Kamis, 29 Maret 2012

Perumpamaan tentang Berdana



Dana berasal dari bahasa Päli ‘Däna’ yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih berarti dana, amal, sedekah, pemberian, atau hadiah. Sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian dana disebut berdana.

Dana dalam ajaran agama Buddha berperan sebagai landasan yang paling dasar dan mempunyai peranan yang sangat penting. Dana barada pada posisi pertama dalam sepuluh kualitas kesempurnaan (päramï) dan tiga landasan perbuatan berjasa (puñña-kiriya-vatthu): dana (däna), sila atau moralitas (sïla), dan pengemangan mental/meditasi (bhävanä) atau bila diuraikan lebih detil menjadi sepuluh perbuatan berjasa.

Mengapa praktek berdana ini berada pada posisi pertama? Hal ini disebabkan: praktek ini telah dikenal secara umum oleh semua orang, merupakan praktek yang paling mudah, dan praktek yang memberikan hasil terkecil. Oleh karena itu, janganlah merasa puas bila telah mempraktekkannya. Pertahankanlah dan bila mungkin ditingkatkan lagi, sehingga akan menjadi landasan yang kuat untuk melaksanakan praktek yang lebih tinggi, seperti praktek moralitas dan meditasi.

Agar lebih memudahkan dalam memahami proses berdana secara keseluruhan, mari tinjau perumpamaan ‘berdana’ bagaikan ‘bertani.’ Di Peta Vathu, Khuddaka Nikäya, Sutta Pitaka[1] dikatakan, “Penerima dana bagaikan ladang (tanah), pemberi dana bagaikan petani, objek yang didanakan bagaikan biji (benih), dan hasil yang didapat selama mengarungi saósära bagaikan buah dari pohon.”

 Dalam hal apapun, untuk memulai sesuatu seseorang harus memiliki niat/kehendak hati (cetanä). Seorang petani bisa saja mempunyai ladang yang subur, biji/benih pohon yang sangat baik, pupuk, sumber air, dan sebagainya. Namun demikian, bila dia tidak ada niat sama sekali untuk bertani, maka proses bertani pun tidak akan pernah terjadi. Begitupun dalam berdana, penderma boleh memiliki semua yang dia perlukan untuk berdana, tetapi bila tidak ada cetanä untuk melakukannya, proses berdana tidak akan pernah terwujud. Jadi, cetanä adalah hal yang paling menentukan dalam hal apapun.



Penerima dana bagaikan ladang (tanah)
          Tanah yang subur sangat menentukan pertumbuhan dan juga produktivitas pohon yang ditanam. Rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah plastik adalah tiga hal utama yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan pohon. Semakin sedikit kadar dari ketiga hal ini, semakin baik; karena suplai makanan dari tanah ke pohon dan pertumbuhan akar pohon dapat berjalan dengan baik.  Apalagi bila tanah tersebut terbebas dari ketiganya, maka dapat dipastikan pohon yang ditanam di tanah tersebut akan tumbuh dengan sangat baik dan menjadi pohon yang sangat produktif.

Begitu juga moralitas dan terutama sekali kebijaksanaan penerima sangatlah menentukan hasil dari dana. Moralitas yang baik adalah hal yang paling dasar,  bagaikan tanah yang subur. Rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah plastik bagaikan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan mental (moha). Kilesa selalu mencemari kemurnian penerima, bagaikan rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah plastik yang mencemari tanah yang subur.  Sehingga, moralitas yang baik tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya hasil yang baik, karena moralitas tidak cukup kuat melawan kekotoran mental apalagi membasminya. Dibutuhkan kebijaksanaan yang kuat untuk mengatasinya. Semakin tinggi kebijaksanaan, semakin sedikit kilesa, dan semakin baik buah yang dihasilkan. Jadi penerima terbaik adalah penerima yang telah terbebas dari kilesa, bagaikan tanah subur yang terbebas dari rumput-rumput liar, batu-batuan, dan sampah plastik.


Objek yang didanakan bagaikan biji (benih)
          Kualitas biji akan menentukan kualitas dari pohon maupun buahnya. Biji dengan kualitas yang baik (bibit unggul) akan memberikan hasil yang baik, dengan asumsi faktor pendukung lainnya juga berkualitas baik. Begitu juga sebaliknya, biji dengan kualitas rendah  akan memberikan hasil yang kurang baik. Jumlah biji (pohon) yang ditanam juga akan mempengaruhi jumlah hasil yang diperoleh. Andaikan jumlah buah yang dihasilkan per pohonnya adalah sama, maka sesemakin banyak biji yang ditanam, semakin berlimpah juga buahnya.
         
          Objek yang didanakan harus didapat dari penghidupan (mata pencaharian) yang benar dan berkualitas baik. Bagaikan biji bermutu baik atau bibit unggul, maka dana yang demikian akan memberikan hasil yang berlimpah.  Hal yang sebaliknya, bagaikan  biji dengan kualitas rendah. Jumlah objek yang diberikan bagaikan jumlah biji yang ditanam, sehingga semakin banyak dana yang diberikan hasilnya pun diharapkan akan demikian. 
Pemberi dana bagaikan petani

          Petani harus tahu musim yang tepat untuk menanam bijinya, contohnya  musim hujan jauh lebih cocok untuk memulai kegiatan bertani daripada musim kemarau. Sebelum biji tersebut ditanam, petani harus memastikan bijinya dalam keadaan baik, tidak berjamur, tidak rusak dimakan kutu, tidak busuk, dan sebagainya. Semua hal tersebut adalah tahap persiapan sebelum biji ditanam. Penderma harus punya kebijaksanaan agar dapat memberikan dananya pada waktu yang tepat. Objek berdana harus dipastikan dalam keadaan baik, dibersihkan, ditata dengan rapi, dan sebagainya. Bagaikan petani yang sedang mempersiapkan biji yang akan ditanamnya, penderma mempersiapkan objek pemberiannya sebelum didanakan. Semua ini adalah tahapan sebelum berdana (pubba-cetanä).


          Petani juga harus mengetahui cara menanam biji/benih pohon tersebut dengan baik dan benar. Contoh: biji harus ditangani dengan hati-hati, agar kualitas biji tidak rusak. Biji tidak dipendam terlalu dalam ataupun terlalu rendah. Biji juga tidak ditanam dengan mata tunas terbalik. Ini semua adalah tahapan saat biji ditanam. Bagaikan petani yang menangani dan menanam biji dengan penuh kehati-hatian, penderma harus menangani objek berdananya dengan hati-hati agar saat objek tersebut diterima berada dalam keadaan yang baik. Misalnya, penderma memberikannya dengan cara yang tepat (tidak asal menaruh atau bahkan melemparkan objek pemberiannya), langsung melalui tangannya sendiri (dengan dua tangan), dan saat memberikannya disertai dengan rasa hormat. Semua ini adalah tahapan saat berdana (muñca-cetanä).

          Setelah bibit ditanam, petani harus bisa merawatnya, seperti memagari sekeliling tempat biji ditanam agar pohon yang baru tumbuh tidak terinjak atau dimakan oleh binatang. Petani harus menyirami, memberi pupuk, dan juga menyiangi rumput, untuk memastikan kebutuhan makanan pohon tersebut terpenuhi. Sehingga pohon dapat  tumbuh menjadi pohon yang subur, kuat, dan produktif. Tahap terakhir ini adalah tahap perawatan setelah biji ditanam. Bagaikan petani merawat biji yang telah ditanamnya, penderma juga harus merawat perbuatan baik (berdana) yang telah dilakukannya. Penderma harus bisa menjaga kemurnian silanya, mengingat-ingat kembali tindakan berdananya  dan berbagi jasa kebajikannya. Jangan pernah menyesali tindakan berdana yang telah dilakukan, sebab hal ini akan mengurangi atau bahkan merusak kekuatan apara-cetanänya, dan akhirnya penderma tidak bisa menikmati hasil dari tindakan berdananya.  Bagaikan petani yang dikarenakan oleh kecerobohan atau kebodohannya, menginjak/merusak pohon yang telah  ditanamnya.  Semua ini adalah tahapan sesudah berdana(apara-cetanä).


Cerita seorang pria kaya tanpa anak[2]

Pada suatu kesempatan Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang ke vihara Jētavana untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Raja menjelaskan keterlambatannya, karena sebelumnya beliau harus melakukan penyitaan seluruh harta kekayaan dari seorang pria kaya yang tidak mempunyai keturunan (ahli waris). Beliau juga mengutarakan bahwa pria tersebut sangat kikir, tidak pernah berdana, bahkan untuk mengeluarkan uang untuk dirinya sendiripun sangat segan. Oleh karena itu, ia hanya makan beras menir dan pakai baju dari kain kasar yang murah. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah kehidupan masa lalu pria kaya tersebut, yang menyebabkan ia hidup dalam kondisi seperti sekarang ini.

Di kehidupan sebelumnya, pria tersebut juga hidup sebagai orang kaya. Pada suatu hari, seorang Paccekabuddha berdiri di depan pintu rumahnya untuk mengumpulkan dana makan. Saat beliau melihat Paccekabuddha, ia meminta istrinya untuk memberikan makanan pada Sang Paccekabuddha. Istrinya terkejut karena hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Maka, ia pun memberikan makanan pilihan ke Sang Paccekabuddha.

Pada saat pria kaya tersebut dalam perjalanan kembali ke rumahnya, beliau berpapasan kembali dengan Sang Paccekabuddha  dan kebetulan beliau berkesempatan melihat isi mangkuk nasi Sang Paccekabuddha. Mengetahui bahwa istrinya telah memberikan makanan yang sangat baik, ia berpikir, “Oh, bhikkhu ini hanya akan mendapatkan tidur nyenyak setelah menyantap makanan yang lezat tersebut. Akan lebih baik bila pelayanku yang mendapatkan makanan tersebut, karena setidaknya dia akan memberikan pelayanan yang lebih baik padaku.” Hal ini menandakan bahwa pria kaya tersebut menyesal telah menyuruh istrinya untuk memberikan makanan pada Sang Paccekabuddha.

Sang Buddha pun kemudian menjelaskan bahwa sebagai hasil dari dana makan tersebut, sekarang dia terlahir menjadi orang kaya. Tetapi karena dia menyesali dana makan yang telah diberikannya, maka dia tidak dapat menikmati kekayaannya. Jadi, sangatlah penting bagi para dermawan untuk tidak menyesali dana yang telah diberikan, apapun yang terjadi. 


Hasil berdana bagaikan buah dari pohon
          Semakin pandai sang petani dalam memilih tempat berladangnya (tanah yg subur), memilih bibit yang akan ditanamnya, dan merawat pohonnya, maka buah yang akan didapatnya bisa dipastikan akan berlimpah. Begitu juga dengan penderma, dia yang berdana pada penerima yang baik, memberikan objek yang baik, dan merawatnya dengan baik; dapat dipastikan jasa kebajikan yang didapatnya akan berlimpah. Berdasarkan ketiga deskripsi di atas, terlihat bahwa kebijaksanaan/kecerdasan penderma sangat berperan penting disemua tahapan proses berdana.


Salam mettā untuk semua,

U Sikkhānanda

P.S. Untuk penjelasan lebih detil tentang “BERDANA” silakan baca buku “DANA


[1] Ashin Janakäbhivamsa, Abhidhamma in Daily Life, (translated & edited by U Ko Lay, 1997), hal. 152  
[2] DhpA, The Story of A Childless Rich Man (syair 355).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar