saat ini yang
semakin mengarah pada pemuasan akan kebutuhan materi, segala macam cara
dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, sekalipun cara tersebut adalah cara yang
salah (termasuk perbuatan buruk). Oleh karena itu, saat ini praktek-praktek
yang tidak baik dan merugikan banyak orang, seperti penipuan, penggelapan,
pencurian, korupsi, dll., terjadi hampir disemua sektor, dari industri sampai
kelingkungan pemerintahan. Tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang
sudah sangat mapan dalam segi ekonomi dan mempunyai kecerdasan yang baik.
Sayangnya mereka tidak menyadari bahwa keserakahan tidak bisa dipuaskan. Oleh
karena itu, walaupun mereka telah hidup dalam keadaan yang baik dan
berkecukupan (bahkan berlimpah), mereka masih belum puas dan akibatnya membuat
mereka terus berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Akibat terselubungi oleh
kabut kebodohan dan keserakahan mereka terjebak dalam tindakan-tindakan yang
tidak baik dalam perjuangannya mencari sesuatu yang mereka dambakan. Bukannya
mendapatkan apa yang mereka cari, melainkan penderitaanlah yang mereka terima.
Contoh yang sekarang banyak terjadi adalah praktek korupsi. Selagi tindakan korupsinya tidak diketahui
oleh pihak berwajib, maka untuk sementara mereka dapat menikmati hasil
korupsinya. Tetapi saat pihak berwajib berhasil melacak dan menangkapnya, maka
hidupnya menjadi sangat menderita. Hal ini sesuai dengan syair Dhammapada No. 69,
“Selama perbuatan buruk belum berbuah, si
bodoh berpikir hal itu manis bagaikan madu; tetapi ketika perbuatan buruknya berbuah,
ia akan menderita karenanya.”
Ada (tidak sedikit) juga
yang karena kebodohan dan kemalasannya, mereka hanya menghabiskan waktunya
untuk bersenang-senang tanpa berusaha untuk menjaga ataupun meningkatkan
kekayaannya. Walaupun mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pendidikan yang
baik, mereka tidak berusaha untuk meraihnya. Bukannya pergi ke sekolah, mereka
malah bolos dan menghabiskan waktu hanya sekedar untuk berbicara tanpa arah dan
manfaat (ngobrol ngalor-ngidul). Kadang-kadang bukan hanya sebatas hal
tersebut, tapi mereka juga melakukannya sambil mabuk-mabukan. Mereka juga malas
membantu orang tua dan malas belajar mencari nafkah sendiri. Mereka hanya bisa
menghambiskan uang yang diberikan oleh orang tuannya. Cerita tentang salah satu
keponakan laki-laki saudagar Anāthapiṇḍika dan putra Tuan Mahādhana[4] sangatlah cocok untuk
mewakili jenis manusia ketiga ini.
Cerita tentang Keponakan Laki-Laki Saudagar
Anāthapiṇḍika[5]
Kisah ini diceritakan
oleh Sang Buddha kepada Anāthapiṇḍika di vihara Jetavana sehubungan dengan kisah keponakan
laki-lakinya. Suatu ketika Anāthapiṇḍika datang kepada Sang Buddha dan menceritakan tentang keponakan laki-lakinya
yang sangat malas dan hanya menghabiskan waktunya untuk berfoya-foya. Dia
menghabiskan warisannya sebanyak empat-puluh crores (1 crore = 10 juta) keping uang
emas dengan selalu berhura-hura. Setelah uangnnya habis, dia datang ke pamannya
(Anāthapiṇḍika) untuk meminta uang. Dia mendapatkan seribu keping uang
emas dan diberitahu untuk menggunakan uang tersebut untuk berusaha/berdagang,
tetapi dihabiskannya untuk berfoya-foya. Kemudian dia pun datang lagi dan
mendapatkan lima-ratus keping, tetapi sama seperti sebelumnya dia habiskan
untuk berfoya-foya. Ketika ia datang untuk ketiga kalinya, Anāthapiṇḍika
memberikan 2 helai kain yang kasar, ketika kain tersebut menjadi usang, dia
datang kembali ke pamannya. Tetapi kali ini pamannya mengusirnya. Setelah
keluar dari pintu rumah, dalam keadaan yang tidak berdaya, dia terjatuh dekat
tembok samping rumah pamannya dan meninggal di sana. Para pegawai pamannya kemudian menyeret
mayatnya dan membuangnya ke luar. Kemudian Anāthapiṇḍika
pergi menemui Sang Buddha dan menceritakan apa yang terjadi dengan
keponakannya. Setelah mendengar hal ini,
Sang Buddha berkata, “Bagaimana kamu dapat berharap untuk bisa memuaskan dia
yang di masa lalu Saya pun gagal untuk dapat memuaskannya, bahkan ketika Saya
berikan cangkir permohonan?” Atas permintaan Anāthapiṇḍika,
Sang Buddha pun menceritakan kisah masa lalu keponakannya ini.
Suatu ketika, saat Raja
Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta (calon
Buddha) terlahir sebagai putra seorang saudagar kaya, dan setelah ayahnya
meninggal, ia menggantikan posisi ayahnya. Ia menyimpan harta senilai
empat-ratus juta satuan uang (anggap saja Rupiah) dan hanya mempunyai satu anak
laki-laki. Sang Bodhisatta selalu berdana dan melakukan perbuatan baik
selama hidupnya. Oleh karena itu, setelah meninggal, ia terlahir sebagai Sakka,
Raja para dewa. Kemudian, anaknya yang menggantikan posisi Bodhisatta, membuat sebuah paviliyun dan duduk-duduk di
sana bersama teman-temannya sambil minum-minum. Ia memberikan seribu rupiah
kepada setiap pemain sirkus, penyanyi, dan penari; dan menghabiskan waktunya
dengan minum-minum, pesta-pora, dan perbuatan-perbuatan tidak baik seperti
perbuatan asusila dan lainnya. Selain itu ia berkeliling hanya untuk mencari
hiburan seperti lagu, musik, dan tarian jenis baru, dan tenggelam dalam
kemalasan. Sehingga dalam waktu singkat, ia menghabiskan hartanya senilai
empat-ratus juta rupiah, rumah, tanah, dan perabotan rumahnya. Hingga suatu
hari, ia menjadi orang yang sangat miskin dan menderita, yang hanya mengenakan
jubah dari kain yang kasar/buruk.
Suatu ketika, saat dewa Sakka bermeditasi, ia menyadari
betapa miskin dan menderitanya pria tersebut. Diliputi rasa cinta terhadap anak
laki-lakinya tersebut (ketika menjadi manusia), sang dewa memberikannya sebuah
cangkir permohonan dan berpesan, “Anakku, rawatlah jangan sampai pecah cangkir
ini. Selama kamu menjaganya, kekayaanmu tidak akan habis. Jadi rawatlah
baik-baik!” Kemudian Sang dewa pun kembali ke alam dewa. Setelah mendapatkan
cangkir permohonan tersebut, dia tidak mengerjakan apapun kecuali menggunakan cangkir
tersebut untuk minum. Suatu hari dia memainkan cangkir tersebut dalam keadaan
mabuk dengan cara melemparkannya ke atas dan menangkapnya saat cangkir tersebut
jatuh ke bawah. Namun, karena dalam keadaan mabuk, suatu ketika dia tidak dapat
menangkapnya dengan baik dan cangkir itu pun jatuh ke tanah dan pecah.
Akibatnya, dia pun jatuh miskin kembali. Dengan membawa mangkuk dan mengenakan
jubah dari kain yang buruk, ia menjadi pengemis sampai meninggal. Dia akhir
cerita Sang Buddha memberitahu Anāthapiṇḍika bahwa laki-laki
malang tersebut adalah keponakan laki-lakinya dan dewa Sakka adalah Beliau.
Dalam cerita ini
terlihat jelas bahwa seorang pemuda yang terlahir dalam keadaan yang Terang,
karena kebodohan dan kemalasannya, dia gagal untuk melakukan perbuatan baik
(dana, sila, dan meditasi) dan akhirnya jatuh ke keadaan yang Gelap. Hal itu
bahkan terjadi dalam kehidupannnya selagi masih menjadi manusia.
Dari Terang ke Terang
Definisi orang jenis
keempat ini hampir sama dengan nomor 3. Perbedaannya adalah mereka
sering melakukan perbuatan baik melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.
Akibat dari perbuatan baik yang dilakukannya inilah, saat meninggal dunia,
mereka terlahir di alam bahagia. Inilah yang dimaksud dengan orang yang
berjalan dari keadaan yang Terang menuju ke Terang. Namun demikian, bila anda
tidak dapat menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani anda selalu dalam
keadaan baik, maka masih ada kemungkinan anda akan terjatuh ke keadaan yang
Gelap.
Mungkin sekarang anda akan
bertanya-tanya, siapakah yang dapat dengan pasti menjalankan kehidupannya dari
Terang ke Terang? Bila jawaban anda adalah bhikkhu yang bisa menjaga 227 sila
dengan baik, maka jawaban anda SALAH. Mengapa? Sebab sila hanya dapat mencegah
perbuatan buruk yang berasal dari ucapan dan tindakan jasmani. Sila tidak dapat
mencegah pikiran buruk, pikiran yang bersekutu dengan keserakahan (lobha), kebencian/kemarahan (dosa) dan kebodohan mental (moha). Kisah Bhante Tissa dapat menjadi
buktinya. Bagaimana dengan pemilik konsentrasi penuh (jhāna)? Bila ia dapat mempertahankan jhāna-nya sampai ia meninggal, maka ia pasti lahir di alam
brahma (keadaan Terang). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ia dapat mempertahankannya?
Jangankan hanya kekuatan jhāna, kekuatan abhiññā (pengetahuan super normal) saja dapat hilang. Contohnya
adalah Devadatta, ia bahkan sekarang harus menjalani hidupnya di neraka. Jadi
kepemilikan jhāna juga tidak dapat menjamin seseorang akan
terlahir di alam bahagia, karena jhāna tidak dapat membasmi kekotoran mental (kilesa).
Cerita tentang Bhante Tissa[6]
Bhante Tissa tinggal di
kota Sāvatthi, dan pada suatu hari ia mendapatkan jubah yang
bagus dan merasa sangat puas. Ia berencana memakai jubah tersebut keesokan
harinya, tapi sayangnya ia meninggal malam itu juga. Karena kemelekatannya
terhadap jubah tersebut, beliau terlahir menjadi seekor kutu dan tinggal dalam
lipatan jubah tersebut. Karena ia tidak mewariskan jubahnya tersebut kepada
siapapun, maka jubah tersebut akan dipotong-potong dan potongan jubah tersebut
akan dibagikan kepada para bhikkhu yang tinggal di vihara tersebut. Ketika para
bhikkhu akan melakukannya, kutu tersebut menjadi gelisah dan berteriak-teriak,
“Mereka akan menghancurkan jubahku.”
Untungnya teriakannya terdengar oleh Sang Buddha, maka Beliau meminta
seseorang untuk memberitahukan para bhikkhu untuk tidak melakukan hal tersebut
sebelum hari kedelapan. Para bhikkhu mengikuti pentunjuk yang diberikan oleh
Sang Buddha dan melakukan pembagian jubah tersebut pada hari kedelapan.
Setelah mereka melakukan
pembagian jubah tersebut, mereka bertanya kepada Sang Buddha tentang alasan
Beliau meminta para bhikkhu untuk menundanya selama tujuh hari. Sang Buddha
memberitahu para bhikkhu bahwa Bhante Tissa melekat pada jubah tersebut ketika
ia akan meninggal dan sebagai akibatnya, dia terlahir sebagai kutu dan tinggal dalam
lipatan jubah tersebut. Ketika kalian akan melakukan pembagian jubah tersebut,
dia merasa sangat menderita dan berlari ke sana-ke mari dalam lipatan jubah
tersebut. Jika kalian melakukan pembagiannya pada saat itu, dia akan merasa
sangat kesal kepada kalian dan akibatnya dia akan terjatuh ke alam neraka. Sekarang
dia telah terlahir di alam dewa Tusita,
oleh karena itu, Saya mengijinkan kalian mengambil jubahnya. Sesungguhnyalah
bhikkhu, kemelekatan amatlah berbahaya, bagaikan karat yang merusak besi tempat
dia berasal; kemelekatan akan menghancurkan seseorang dan membawanya ke neraka.
Dari kisah di atas,
terlihat bahwa walaupun Bhante Tissa dapat menjaga sila kebhikkhuannya dengan
baik (karena akhirnya beliau terlahir di alam dewa Tusita). Namun demikian, silanya tidak dapat membantunya untuk
mencegah timbulnya keserakahan di pikirannya. Akibatnya ia harus menderita
dengan terlahir menjadi seekor kutu di jubahnya selama 7 hari.
Bila demikian, siapakah yang dapat
dengan pasti menjalankan kehidupannya dari Terang ke Terang? Jawabannya adalah
seorang yang selalu melakukan perbuatan baik atau tidak pernah melakukan
perbuatan buruk sama sekali. Siapakah mereka? Mereka adalah para Arahat, orang yang telah terbebas dari
keserakahan, kebencian/kemarahan, dan kebodohan mental. Apakah ada orang yang
walaupun masih mempunyai kekotoran mental (kilesa)
tapi pasti akan menuju ke keadaan Terang?
Ya, mereka adalah tiga orang suci yang lainnya, yaitu Sotāpanna, Sakadāgāmi,
dan Anāgāmi. Mengapa bisa demikian? Karena, walaupun mereka masih mempunyai kekotoran
mental, tetapi kekotoran mentalnya tidak cukup kasar sehingga tidak dapat
membuat mereka terjatuh ke alam rendah. Mari lihat dari tingkat kesucian yang
terendah saja, Sotāpanna. Seorang Sotāpanna sudah terbebas dari pandangan salah, terbebas dari
keserakahan yang berhubungan dengan pandangan salah, dan dia dapat menjaga lima
sila dasar (Pañcasīla) dengan murni. Oleh
karena itu, mereka yang telah mencapai kesucian, walaupun itu hanyalah tingkat
terendah, mereka pasti akan menuju ke alam yang baik, keadaan yang Terang
(kecuali Arahat, keadaan Terang bukan
berarti alam yang baik, tapi Nibbāna).
Mereka yang belum mencapai
kesucian belumlah pasti hidupnya, mungkin sekarang menuju ke Terang, tetapi di
kehidupan berikutnya menuju ke Gelap, atau sebaliknya. Mereka penuh dengan
ketidakpastian, bagaikan kertas yang dilepaskan dari sebuah gedung yang tinggi.
Kertas tersebut akan terbawa angin ke sana-ke mari sesuai dengan arah angin
yang berhembus saat itu. Mungkin bisa jatuh ke sungai, ke jalan raya, ke
selokan, ke atap rumah, tersangkut di pohon, dll. Begitulah mereka yang belum
mencapai kesucian, mereka terus berkelana di 26 alam kehidupan (31 alam – 5
alam khusus untuk Anāgāmi). Mereka yang telah mencapai kesucian, jalan hidupnya penuh kepastian,
mereka selalu berpindah ke alam atau kehidupan yang lebih baik dari kehidupan
sebelumnya. Seorang Sotāpanna telah mengikis sebagian besar penderitaannya. Mengenai hal ini, Sang
Buddha memberikan perumpamaan tentang penderitaan yang telah dikikis oleh
seorang Sotāpanna bagaikan jumlah debu yang berada di bumi ini, sedangkan jumlah debu yang
barada di ujung kuku-Nya bagaikan jumlah penderitaan yang tersisa[7] dan akan dikikis habis
seluruhnya dalam waktu tidak lebih dari tujuh kehidupan.
Bila anda ingin
benar-benar menjadi manusia jenis keempat ini, maka syarat minimum adalah anda
harus mencapai tingkat kesucian pertama, Sotāpanna. Kesucian hanya dapat dicapai dengan membasmi kilesa dan kilesa hanya dapat dibasmi oleh kebijaksanaan pandangan terang
adiduniawi (lokuttara ñāṇa). Sedangkan kebijaksanaan tersebut hanya dapat
dicapai melalui latihan meditasi
vipassanā, jadi tidak cukup hanya dengan menjalankan dana, sila, dan
konsentrasi (samādhi). Oleh karena
itu, ketika anda mempunyai kesempatan yang luar biasa ini (berlatih meditasi
vipassanā), maka anda harus mengambilnya. Bila tidak, anda akan mengalami
penyesalan yang sungguh mendalam. Ingat, waktu terus berjalan dan tidak bisa
diputar balik. Untuk dapat memicu semangat anda untuk berlatih, ada baiknya
anda merenungkan penderitaan alam neraka[8] atau tiga alam rendah
lainnya.
Anda mencintai diri anda
bukan? Anda tidak mau jatuh keempat alam rendah bukan? Seorang yang bijaksana
tidak akan membiarkan dirinya menderita, apalagi sampai jatuh keempat alam
rendah. Seorang yang bijaksana akan berjuang untuk memastikan dirinya menuju
kehidupan yang lebih baik dan lebih baik lagi, hingga akhirnya mencapai
kedamaian sejati, Nibbāna. Anda telah diberitahu caranya, yaitu dengan berlatih
meditasi vipassanā hingga mencapai setidaknya tingkat kesucian yang pertama.
Anda juga mempunyai kesempatan ini, jadi, Keputusan
Ada di Tangan Anda. GUNAKANLAH kesempatan emas ini dan jadilah seorang
PEMENANG.
Semoga anda semua, setelah membaca
artikel ini, timbul hasrat/semangat untuk segera terbebas dari semua bentuk
kehidupan (samvega), karena semua
bentuk kehidupan adalah penderitaan. Dengan semangat ini, semoga anda dapat
berlatih meditasi vipassanā dengan rajin dan gigih hingga menjadi manusia jenis keempat yang pasti
dan akhirnya mencapai kedamaian sejati (Nibbāna) yang semua makhluk
cita-citakan. Sādhu! sādhu! sādhu!
Salam
mettā untuk semua,
U Sikkhānanda
Pusat Meditasi Satipaṭṭhāna Indonesia
Bacom, Puncak, Jawa Barat
26 Juni, 2011
Pusat Meditasi Satipaṭṭhāna Indonesia
Bacom, Puncak, Jawa Barat
26 Juni, 2011
Semoga
semua makhluk dapat berbagi dan menikmati jasa kebajikan
sebesar
jasa kebajikan yang diperoleh dari penulisan artikel Dhamma ini.
Semoga
semua makhluk hidup bahagia, damai, dan bebas dari penderitaan,
serta
secepatnya mencapai Nibbāna.
Sadhu! Sadhu! Sadhu!
[1] Kata dalam kurung adalah penafsiran penulis, karena binatang bisa melakukan
kebaikan seperti merawat anaknya, walaupun hal ini bukan karena mereka mengerti
Dhamma, tapi hanya karena naluri.
[3] Sayadaw Kuṇḍalābhivamsa, This Noble Life,
(Aung Chan Tha Press, Yangon, Myanmar, 2000), Hal. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar