MERENUNGKAN/MEMBAYANGKAN
PENDERITAAN NERAKA
Seseorang harus benar-benar
mempertimbangkan dan merenungkan penderitaan yang akan dijalaninya di neraka.
Sewaktu Sang Buddha masih hidup, Beliau pernah memberikan ceramah tentang
penderitaan di neraka yang terasa nyata dan membuat para pendengarnya sangat
takut. Akibatnya, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh dan mereka merealisasi
Dhamma Mulia.
Suatu hari, Sang Buddha berdiam di hutan Jeta di Sāvatthi.
Saat itu, ada seorang bhikkhu yang
menyadari betapa bahayanya berada dalam lingkaran kehidupan (saṁsāra). Setelah meminta petunjuk tentang berlatih meditasi dari Sang Buddha, ia
pergi ke hutan yang sunyi untuk berlatih. Walaupun telah berjuang dengan
sungguh-sungguh selama 3 bulan, ia bahkan tidak memperoleh tingkatan konsentrasi
yang baik. Oleh sebab itu, ia tidak merealisasi Dhamma Mulia. Frustrasi dan stress, dia kembali ke tempat Sang Buddha. Dia
berkesimpulan bahwa dia bukanlah orang yg dapat merealisasi Dhamma Mulia di kehidupan ini juga. Kemudian dia
hanya menghabiskan waktunya dekat Sang Buddha, mengagumi dan memuliakan
penampilan fisik serta suara Beliau. Hidup santai dan tidak berlatih sama
sekali.
Melihat hal ini, teman-teman bhikkhu-nya bertanya, “Kamu tidak berlatih dan hidup santai seperti
ini, apa karena telah merealisasi Dhamma Mulia?” Belum, walaupun saya telah
berlatih selama 3 bulan dengan sungguh-sungguh, makanya saya hidup santai
seperti ini. Mereka kemudian berkata, “Kamu tidak bisa hidup seperti ini,
selama kita berada dalam Buddha sāsanā,
jika berlatih dengan sungguh-sungguh, pasti dapat merealisasi Dhamma Mulia.”
Kemudian, mereka mengajaknya menghadap Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha bertanya, dia berkata, “Benar,
Yang Mulia, saya telah berlatih selama tiga bulan dengan sungguh-sungguh tetapi
saya bahkan tidak dapat mencapai konsentrasi yang baik, jadi saya tidak dapat
merealisasi Dhamma Mulia. Saya tidak berlatih lagi sejak saat
itu karena merasa frustrasi dan stress. Kemudian, Sang Buddha berkata padanya, “Oh bhikkhu!,
jika kamu tidak berlatih saat ajaran-Ku masih ada, kamu akan terjatuh dan
menjalani penderitaan di neraka pada salah satu kehidupanmu yang akan datang.”
Kamu akan sangat menderita, kemudian
kamu akan sangat menyesal, khawatir, dan sedih seperti pedagang keliling yang
bernama “Seriva.” Ketika para bhikkhu
mendengar nama Seriva, mereka ingin mengetahui tentangnya dan meminta Sang
Buddha untuk menceritakannya. Sang Buddha kemudian menceritakan secara lengkap
tentang Seriva, si pedagang keliling.
Suatu hari, kira-kira lebih dari 5 masa dunia
(maha kappa) yang lalu, calon Buddha Gotama (bodhisatta) terlahir di suatu
keluarga pedagang keliling. Saat melakukan perjalanan untuk menjual
barang dagangannya, bodhisatta bertemu dengan pedagang keliling lainnya bernama
Seriva, seorang yang sangat serakah. Mereka berjalan bersama sampai di kota yang Aritha. Sebelum
mereka memasuki kota ,
mereka menetapkan kesepakatan dalam berkeliling dan setuju untuk tidak melalui
jalan yang sama sampai yang satunya selesai. Kemudian, mereka masuk ke dalam kota dan menjajakan barang dagangannya.
Saat itu, pedagang keliling seperti mereka membawa
barang-barang kecil berupa barang perhiasan seperti manik-manik, rantai,
gelang, jepitan rambut, dll., di sebuah tas besar yang mereka letakkan di
punggung mereka. Mereka menukar barang-barang tersebut dengan jambangan,
panci, tembikar, dll., atau menjualnya langsung. Saat ini, kita melihat mereka
menukar barang dagangannya dengan koran, jambangan, dan panci (di beberapa
daerah di negara kita, Myanmar ,
negaranya sayadaw).
Pada jalan
tempat Seriva yang serakah berkeliling, tinggal seorang nenek dan cucu
perempuannya yang merupakan orang kaya ketika kakeknya masih hidup. Ketika cucu
nenek itu mendengar ada pedagang keliling yang lewat, dia memberitahukan
neneknya bahwa ia menginginkan beberapa perhiasan. Neneknya bertanya, “Bagaimana kamu akan
mendapatkannya? Kita tidak punya apapun untuk di tukar.” Cucu perempuan itu
menjawab, “Ada mangkuk tua yang saya temukan diantara keramik pecah peninggalan
kakek. Kita bisa menukarnya dengan barang dagangan penjual tersebut.” Ketika
neneknya setuju, dia memanggil pedangan keliling tersebut.
Nenek itu memberikan mangkuk tua yang kotor ke
pedagang tersebut dan berkata, “Tolong ambil mangkuk ini dan berikan barang
apapun yang kamu bisa kepada suadara perempuan mudamu ini.” Pedagang ini
mengambil magkuk itu dan membuat goresan kecil dengan sebuah jepitan. Ia menemukan bahwa mangkuk itu terbuat
dari emas yang bernilai 100.000 mata uang saat itu (selanjutnya menggunakan
rupiah, penterjemah). Dikuasi oleh keserakahan, pedagang itu menginginkan
mangkuk tersebut tanpa harus menukarkan apapun. Maka ia berkata, “Harga mangkukmu
tidak sampai 2 rupiah. Saya tidak membutuhkan itu.” Kemudian ia melempar
mangkuk itu ke tanah dan pergi.
Tidak lama setelah Seriva pergi, pedagang lain
yang merupakan bodhisatta berjalan ke jalan tersebut. Cucu perempuan nenek itu
mendengarnya dan memberitahu neneknya bahwa pedagang keliling yang lain telah
datang dan ia ingin mendapatkan suatu perhiasan. Neneknya bertanya, “Bagaimana
kamu akan mendapatkannya.” Cucu perempuan itu menjawab, “Dengan mangkuk yang
sama.” Lalu, neneknya memberitahunya, “Bukankah pedagang sebelumnya mengatakan
bahwa mangkuk itu tidak sampai 2 rupiah?” Cucu itu menjawab kembali, “Tingkah
laku pedagang sebelumnya terlihat kasar dan tidak baik. Pedagang yang ini
terlihat baik dan ramah.”
Nenek itu memberitahunya untuk memanggil pedagang
itu. Ketika pedagang (bodhisatta) itu datang, nenek itu memberikan mangkuk dan
berkata kepadanya, “Tolong berikan barang apapun yang kamu bisa kepada suadara
perempuan mudamu ini dan ambil mangkuk ini.” Pedagang ini memeriksa mangkuk
tersebut dan melihat goresan yang dibuat pedagang sebelumnya dan mengetahui
mangkuk tersebut terbuat dari emas dan berharga Rp. 100.000. Bodhisatta
mengembalikan mangkuk tersebut dan berkata, “Ini mangkuk emas, harganya Rp. 100.000.
Saya tidak punya barang dagangan seharga itu. Barang dagangan saya hanya
bernilai Rp. 1.000 seluruhnya. Jadi, saya tidak bisa membeli mangkuk anda.”
Sebagai calon Buddha, tidakkah ia berkata jujur? (Ya, ia berkata jujur,
bhante).
Nenek itu memberikan mangkuk itu kembali dan
berkata, “Pedagang sebelumnya, Seriva, mengatakan harga mangkuk ini tidak
sampai 2 rupiah. Mangkuk itu pasti berubah jadi emas karena karma baikmu. Kamu
adalah orang yang berhak memilikinya. Silakan ambil dan berikan saudara
perempuan mudamu ini apapun yang kau pikir pantas.” Bodhisatta memberikan semua
yang ia punya, barang dagangannya senilai Rp. 500 dan Rp. 500 tunai yang ia
dapat dari berjualan. Ia hanya meminta kembali Rp. 8 untuk bayar biaya naik
perahu dan timbangannya, lalu pergi dengan cepat ke dermaga untuk menyeberangi sungai
guna kembali ke rumah.
Tidak lama kemudian, Seriva datang kembali dan
bertanya, “Mana mangkukmu? Saya mungkin akan memberikan sesuatu sebagai
penukarnya. Nenek itu berkata padanya, “Kamu adalah pedagang yang sangat
serakah. Tuanmu, pedagang lain telah membayar mangkuk tersebut seharga
Rp. 1000. Pergilah.” Seriva yang
serakah diliputi oleh kesedihan karena tidak mendapatkan mangkuk itu. Ia
sebenarnya dapat memilikinya, tetapi sekarang pedagang lain yang
mendapatkannya. Ia menjadi diliputi perasaan sedih yang mendalam, lalu pingsan.
Ia juga menjadi gila dan melemparkan semua barang dagangan dan uangnya di pintu
rumah nenek itu.
Sambil memegang gagang timbangannya dan tanpa
baju, ia berlari mengejar bodhisatta untuk mendapatkan mengkuk tersebut. Ketika
ia sampai di dermaga, dia melihat bodhisatta telah berada di tengah sungai. Dia
berteriak kepada tukang perahu, “Oh, tukang perahu, saya ingin naik perahu,
tolong kembali ke dermaga.” Bodhisatta berkata kepada tukang perahu, “Oh,
tukang perahu, tolong seberangkan saya secepat yang kamu mampu.” Tukang perahu
tidak kembali, tetapi meneruskan menyeberangkan bodhisatta ke sisi sungai yang
dituju.
Melihat tukang perahu tidak kembali, tetapi tetap
menyeberangkan bodhisatta, Seriva menjadi diliputi kesedihan yang mendalam, terkena
serangan jantung dan langsung meninggal di dermaga. Ketika kalian sangat sedih,
tidakkah kalian akan mendapatkan serangan jantung? (Ya, kami akan, bhante). Pedagang
keliling Seriva sebenarnya adalah calon Devadatta. Dia memendam niat jahatnya kepada Sang Buddha
sejak saat itu. Artinya sejak kira-kira 5 masa dunia yang lalu.
Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Seperti Seriva, si pedagang keliling, yang diliputi kesedihan dan
meninggal karena serangan jantung, Oh, bhikkhu,
jika kalian tidak berlatih saat sāsanā
masih ada, kalian akan mengalami
penderitaan neraka dan akan diliputi oleh kesedihan dan penyesalan yang
mendalam.”
Kemudian Sang Buddha melanjutkan pembabaran Dhamma-Nya dengan melantunkan syair sebagai
berikut, “Ketika berada di sāsanā
ini, jika kalian tidak berusaha untuk berlatih, setidaknya sampai merealisasi Sotāpatti Magga, yang seperti perahu
yang membawa kalian ke pantai seberang (Nibbāna),
di salah satu kehidupan yang akan datang kalian, kalian akan terlahir di neraka
dan kesedihan tidak akan ada hentinya. Seperti Seriva, yang sangat menderita
karena kesedihan yang tiada tara hingga meninggal, kalian juga akan bersedih
tanpa henti.” Sang Buddha memberikan cerita yang mencerahkan para bhikkhu yang dilanjutkan dengan
instruksi berlatih meditasi.
Penderitaan neraka menjadi sangat jelas pada
bhikkhu yang menghentikan latihan meditasi tersebut. Diliputi oleh ketakutan
yang akan menimpanya, ia berlatih dengan gigih dan akhirnya merealisasi Sang
Jalan dari Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi dan Arahatta, dan
menjadi Arahat.
Para yogi perlu merenungkan hal ini ketika
semangatnya rendah, keteguhan hatinya turun, dan terserang rasa bosan. Seriva,
dia sebenarnya dapat memiliki mangkuk tersebut, karena dialah yang pertama kali
menemukannya. Bukankah dia dapat memilikinya, jika saja ia mau berusaha dan
memberikan penawaran yang layak? (Ya, dia dapat, bhante). Bukankah para
pendengar di sini berada dalam Buddha sāsanā
yang seperti mangkuk emas yang berharga seratus ribu yang diliputi oleh Magga Dhamma dan Phala
Dhamma ? (Ya, kami berada, bhante). “Ketika berada di sāsanā, jika kalian tidak merealisasi setidaknya satu Magga, Sotāpatti Magga, yang seperti perahu yang membawa kalian ke pantai
seberang (Nibbāna), kalian akan bersedihan
tanpa henti seperti Seriva, si pedagang keliling.
Dikutip
dari "Sharpening The Controlling Faculties" by Sayadaw U Kundala
===============================================================================
Semoga setelah membaca atau mendengar hal ini, semua makhluk dapat mengikuti, berlatih, dan berkembang sesuai kesempurnaan (pārami) masing-masing. Semoga semua makhluk dapat merealisasi Dhamma Mulia dan kedamaian serta kebahagiaan Nibbāna, padamnya semua penderitaan, yang telah semua makhluk cita-citakan dengan latihan yang mudah dan cepat. Sādhu! Sādhu! Sādhu!
===============================================================================
Semoga setelah membaca atau mendengar hal ini, semua makhluk dapat mengikuti, berlatih, dan berkembang sesuai kesempurnaan (pārami) masing-masing. Semoga semua makhluk dapat merealisasi Dhamma Mulia dan kedamaian serta kebahagiaan Nibbāna, padamnya semua penderitaan, yang telah semua makhluk cita-citakan dengan latihan yang mudah dan cepat. Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Salam Mettā untuk semua...
U
Sikkhānanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar