Dana berasal dari bahasa Päli ‘Däna’ yang bila
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih berarti dana, amal, sedekah,
pemberian, atau hadiah. Sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian dana
disebut berdana.
Dana dalam ajaran agama Buddha berperan sebagai
landasan yang paling dasar dan mempunyai peranan yang sangat penting. Dana
barada pada posisi pertama dalam sepuluh kualitas kesempurnaan (päramï) dan tiga landasan perbuatan berjasa (puñña-kiriya-vatthu): dana (däna), sila atau moralitas (sïla), dan pengemangan mental/meditasi (bhävanä) atau bila diuraikan lebih detil menjadi sepuluh
perbuatan berjasa.
Mengapa praktek berdana ini berada pada posisi
pertama? Hal ini disebabkan: praktek ini telah dikenal secara umum oleh semua
orang, merupakan praktek yang paling mudah, dan praktek yang memberikan hasil
terkecil. Oleh karena itu, janganlah merasa puas bila telah mempraktekkannya.
Pertahankanlah dan bila mungkin ditingkatkan lagi, sehingga akan menjadi landasan
yang kuat untuk melaksanakan praktek yang lebih tinggi, seperti praktek
moralitas dan meditasi.
Agar
lebih memudahkan dalam memahami proses berdana secara keseluruhan, mari tinjau
perumpamaan ‘berdana’ bagaikan ‘bertani.’ Di Peta Vathu, Khuddaka Nikäya, Sutta
Pitaka[1]
dikatakan, “Penerima dana bagaikan ladang (tanah), pemberi dana bagaikan
petani, objek yang didanakan bagaikan biji (benih), dan hasil yang didapat
selama mengarungi saósära bagaikan buah dari
pohon.”
Dalam hal apapun, untuk memulai sesuatu
seseorang harus memiliki niat/kehendak hati (cetanä).
Seorang petani bisa saja mempunyai ladang yang subur, biji/benih pohon yang
sangat baik, pupuk, sumber air, dan sebagainya. Namun demikian, bila dia tidak
ada niat sama sekali untuk bertani, maka proses bertani pun tidak akan pernah
terjadi. Begitupun dalam berdana, penderma boleh memiliki semua yang dia
perlukan untuk berdana, tetapi bila tidak ada cetanä
untuk melakukannya, proses berdana tidak akan pernah terwujud. Jadi, cetanä
adalah hal yang paling menentukan dalam hal apapun.
Penerima dana bagaikan ladang (tanah)
Tanah yang subur sangat menentukan pertumbuhan dan juga
produktivitas pohon yang ditanam. Rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah
plastik adalah tiga hal utama yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan
pohon. Semakin sedikit kadar dari ketiga hal ini, semakin baik; karena suplai
makanan dari tanah ke pohon dan pertumbuhan akar pohon dapat berjalan dengan
baik. Apalagi bila tanah tersebut
terbebas dari ketiganya, maka dapat dipastikan pohon yang ditanam di tanah
tersebut akan tumbuh dengan sangat baik dan menjadi pohon yang sangat
produktif.
Begitu
juga moralitas dan terutama sekali kebijaksanaan penerima sangatlah menentukan
hasil dari dana. Moralitas yang baik adalah hal yang paling dasar, bagaikan tanah yang subur. Rumput-rumput
liar, batu-batuan, dan sampah plastik bagaikan keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan mental (moha). Kilesa
selalu mencemari kemurnian penerima, bagaikan rumput-rumput liar, batu-batuan,
dan sampah plastik yang mencemari tanah yang subur. Sehingga, moralitas yang baik tidaklah cukup
untuk menjamin tercapainya hasil yang baik, karena moralitas tidak cukup kuat
melawan kekotoran mental apalagi membasminya. Dibutuhkan kebijaksanaan yang
kuat untuk mengatasinya. Semakin tinggi kebijaksanaan, semakin sedikit kilesa,
dan semakin baik buah yang dihasilkan. Jadi penerima terbaik adalah penerima
yang telah terbebas dari kilesa, bagaikan tanah subur yang terbebas dari
rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah plastik.
Objek yang didanakan bagaikan biji (benih)
Kualitas biji akan menentukan kualitas dari pohon maupun
buahnya. Biji dengan kualitas yang baik (bibit unggul) akan memberikan hasil
yang baik, dengan asumsi faktor pendukung lainnya juga berkualitas baik. Begitu
juga sebaliknya, biji dengan kualitas rendah
akan memberikan hasil yang kurang baik. Jumlah biji (pohon) yang ditanam
juga akan mempengaruhi jumlah hasil yang diperoleh. Andaikan jumlah buah yang
dihasilkan per pohonnya adalah sama, maka sesemakin banyak biji yang ditanam,
semakin berlimpah juga buahnya.
Objek yang didanakan harus didapat dari penghidupan (mata
pencaharian) yang benar dan berkualitas baik. Bagaikan biji bermutu baik atau
bibit unggul, maka dana yang demikian akan memberikan hasil yang
berlimpah. Hal yang sebaliknya,
bagaikan biji dengan kualitas rendah.
Jumlah objek yang diberikan bagaikan jumlah biji yang ditanam, sehingga semakin
banyak dana yang diberikan hasilnya pun diharapkan akan demikian.
Pemberi dana bagaikan
petani
Petani harus tahu musim yang tepat untuk menanam bijinya,
contohnya musim hujan jauh lebih cocok
untuk memulai kegiatan bertani daripada musim kemarau. Sebelum biji tersebut
ditanam, petani harus memastikan bijinya dalam keadaan baik, tidak berjamur,
tidak rusak dimakan kutu, tidak busuk, dan sebagainya. Semua hal tersebut
adalah tahap persiapan sebelum biji ditanam. Penderma harus punya kebijaksanaan
agar dapat memberikan dananya pada waktu yang tepat. Objek berdana harus
dipastikan dalam keadaan baik, dibersihkan, ditata dengan rapi, dan sebagainya.
Bagaikan petani yang sedang mempersiapkan biji yang akan ditanamnya, penderma
mempersiapkan objek pemberiannya sebelum didanakan. Semua ini adalah tahapan
sebelum berdana (pubba-cetanä).
Petani juga harus mengetahui cara menanam biji/benih pohon
tersebut dengan baik dan benar. Contoh: biji harus ditangani dengan hati-hati,
agar kualitas biji tidak rusak. Biji tidak dipendam terlalu dalam ataupun
terlalu rendah. Biji juga tidak ditanam dengan mata tunas terbalik. Ini semua
adalah tahapan saat biji ditanam. Bagaikan petani yang menangani dan menanam
biji dengan penuh kehati-hatian, penderma harus menangani objek berdananya
dengan hati-hati agar saat objek tersebut diterima berada dalam keadaan yang
baik. Misalnya, penderma memberikannya dengan cara yang tepat (tidak asal
menaruh atau bahkan melemparkan objek pemberiannya), langsung melalui tangannya
sendiri (dengan dua tangan), dan saat memberikannya disertai dengan rasa
hormat. Semua ini adalah tahapan saat berdana (muñca-cetanä).
Setelah bibit ditanam, petani harus bisa merawatnya,
seperti memagari sekeliling tempat biji ditanam agar pohon yang baru tumbuh
tidak terinjak atau dimakan oleh binatang. Petani harus menyirami, memberi
pupuk, dan juga menyiangi rumput, untuk memastikan kebutuhan makanan pohon
tersebut terpenuhi. Sehingga pohon dapat tumbuh menjadi pohon yang subur, kuat, dan
produktif. Tahap terakhir ini adalah tahap perawatan setelah biji ditanam.
Bagaikan petani merawat biji yang telah ditanamnya, penderma juga harus merawat
perbuatan baik (berdana) yang telah dilakukannya. Penderma harus bisa menjaga
kemurnian silanya, mengingat-ingat kembali tindakan berdananya dan berbagi jasa kebajikannya. Jangan pernah
menyesali tindakan berdana yang telah dilakukan, sebab hal ini akan mengurangi
atau bahkan merusak kekuatan apara-cetanänya,
dan akhirnya penderma tidak bisa menikmati hasil dari tindakan berdananya. Bagaikan petani yang dikarenakan oleh
kecerobohan atau kebodohannya, menginjak/merusak pohon yang telah ditanamnya. Semua ini adalah tahapan sesudah berdana(apara-cetanä).
Cerita seorang pria
kaya tanpa anak[2]
Pada
suatu kesempatan Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang ke vihara Jētavana untuk memberi hormat
kepada Sang Buddha. Raja menjelaskan keterlambatannya, karena sebelumnya beliau
harus melakukan penyitaan seluruh harta kekayaan dari seorang pria kaya yang
tidak mempunyai keturunan (ahli waris). Beliau juga mengutarakan bahwa pria
tersebut sangat kikir, tidak pernah berdana, bahkan untuk mengeluarkan uang untuk
dirinya sendiripun sangat segan. Oleh karena itu, ia hanya makan beras menir
dan pakai baju dari kain kasar yang murah. Kemudian Sang Buddha menceritakan
kisah kehidupan masa lalu pria kaya tersebut, yang menyebabkan ia hidup dalam
kondisi seperti sekarang ini.
Di
kehidupan sebelumnya, pria tersebut juga hidup sebagai orang kaya. Pada suatu
hari, seorang Paccekabuddha berdiri di depan pintu rumahnya untuk
mengumpulkan dana makan. Saat beliau melihat Paccekabuddha, ia meminta
istrinya untuk memberikan makanan pada Sang Paccekabuddha. Istrinya
terkejut karena hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Maka, ia pun memberikan
makanan pilihan ke Sang Paccekabuddha.
Pada
saat pria kaya tersebut dalam perjalanan kembali ke rumahnya, beliau berpapasan
kembali dengan Sang Paccekabuddha
dan kebetulan beliau berkesempatan melihat isi mangkuk nasi Sang Paccekabuddha.
Mengetahui bahwa istrinya telah memberikan makanan yang sangat baik, ia
berpikir, “Oh, bhikkhu ini hanya akan mendapatkan tidur nyenyak setelah
menyantap makanan yang lezat tersebut. Akan lebih baik bila pelayanku yang
mendapatkan makanan tersebut, karena setidaknya dia akan memberikan pelayanan
yang lebih baik padaku.” Hal ini menandakan bahwa pria kaya tersebut menyesal
telah menyuruh istrinya untuk memberikan makanan pada Sang Paccekabuddha.
Sang
Buddha pun kemudian menjelaskan bahwa sebagai hasil dari dana makan tersebut,
sekarang dia terlahir menjadi orang kaya. Tetapi karena dia menyesali dana
makan yang telah diberikannya, maka dia tidak dapat menikmati kekayaannya.
Jadi, sangatlah penting bagi para dermawan untuk tidak menyesali dana yang
telah diberikan, apapun yang terjadi.
Hasil berdana bagaikan buah dari pohon
Semakin pandai sang petani dalam memilih tempat
berladangnya (tanah yg subur), memilih bibit yang akan ditanamnya, dan merawat
pohonnya, maka buah yang akan didapatnya bisa dipastikan akan berlimpah. Begitu
juga dengan penderma, dia yang berdana pada penerima yang baik, memberikan
objek yang baik, dan merawatnya dengan baik; dapat dipastikan jasa kebajikan
yang didapatnya akan berlimpah. Berdasarkan ketiga deskripsi di atas, terlihat
bahwa kebijaksanaan/kecerdasan penderma sangat berperan penting disemua tahapan
proses berdana.
Salam mettā untuk semua,
U Sikkhānanda
P.S. Untuk penjelasan
lebih detil tentang “BERDANA” silakan baca buku “DANA”
[1] Ashin Janakäbhivamsa, Abhidhamma in
Daily Life, (translated & edited by U Ko Lay, 1997), hal. 152
[2] DhpA, The Story of A Childless Rich Man (syair 355).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar